Fajar kala pagi, duduk menikmati secangkir kopi, diam sejenak memburu rejeki yang telah pergi. Bukan diam!, hanya sejenak merintih pahitnya ini.Â
"Tuhan, akankah kau sediakn rejekiku hari ini".
Nasib penganggur, pengagum kopi yang biasanya hanya duduk manis berjam-jam dengan pikiran dan hati kalut akan diri. Namun senyum merka kebahagiaan masih bisa tersungging di bibir.
Aneh, tapi ini kenyataannya. Secangkir kopi pahit mengalahkan pahitnya hidup, mengimajinasikan ketenangan yang diharapkan diri, bekerja layak dengan hasil cukup untuk hidup ini.
Bukan tak memiliki kemampuan diri, hanya kesempatan yang sudah di kebiri. Teradili oleh globalisasi yang menuntun kolusi dan nepotisme di negeri ini.Â
Tetap berdiri dengan secangkir kopi di pagi hari, berfikir akan rejeki yang tak kunjung menghampiri. Konflik hati yang sering terjadi di masyarakat sekarang ini, membudaya bahkan ke pelosok negeri.
Tertutup mata penguasa negeri, rakus akan kekayaan pribadi. Hingga tak pernah adil bagi kemakmuran negeri. Timah kau akali, beras kau gagahi, dan gula kau curangi. Berharap kopi ini tak pernah kau racuni.
Secangkir kopi pahit yang jadi obat diri, hati, dan pikiran kaum sepertiku, pengagum kopi nan penganggur ini. Tapi berbeda, kopiku sekarang tak ada sedikitpun rasa pahit menghampiri.
"Kopi apa ini?".
Batinku bertanya setelah menyeruput kopi di piring kecil. Kopi yang terasa manis, apa ini karena aku sedang menunggu harap?. Harapan kebanyakan orang penganggur yang akan mengikuti test kerja, berhasil lolos dengan nilai tinggi. Hingga bisa diterima karena kompetensi murni.
Bukan sogokkan, bukan pula kerabat tapi kemampuan diri yang sudah teruji untuk dapat bekerja sepenuh hati.Â