DIBALIK KENAIKAN PPN 12%
Oleh: Virenzahra Aulia Putri/174241050
Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pilitik
Universitas Airlangga
PENDAHULUAN
Pajak adalah sumber pendapatan yang diatur secara strategis oleh Direktorat Jendral Pajak dibawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia, selain sumber pendapatan migas dan non migas (Majid et al., 2023). Terdapat beberapa macam pajak, salah satunya adalah PPN atau Pajak Pertambahan Nilai, yang mana merupakan biaya yang harus dibayarkan kepada pemerintah atas kegiatan jual beli baik barang atau jasa kena pajak. PPN ini bersifat memaksa yang wajib dilakukan oleh wajib pajak pribadi maupun badan sesuai UU. PPN merupakan penghasilan terbesar di dalam Departemen Pajak. Hal ini diperuntukkan pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat. Peraturan pajak sendiri diatur dalam UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang sebelumnya telah mengalami perubahan ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983.
Saat ini tarif PPN di Indonesia sudah ditentukan sebesar 10%, namun mengalami kenaikan 1% menjadi 11% pada bulan April 2022. Hal ini ditujukan untuk memulihkan perekonomian Indonesia pasca Pndemi Covid-19. Kenaikan pajak pada pasca Covid ini mengalami pro dan kontra di masyarakat. Pastinya hal ini ada yang setuju karena merasa memang hal ini patut dilakukan oleh pemerintah. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa kenaikan pajak pasca Covid juga ada yang tidak setuju karena dirasa terlalu memberatkan masyarakat karena perekonomian belum sepenuhnya stabil kembali. Kenaikan tarif PPN ini juga bermaksud untuk merespon defisit anggaran negara serta total uang pemerintah pada tahun 2021 yang membengkak dengan total hutang pemerintah sampai tahun 2021 ini tembus hampir 42% dari PDB atau Penghasilan Domestik Bruto (Novianto et al., 2023).
Kenaikan PPN kembali terjadi di tahun 2025 dengan jumlah kenaikan dari 11% menjadi 12%. Rencana kenaikan PPN ini akan direalisasikan pemerintah pada tanggal 1 Januari 2025 mendatang. Kenaikan pada kedua kali ini bertujuan sebagai strategi peningkatan pendapatan negara untuk memulihkan pertumbuhan ekonomi dan mempertahankan momentum ekonomi supaya tetap berkelanjutan. Pemerintahan baru sudah memutuskan bahwa sama seperti tahun 2022, hal ini juga menuai banyak pro dan kontra. Namun, Keputusan sudah ditetapkan bahkan oleh Presiden RI, Prabowo Subianto yang mana tarif pajak resmi naik 12 % untuk barang-barang tertentu mulai tanggal 1 Januari 2025 sebagaimana sudah tercantum dalam amanat UU No. 7 Tahun 2021(UU No. 7 Tahun 2021, 2021).
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui bagaimana dampak yang akan dirasakan oleh masyarakat seletah kenaikan pajak 12% ini berhasil diberlakukan di tahun 2025 mendatang. Menurut pemerintah hal ini dapat membantu kesejahteraan masyarakat dengan menaikkan tarif pajak pada barang-barang tertentu. Namun hal ini belum tentu serupa terjadi bagi konsumen maupun pelaku usaha di Indonesia. Penelitian ini juga bermanfaat bagi peneliti selanjutnya supaya dapat dijadikan bahan referensi serta solusi apa saja yang sebenarnya dapat pemerintah lakukan tanpa adanya pemberlakuan kenaikan tarif PPN.
PEMBAHASAN
Pajak merupakan kontribusi iuran secara wajib yang dibayarkan oleh masyarakat kepada negara yang mana bersifat memaksa dengan tidak mendapatkan balasan secara langsung, hasil pembayaran pajai ini dipakai guna kebutuhan negara dan kesejahteraan masyarakat (Julito & Ramadani, 2024). Tarif pajak yang ditentukan oleh negara sudah dipertimbangkan dengan jumlah pendapatan yang diperoleh oleh negara yang sekiranya dengan persentase yang minim dan hal ini juga bertujuan untuk menunjang perekonomian negara. Menurut UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), menjelaskan bahwa terdapat kenaikan tarif PPN secara gradual menjadi 11% mulai tanggal 1 April 2022 dan akan terjadi kenaikan lagi menjadi 12% paling lambat mulai 1 Januari 2025. Dalam UU tersebut juga tercantum bahwa hanya terdapat beberapa katerogi saja yang terimbas dalam kenaikan pajak. Kenaikan ini bertujuan untuk memperkuat stabilitas perekonomian Republik Indonesia dalam jangka waktu yang Panjang dan membantu APBN, terutama dalam Pemulihan Ekonomi Nasional (Agasie & Zubaedah, 2022).
Dalam pertemuannya dengan DPR, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto mengatakan bahwa kenaikan tarif pajak 12% hanya diperuntukkan bagi konsumen komoditas atau barang dalam negeri maupun impor yang termasuk dalam kategori barang mewah. Hal ini tidak berlaku untuk barang-barang dalam kategori kebutuhan pokok, jasa pendidikan, kesehatan, perbankan, serta pelayanan umum. Sehingga barang-barang dalam kategori kebutuhan pokok telah dibebaskan dari tarikan pajak atau PPN nol persen yang diberlakukan oleh pemerintah. Menurut Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, terdapat beberapa barang yang tergolong dalam kategori barang mewah yang terkena kenaikan tarif pajak 12%.
Antara lain:
1.Kendaraan bermotor mewah
*Kendaraan untuk pengangkutan kurang dari 10 orang termasuk pengemudi dengan kapasitas isi silinder hingga 3.000 cc, serta kapasitas isi silinder 3.000 -- 4.000 cc.
*Kendaraan bermotor roda dua maupun tiga dengan kapasitas isi silinder 250 -- 500 cc maupun lebih dari 500 cc
*Trailer, semi-trailer dari tipe caravan untuk perumahan atau berkemah.
2.Kategori hunian mewah dengan harga jual mencapai Rp 30 miliar atau lebih.
3.Kategori balon udara baik yang dapat dikendalikan maupun pesawat udara lainnya tanpa tenaga penggerak.
4.Kategori peluru senjata api yang bukan untuk kepentingan negara. Peluru dan bagiannya, tidak termasuk peluru senapan angin.
5.Kategori pesawat udara selain yang diperuntukkan guna kepentingan negara atau angkutan niaga.
6.Kategori senjata api yang bukan untuk kepentingan negara. Peluru dan bagiannya, tidak termasuk peluru senapan angin.
7.Dan yang terakhir kelompok kapal pesiar mewah maupun kendaraan air yang bukan untuk kepentingan negara, angkutan umum atau pariwisata.
Namun disisi lain terdapat beberapa hal yang mungkin dapat merugikan masyarakat. Terutama dalam sektor industri, distributor, manufaktur, transportasi dan otomotif, serta properti perumahan. Dalam sektor industri, distributor, transportasi dan otomotif, dengan adanya kenaikan pajak ini akan mengancam persentase penjualan kendaraan. Ketua Umum GAIKINDO atau Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia mengungkapkan bahwa kenaikan yang sangat tinggi dapat berdampak pada para pengusaha mobil nasional beserta konsumennya. Hal ini dapat menghambat pertumbuhan industri otomotif Indonesia yang sangat rentan terhadap perubahan harga. Ditambah lagi dengan tingginya suku bunga kendaraan. Kenaikan PPN ini diprediksi dapat menurunkan penjualan mobil nasional mencapai 500-an unit per tahun. Hal ini malah dapat menyebabkan adanya PHK karyawan yang berujung tingginya angka pengangguran di Indonesia. Dalam hal ini juga mengakibatkan masyarakat yang kesulitan dalam menentukan barang mewah. Seperti halnya kendaraan bermotor yang saat ini masuk dalam kategori kebutuhan utama untuk akomodasi sehari-hari ikut terdampak kenikan tarif PPN 12%. Padahal kendaraan bermotor khususnya motor tidak hanya diperuntukkan untuk masyarakat kalangan kelas atas saja, namun masyarakat kelas bawah juga membutuhkan.
Mengambil sikap terhadap kebijakan kenaikan tarif PPN sebesar 12% ini membutuhkan komunikasi yang efektif untuk memastikan bahwa kebijakan pajak baru ini dapat diterima dan dilaksanakan dengan tepat sasaran. Pajak merupakan topik yang sangat sentsitif, sehingga memerlukan strategi komunikasi yang baik untuk menghindari kesalah pahaman tentang kemana uang pajak mengalir, penting juga untuk memahami fungsi pajak dengan seksama. Namun disisi lain terdapat hal yang mungkin dapat merugikan masyarakat. Tidak sedikit pula terdapat penyelewengan uang tarif pajak untuk keperluan yang tidak sesuai dengan aturan dan tidak adanya transparansi yang dilakukan para penyelenggara negara. Hal ini yang menjadikan masyarakat was-was terhadap kebijakan pemerintah.
KESIMPULAN
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai untuk kategori barang mewah senilai 12% menuai pro dan kontra anatara pemerintah dan masyarakat. Menurut pemerintah hal ini dapat menambah jumlah penghasilan negara dan dapat membantu menggenjot stabilitas perekonomian serta mengurangi hutang negara. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa kenaikan PPN ini berdampak buruk pada pengusaha maupun konsumen dalam sektor-sektor tertentu yang mana juga membantu meningkatkan perekonomian negara. Kebijakan mengenai pajak merupakan suatu hal yang tidak bisa lepas dari opini-opini pro dan kontra. Maka dari itu perlu adanya mediasi yang jelas antara pemangku kebijakan dengan masyarakat supaya menemukan Solusi yang sekiranya dapat menemukan titik terang, meskipun hal itu sulit direalisasikan. Saran lain untuk mengatasi hal ini adalah dengan membatalkan adanya kenikan pajak yang dapat merugikan sektor-sektor penting. Sebagai gantinya dapat dilakukan pengurangan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang seperti kita lihat banyak bantuan untuk masyarakat membutuhkan malah tidak tepat sasaran dan terdapat kecurangan oleh pihak-pihak tertentu. Seperti kasus mantan kepala Desa Baruh, Kabupaten Sampang, Madura. Bantuan diambil dari anggaran negara yang sengaja dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat, namun hal ini tidak sepenuhnya terealisasi. Maka dari itu, daripada membuat kebijakan menaikkan PPN 12%, lebih baik pemerintah memperluas lapangan pekerjaan yang dikhususkan untuk masyrakat kecil supaya mereka tidak hanya mengandalkan BLT tetapi juga terdapat usaha untuk memberantas kemiskinan, dengan begitu rakyat akan sejahtera dan anggaran negara sedikit lebih hemat dan dapat dialokasikan ke dalam hal yang lain yang dapat membantu meningkatkan stabilitas negara.