Apa yang ada dapatkan di kompasiana? Ini susah-susah gampang menjawabnya, tergantung dari sisi mana melihatnya, kebahagiaan, materi, pertemanan, diskusi, berbagi dan lain sebagainya. Dari setiap sisi tersebut setiap orang akan berbeda menjawabnya. Bahkan banyak yang hengkang dari kompasiana dengan berbagai macam alasan, bisa alasan pribadi, pekerjaan, tak punya waktu, tak tahan dibully, sia-sia, hanya sekedar ocehan, tak ada kualitas, tak pernah HL, putus asa, tak dibayar dan lain sebagainya.
Namun ada juga yang tetap bertahan, termasuk saya, Syaripudin Zuri, apapun yang terjadi, atau bahkan dibully bagaimanapun kasarnya, enjoi aja, tak ada masalah, senjata pemungkasnya ya EGP, emangnya gue pikirin. Mungkin banyak yang tak tahan di kompasiana karena dicaci maki, dihina, didibully yang kasar, dan perbedaan pendapat saat diskusi yang menjurus pada anarkis kata-kata, yang bukan lagi materi dari tulisan tapi sampai ke arena fisik, bahkan sampai SARA.
Repotnya kalau sudah masalah SARA, yang biasanya hanya ditujukan pada ummat Islam saja, ada apa ini? Giliran ummat Islam bicara tentang keyakinan agamanya dan menjalankan syariat ajaran agamanya, dibilang SARA, namun giliran sebelah bicara soal keyakinannya, pembelaannya pada Ahok, misalnya, pada diam saja, bungkam seribu bahasa, ada apa ini?
Kembali ke kompasiana ini, ini rumah yang bisa dimasuki saja, golongan apa saja, tanpa memandang SARA, sehingga ketika muncul tulisan yang berbau SARA, akan otomatis terbentuk kelompok-kelompok dengan “gengnya” masing-masing. Sebenarnya tak ada masalah, selama masih dalam koridor saling berbagi dan saling memahami kayakinan, agama dan kepercayaan masing-masing. Jadi bila diperdabatkan sepanjang hari atau sepanjang waktu tak akan pernah selesai, makanya kuncinya hanya satu, silahkan saja beribadah menurut keyakinan, agama dan kepercayaan masing-masing.
Diskusi di kompasiana asik-asik saja sebenarnya, namun memang harus “tahan bantingan”, tahan menghadapi orang yang sukanya menghina, merasa paling benar sendiri, dan dengan entengnya menunjuk-nunjuk pihak lain, sementara dirinya bebas dari rasa salah atau bersalah, sepertinya kebenaran milik “nenek moyangnya!”. Hal tersebut sering saya alami dalam tulisan, komentar dan saat diskusi, ada yang nyerocos panjang lebar, tapi pengecut menampakan dirinya, dengan akun abal-abal atau akun bodong, sehingga enak saja mencaci maki pihak lain, sementara dirinya bersembunyi di balik akun abal-abal atau akun bodong tadi.
Sudah banyak dibahas tentang akun abal-abal ini, tapi biarkan “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”, mengapa? Kalau anda melayani akun abal-abal atau akun bodong dengan emosi yang sama, niscaya anda akan sudah hengkang dari kompasiana sejak lama. Kebetulan saya masuk atau login pertama kali sejak 10 Februari 2010, jadi 10 Fabruari 2016 lalu saya sudah berada di kompasiana selama 6 tahun. Dan sampai tulisan ini dibuat, sudah 1161 artikel dan dibaca sebanyak 1.153.966 dengan melahirkan tiga buku ontology bersama teman-teman kompasioner yaitu Jokowi( bukan) untuk presiden, Ahok untuk Indonesia dan Kami tak lupa Indonesia.
Juga melahirkan ebook dan epub untuk kalangan sendiri: 1. Buat apa sakit hati; 2. Ketika Tuhan diprotes Dia tetap menyayangi hambaNya; 3. Menulis dengan hati; 4. Obat penawar hati; 5. Pelangi di langit Moskow; 6. Butiran Mutiara di Moskow; 7.Poros Jakarta Moskow di era reformasi; 8. Rusia selayang pandang. Dan melahirkan kumpulan tulisan semacam kapita selekta dengan judul: 1. Tenggelamkan Aku dalam cintaMu; 2. Menjaring matahari; 3. Tulislah dengan cahaya; 4. Pohonpun rukuk dan sujud padaNya; 5. Seberkas sinar Illahi turun di Moskow dan 6. 99 Doa dengan asmaulhusnah.
Ebook, epun dan kapita selecta di atas bukan untuk siapa-siapa, paling tidak untuk diri ini dan keluarga saya, tidak muluk-muluk. Paling tidak ada bekas yang ditinggalkan, bukan harta, tapi tulisan yang maknanya lebih abadi, ketimbang harta yang bisa musnah. Nah tulisan-tulisan tadi sebagian besar ada yang di kompasiana.
Jadi kalau ada yang bilang kompasiana tak ada gunanya atau hanya sia-sia, buang-buang waktu, hal itu terbantah dengan sendirinya. Di kompasiana tulisan anda terdokumentasi dengan baik dan rapi, , termasuk dengan berbagai macam data pendukungnya. Dan kalau anda mau bukukan komentar di tulisan anda, yang bisa saja, dan totalnya bisa ribuan komentar, ini sudah sesuatu yang menarik, kalau mau, sekali lagi kalau mau anda bukukan. Kompasiana walaupun sering error, tetap di hati, tetap ditunggu dan saya sering “ gangguin” Kang Pepih, kalau kompasiana sedang error, saya langsung kontak di WA. Dan Alhamdulillah, Kang Pepihnya tak merasa terganggu dan katanya: “ memang kewajiban saya untuk memberitahu bagian IT ”. Klop, terima kasih Kang Pepih.
Kalau ditanya, apa manfaatnya komepasiana? Wah bagi saya banyak sekali, dan itu sudah pernah saya tuliskan juga, termasuk dari tulisan teman-teman sesama kompasioner. Kalau disimpulkan dengan singkat manfaat atau hikmah menulis di kompasiana sebagai berikut; membawa kebahagiaan, menambah teman dan wawasan, terdokumentasi dengan baik, melatih menulis, belajar bersabar, mengasah otak, tidak cepat pikun, gembira, saling nasehat menasehati dalam kebaikan dan kesabaran, berdiskusi dengan berbagai macam kalangan, bersahabat dari berbagai teman di berbagai penjuru tanah air dan dunia, melatih rendah hati, tidak merasa benar sendiri dan lain sebagainya.
Itulah alasannya makanya saya tetap ada di kompasiana. Jadi, siapa masih takut menulis di kompasiana? Saya tidak takut, bagaimana anda? Dan tentu saja, kembali kepada masing-masing orang, ada yang mungkin tidak takut, tapi tak punya waktu. Ada yang mau menulis, tapi tak punya ide. Ada yang takut nulis, karena takut dibully, dihina, dilecehkan dan lain-lain. Ada yang tetap menjadi pembaca diam, silent reading dan berbagai alasan, mengapa tak juga menulis di kompasiana. Tulis sakarang juga, saat ini juga, jika tidak, kapan lagi? Lanjut.