Masih tentang Jokowi dan saya akan terus menulis tentang Jokowi, selama Jokowi menjadi presiden RI, mengapa? Bahasa kerennya “mengawal” Jokowi, walaupun saya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, tapi sebagai langkah kecil dan langkah sederhana manusia biasa, mencoba berbuat sesuatu, sekecil apapun potensi yang saya miliki. Loh kalau tak ada yang membaca tulisan saya bagaimana? Ya biarin aja, namanya juga tulisan orang biasa, di tengah-tengah jutaan orang biasa lainnya, jangan dibandingkan dengan penulis yang profesional, yang juga sama-sama menulis, jadi tak perlu muluk-muluk berharap agar tulisan saya dibaca setiap orang.
Lalu mengapa Jokowi yang sering ditulis? Apa lagi kalau bukan kesederhanaanya, kebersahajaannya, dan saya suka pada yang namanya kesederhanaan, apa lagi dilakukan oleh seorang pimpinan, seorang presiden RI yang mengurus tak kurang dari 250 juta penduduk di Indonesia. Bayangkan, padahal Jokowi punya kesempatan untuk bermewah-mewah atau bisa saja dengan kekuasaan yang dimiliki sekarang ini, Jokowi jika mau bisa berbalik 180 derajat, dari kesederhanaan menjadi bermegah-megah atau bermewah-mewah, bukankah kesempatan itu ada? Tapi Jokowi tak mau melakukannya, bahkan banyak penghematan yang dilakukannya, dan itu terlihat selama setahun ini menjadi presiden, 20 Oktober 2014-20 Oktober 2015.
Coba lihat saja foto di atas, dari kompas.com, dengan santai Jokowi yang presiden berdialog dengan Suku Anak Dalam di Jambi, sambil jongkok ngobrol atau berdialog. Mana ada presiden sebelumnya yang begitu santai ngobrol sambil jongkok dengan rakyat kecil, bahkan dengan suku terpencil? Ini contoh luar biasa dari seorang Presiden! Namun inipun menjadi sorotan, bahkan menjadi bahan “menyerang” Jokowi, dengan mengatakan itu hanya rekayasa foto saja.
Itulah resiko menjadi seorang presiden, jangankan yang buruk atau yang salah, yang baikpun masih dikritisi, bahkan kalau bisa “dihabisi”, itulah resiko jadi presiden, di manapun, resiko yang bukan hanya mendapat fitnah, kritikan pedas, bahkan sampai menjadi “sasaran tembak”, dan bukan hanya sasaran tembak dalam tanda kutip, tapi benar-benar mau ditembak atau ditembak beneran untuk dibunuh!
Tak percaya? Lihat saja contoh presiden AS, J.F Kenedy dan Abraham Lincoln yang mati dibunuh. Setiap pemimpin akan menjadi “sasaran tembak”, dibunuh atau hendak dibunuh. Coba lihat nasib Presiden Sukarno, beberapa kali menjadi sasaran pemebunuhan, mau ditembak, bahkan dibom, seperti peristiwa di Cikini alhamdulillah Bung Karno selamat sampai meninggal dalam keadaan “biasa”, walau dalam tanahan rumah di masa Orba. Kalau mau mundur lebih jauh lagi, ke dalam sejarah, lihat bagaimana perjuangan para utusan Allah SWT, seperti Nabi Musa AS, Nabi Isa As dan Nabi Muhammad SAW, ketiga nabi atau pemimpin ummat tersebut, tak lepas dari sasaran pembunuhan, dan itu dilakukan oleh ummat juga, tentu yang mengingkari ajaran-ajaranNya.
Kembali ke Jokowi, jadi kalau sudah berani menjadi presiden, pemimpin ummat dan berbagai jenis pimpinan lainnya, ya tentu harus berani menerima resikonya. Jangankan pimpinan tingkat negara, menjadi RT saja ada resikonya, walau tidak separah resiko yang akan diterima oleh pimpinan negara atau pimpinan pemerintahan seperti Presiden. Itulah makanya ada pasukan pengamanan presiden, paspampres. Mengapa? Tentu saja tak ada suatu negara di manapun yang mau presidennya dibunuh orang atau ditembak orang.
Ambil contoh lagi, lihat Mahatma Gandhi, pimpinan yang begitu ringkih fisiknya, namun kelembutan dan jiwanya yang sederhana tak mengurangi rasa kebencian yang mendalam dari lawan politiknya, yang pada akhirnya Mahatma Gandhi pun mati terbunuh. Begitu Juga presiden Anwar Sadat di Mesir, mati terbunuh saat sedang ada parade, ditembak oleh pasukannya sendiri.
Wah kalau mau ditulis contoh tentang kematian para presiden atau pemimpin di berbagai negara, akan lebih panjang lagi. Mengapa itu terjadi? Ya bisa dimengerti, jangankan seorang presiden yang membawahi jutaan orang, tentu saja ada yang suka dan ada juga yang membenci, orang perorang saja atau setiap individu saja, ada yang suka dan ada juga yang membenci, itu fakta kehidupan, tak bisa dipungkiri oleh siapapun.
Kembali ke Jokowi yang sekarang menjadi Presiden ke 7 RI, tentu saja ada yang suka dan ada juga yang membenci. Yang suka atau cinta pada Jokowi tentu akan membela mati-matian, kalau bisa juga menjadi tameng diri agar Jokowi tetap aman dan selamat sampai akhir pemerintahannya di 2019 nanti, namun yang membenci Jokowi juga tak kurang-kurangnya, baik orang itu yang kecewa karena tak mendapat kursi jabatan di kabinetnya Jokowi atau memang lawan politiknya, yang tentu saja dengan naiknya Jokowi, gagalah segala rencana yang sudah disusun. Nah bagi pembenci Jokowi, apapun alasannya akan beteriak lantang selantangnya agar Jokowi segera turun, dengan mencari sebanyak-banyaknya kesalahan Jokowi.
Keduanya sebenarnya sama, sama-sama mencari kekuasaan atau jabatan, urusan rakyat nanti dulu, yang penting jabatan dan kekuasaan sudah digenggaman tangan dan jangan terlepas lagi. Yang suka pada Jokowi akan membela mati-matian Jokowi, karena dengan berada di “lingkaran dalam” Jokowi, jelas kekuasaan akan didapat, paling tidak kecipratan, dengan demikian kalau Jokowi diturunkan otomatis, semua lingkaran terdekat Jokowipun akan ikut tersingkir. Contoh, lihat ketika Suharto mendekati kejatuhannnya, sekian menteri yang tadinya berada di lingkaran Suharto, “mengkhianati” Suharto, dan mereka selamat. Suharto jatuh, para menteri tadi tetap berkuasa pada pemerintahan berikutnya. Itulah politik, tak ada kawan yang abadi, dan tak ada musuh abadi, semuanya tergantung pada kepentingan masing-masing.
Kembali ke Jokowi yang tentu saja menjadi “sasaran tembak” tentu bagi lawan-lawan politiknya. Jadi selagi Jokowi tetap menjadi presiden, selama itu pula Jokowi akan menjadi “sasaran tembak”. Sekali lagi, itu resiko kekuasaan dan jabatan tertinggi, di manapun dan kapanpun. Apa lagi selama ini Jokowi begitu cuek, terhadap segala macam hinaan, fitnahan, caci maki bahkan kritikan yang sangat pedas.