Mohon tunggu...
Syaripudin Zuhri
Syaripudin Zuhri Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar sampai akhir

Saya senang bersahabat dan suka perdamaian. Moto hidup :" Jika kau mati tak meninggalkan apa-apa, maka buat apa kau dilahirkan?"

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jokowi Bukan Layangan

7 April 2015   08:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:26 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_359434" align="aligncenter" width="113" caption="Jokowi telah menjadi Presiden RI ke 7, gonjing politik telah menerpanya, mampukah Jokowi mensejahterakan rakyat, kita tunggu hasilnya. Sumber:2lucu.com"][/caption]

Masih adakah pemimpin yang benar-benar niat untuk menyejahterakan rakyat yang dipimpinnya? Ini mungkin pertanyaan absurd, karena jawabannya kebanyakan orang tahu, yaitu jarang atau sedikit pemimpin yang seperti yang diinginkan rakyatnya. Buktinya? Indonesia mau HUT ke-70 tahun merdeka, namun rakyat masih saja tetap menjadi “bulan-bulanan” politik.

Jokowi yang diharapkan rakyat banyak, untuk mengubah nasib rakyat, dan ditunggu janji-janji saat kampanye, kelihatannya tak berdaya pada orang-orang di sekililingnya, yang tentu saja punya jasa, karena sudah menghantarkan Jokowi menjadi presiden RI ke-7. Sebagaimana pemeo berbunyi ”tak ada makan siang yang gratis” telah terbukti kebenarannya.

Pertama, ketika mengangkat para menteri, semula Jokowi mencoba berwacana untuk merampingkan kabinet kerjanya, dari semula warisan SBY 34 menteri mau dirampingkan, ketemulah angka 20,27 dan pada akhirnya, jumlah menteri tetap saja, bahkan hanya semacam tambal sulam, ganti sana, ganti sini, putar di sana putar di sini dengan berbagai istilah, berbagai macam kementerian yang namanya diubah-ubah.

Rencama mau ramping, batal, dana menjadi membengkak, karena ada kementerian yang digabung, dan ada yang dipisah, tentu saja berdampak pada jumlah orang pada kementerian masing-masing, dan mengubah struktur yang sudah ada di dalamnya, belum lagi ganti stempel, kop surat, nama gedung, plang gedung, dan berbagai macam buntut lainnya, yang tak bisa selesai dalam jangka setahun.

Kedua, mengangkat Puan Maharani, ini jelas-jelas rasa terima kasih Jokowi kepada Megawati, kementerian yang pada jaman SBY, tak ada, di jaman Jokowi diada-adakan, agar Puan dapat pos di kementerian. Memang itu haknya Jokowi sebagai kepala pemerintahan, tapi terbacanyata, itu kementerian “terima kasih” Jokowi kepada Megawati. Langsung Puan Maharani, yang anak kandungnya Megawati, menjadi menteri koordinator, jadi siapa bilang KKN sudah hilang di negeri ini? Pada jamannya SBY dan Suharto, menteri koordinator tersebut menjadi menteri biasa dulu, agar punya pengalaman, baru naik tingkat menjadi koordinator, apa boleh buat, itu politik. Jadi walaupun Puan sering bingung menjadi menteri, tetap saja menteri, dan menteri koordinator lagi, hebat bukan.

Ketiga, Jokowi menjadi susah “bergerak” karena begitu banyak kepentingan yang mengitari, dari sebagai manusia Indonesia yang tahu balas budi, Jokowi tak bisa mengelak ketikadisodorkan orang-orang di seklilingnya. Jokowi bukan Presiden boneka, itu yang sering dikatakan pendukungnya, tapi kelihatan sekali pengaruh tiga orang dalam segala gerak gerik politiknya.

Sehingga yang terjadi, Jokowi dipengaruhi oleh lingkaran orang yang mengitarinya. Jokowi mestinya bergerak bebas, tapi lagi-lagi yang namanya politik balas budi itu riil, bukan hanya wacana, tapi benar adanya.Makanya untuk menjadi kseimbangan Jokowi yang didukung partai-partai KIH, Koalisi Indonesia Hebat, mencoba menarik bandul politik ke partai-partai KMP, Koalisi Merah Putih. Sehingga sukar dibedakan mana partai pendukung, mana partai oposisi, semuanya menjadi abu-abu, tidak jelas.

Partai pendukung Jokowi di KIH, malahan terlihat lebih oposisi, ketimbang partai yang harusnya oposisi di KMP. Buktinya suara yang menghendaki Jokowi dilengserkan justru keluar dari politikus PDIP, padahal Jokowi adalah Presiden yang diusung oleh PDIP, namun karena ada kepentingan PDIP yang tak dimuluskan Jokowi, jadilah PDIP berteriak paling lantang untuk melengserkan Jokowi, ada apa ini?

Ya apa lagi kalau bukan “tak ada makan siang yang gratis”. Jokowi yang dimunculkan oleh PDIP, rupanya telah “unjuk gigi” bahwa Jokowi tak tunduk pada PDIP, tentu saja PDIP berang jadinya. Nah seharusnya Jokowi memang demikian hendaknya, karena Jokowi bukan hanya presiden PDIP saja, tapi Jokowi sekarang Presiden RI, Presidennya rakyat Indonesia!

Dengan demikian wajar kalau Jokowi tak hanya mementingkan apa yang dikehendaki PDIP. Apa lagi ada wacana Jokowi mau dijadikan ketua umum PDIP, wah jangan… Jokowi jangan mau menjadi ketua umum PDIP. Jokowi konsentrasi saja mengurus rakyat, jangan ditambah lagi menjadi ketua umum PDIP, yang ujung-ujungnya nanti membuat repot, seperti yang dialami oleh SBY ketika merangkap menjadi ketua umum Partai Demokrat.

Lalu pertanyaannya sekarang, bisakah Jokowi lolos dari ujian politiknya? Bisakah Jokowi tetap bertahan menjadi Presiden RI ke7 sampai 2019 mendatang? Ini menjadi pertanyaan menarik. Walau sudah ada wacana siapa presiden RI ke 8 nanti? Ini sebetulnya terlalu dini, terlalu premature. Tapi tanda-tanda ke arah itu sudah terlihat. Terutama pada perpecahan partai Golkar, semua sebenarnya ujung-ujungnya membidik ketua Golkar, karena siapa yang menjadi ketua partai, biasanya itulah yang dicaloknkan menjadi capres, itu realita politik di Indonesia.

Maka tidak heran, setiap tokoh di Indonesia berusaha melalui partai politik masing-masing menjadi ketua umum atau ketua Pembina, karena ketua itulah yang lagi-lagi dicalonkan menjadi capres. Dengan demikian Pilpres 2019 masih akan terisi oleh tokoh 4 L” lu lagi-lu lagi” Mengapa mereka masih tetap “ngotot” mencapreskan diri, inspirasinya tentu saja Jokowi. Kalau Jokowi saja bisa, kenapa mereka tidak? Mungkin begitu pikir mereka.

Lalu kembali kepada pertanyaan awal? Masih adakah pemimpin yang benar-benar berniat mensejahterakan rakyatnya? Kalau dijawab tidak ada, itu mustahil, masa semuapemimpin buruk? Kalau di jawab ada, ini pun susah mencarinya. Tapi kalau media mau, maka jadilah! Itu yang dialami Jokowi. Walaupun Jokowi kalah matang dengan JK dalam politik, tapi karena media begitu memberitakan sepak terjang Jokowi, jadilah Jokowi mengorbit, melesat begitu cepat, bak meteor, dengan kurang pengalaman mengurus politik secara nasional, maka terjadilah gonjang ganjing politik seperti kasugKPK vs Polri. Ibarat buah Jokowi. Adalah buah yang dikarbit, matangnya bukan alamiah.

Tapi karena lawannya pada Pilpres 2014 lalu Prabowo, maka jadilah seperti perang tanding. Lalu siapa tokoh-tokoh muda yang akan dimajukan oleh media dan penyandang dana di tahun 2019? Bisa Ahok, Ganjar, Ibu Risma, Ridwan Kamildan lain sebagainya. Namun sayangnya mereka bukan ketua partai politik, kalau mereka dimunculkan oleh partai, bisa-bisa nasibnya akan sama seperti Jokowi. Ibarat main layangan, di ulur, tapi ditarik-tarik juga, kasihan kan? Lalu kapan bisa mensejahterakan rakyat, kalau selalu direcoki oleh partai pendukungnya? Lalu kapan rakyat sejahtera?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun