Mohon tunggu...
Syaripudin Zuhri
Syaripudin Zuhri Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar sampai akhir

Saya senang bersahabat dan suka perdamaian. Moto hidup :" Jika kau mati tak meninggalkan apa-apa, maka buat apa kau dilahirkan?"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ini Semua Gara-gara Jokowi dan Ahok

8 Februari 2016   10:43 Diperbarui: 8 Februari 2016   18:33 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Jokowi dan Ahok pada saat Pilkada 2012 lalu menjadi bulan-bulanan oleh lawan politiknya, kini Jokowi menjadi presiden RI ke 7 dan Ahok jadi Gubernur. Mereka berdua menginspirasi banyak orang. Sumber: anggapremeh.com"]

[/caption]

Setelah empat hari berturut menulis tentang Ahok, saya stop dulu, walau kalau ditulis lagi tentang Ahok, ya tetap saja banyak yang baca, mengapa? Karena Ahok adalah gubernur yang unik. Saya menyebutnya “ anak macan” yang berani mengaum sekeras-keras, dan “memakan induknya”. Lihat saja dengan keluarnya Ahok dari Gerindra, partai yang mengajukannya menjadi cawagub pada Pilkada 2012 yang, bersama dengan Jokowi yang sekarang menjadi presiden. Ahok tak peduli dengan partai pengusungnya, jika memang berlawanan dengan nuraninya, disikat habis!

Itulah Ahok, dibilang tak tahu adat, tak tahu berterima kasih, “kacang yang lupa akan kulitnya”, “kutu loncat”, pemberang, emosional, pemarah, mau menang sendiri, tak punya etika sebagai pemimpin, dan sederet julukan buruk lainnya, Ahok tak peduli. Sikat habis, siapapun yang mencoba menghalanginya. Kalau atasannya saja Ahok “sikat”, apa lagi bawahannya, hanya tinggal dipecat! Dan pemecatan Ahok bukan hanya “gertak sambel”, tapi betul-betul dilaksakannya! Bahkan Ahok punya rencana “gila”, jika perlu 50 % pegawainya yang culas, akan disikat habis, diganti dengan pegawai yang benar-benar bekerja untuk rakyat.

Dan hebatnya, di tangan Ahok kesejahteraan pegawai meningkat, terutama golongan menengah ke bawah, sedangkan menengah ke atas menurun, jika dibandingkan dengan hasil korupnya, yang di masa sebelum Ahok, mereka pestapora, tanpa takut dipecat! Dan sekarang para pejabat korup tersebut, sudah banyak yang mengundurkan diri, sebelum dipecat oleh Ahok. Ahok benar-benar “ macan”, bukan lagi “anak macan”. Karena Ahok berani keluar dari partai, sedangkan tokoh lain, justru banyak yang tergantung pada partai, bahkan maaf,  setingkat Jokowi pun, yang kini seorang presiden, tak berani keluar dari partai!

Padahal Jokowi, di dalam PDIP, dijuluki sebagai “petugas partai” yang sudah menjadi kontroversi yang panjang, dibahas di mana-mana, ada yang pro dan ada yang kontra. Yang pro mengatakan, Jokowi memang petugas partai di dalam PDIP, karena Jokowi adalah anggota partai, bukan ketua partai. Yang kontra bilang, Jokowi bukan petugas partai, karena ketika Jokowi disumpah menjadi presiden, lepaslah dari partainya. Nah dalam kasus semacam itu, Jokowi tak seberani Ahok, yang mungkin punya pertimbangan lain atau Jokowi tetap membutuhkan partai, dalam hal ini PDIP, padahal PDIP yang telah mencalonkannya menjadi capres pada 2014 yang lalu adalah partai yang paling kencang bersuara agar Jokowi dilengserkan, terutama saat kasus Budi Gunawan dicalonkan menjadi kapolri, yang akhirnya dibatalkan oleh Jokowi, sehingga perpolitikan di Indonesia begitu gaduh, karena pro kontra antara Polri dengan KPK.

Nah Jokowi, dalam konteks yang satu ini, tak seberani Ahok. Jokowi tak berani keluar dari PDIP, karena dikatakan sebagai petugas partai, yang menurut Fadli Zon, merendahkan presiden, padahal presiden adalah puncaknya kepemimpinan eksekutif,  sebuah lembaga negara yang diincar oleh setiap tokoh politik dari partai manapun. Hal tersebut terlihat ketika para tokoh nasional “turun gunung” ingin menjadi gubernur DKI Jakarta, padahal para tokoh yang mau menjadi Gubernur adalah sudah menjadi tokoh nasional, seorang menteri, seperti Adiyaksa Daud mantan Menpora, Yusril mantan Menkumham,  bahkan sampai ke lembaga MPR, seperti mantan ketua MPR seperti Hidayat Nur Wahid. Mereka rela “turun gunung” bukan arti khiasan, benar-benar mengejar jabatan yang kalau dilihat dari struktur kenegaraan jauh di bawah yang mereka telah capai.

Jabatan Gubernur itu jauh di bawah menteri, karena Gubernur memang hanya mengepalai sebuah daerah setingkat provinsi. Sedangkan untuk menteri itu, bila memimpin sebuah depertemen, berarti menguasai depertemen tersebut untuk seluruh Indonesia, dengan demikian jelas menteri berada di atas Gubernur. Menteri bisa memerintah Gubernur sebagai kepanjangan tangan Presiden, karena menteri adalah pembantu presiden, sedangkan Gubernur tak bisa memerintah menteri!

Apa lagi untuk mantan ketua MPR, lembaga MPR itu setingkat dengan presiden, sebagai lembaga tinggi negara, artinya berada jauh di atas seorang Gubernur, tapi mengapa Hidayat Nur Wahid sampai mau turun memperjuangkan jabatan yang jauh di bawah yang sudah dicapainya selama ini? Ini benar-benar menarik untuk diamati. Ternyata jabatan Gubernur itu seksi, terutama menjadi Gubernur di DKI Jakarta, ini semua gara-gara Jokowi.

Mungkin anggapan para tokoh nasional itu, kalau Jokowi bisa menjadi Presiden, mengapa saya tidak bisa? Itu mungkin dorongan semangat mereka, mereka terinspirasi oleh Jokowi. Jokowi yang dilecehkan, direndahkan, dihinakan, sering dibully media, sering dikatakan”tukang meubel” oleh lawan politiknya pada pilpres 2014 yang lalu, kini benar-benar menjadi presiden Ri ke 7, benar-benar di luar logika mereka. Sudah diserang habis-habisan, dengan katakatan: wajah kapungan, ngedeso, kerempeng, hanya seorang mantan wali kota Solo, kota kecil di Jawa Tengah itu, ternyata dipilih rakyat untuk menjadi presiden mereka, luar biasa. Semuanya tiba-tiba terhenyak, kok bisa ya Jokowi menjadi presiden dan dipilih menjadi presiden, padahal bukan wajah seorang presiden!

Nah, dengan naiknya Jokowi menjadi presiden, otomatis Ahok, yang menjadi wakilnya di DKI Jakarta, menggantikan Jokowi menjadi Gubernur. Inilah yang menjadi malapetaka politik! Kecelakan sejarah, persis seperti naiknya Gus Dur menjadi presiden RI ke 4! Sampai-sampai Gus Dur membuat anekdot tentang presiden, itu artinya untuk dirinya sendiri, Gus Dur dengan enteng mentertawakan lembaga kepresiden yang didudukinya. Begini bunyi anekdotnya:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun