Mohon tunggu...
Syaripudin Zuhri
Syaripudin Zuhri Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar sampai akhir

Saya senang bersahabat dan suka perdamaian. Moto hidup :" Jika kau mati tak meninggalkan apa-apa, maka buat apa kau dilahirkan?"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Benarkah Lebih Enak di Era Orde Baru?

10 September 2016   09:08 Diperbarui: 10 September 2016   09:20 1636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jendral Suharto dengan lima bintang di pundaknya, Jendral Besar, Jendral yang terkenal dengan senyumannya. Sumber: merdeka.com

Kemarin Saya nulis tentang Jokowi dan OB( Orde Baru), oh rupanya banyak yang berprasangka bahwa OB itu buruk semuanya, dan lupa segala sesuatu jelas-jelas punya dua sisi, seperti mata uang, di mana satu sisi tak akan ada artinya bila tak ada sisi yang lainnya. Begitu juga dalam kehidupan, selalu ada dua sisi, termasuk dalam bidang politik, tidak semuanya baik, ada buruknya, tak semua buruk, pasti ada kebaikannya, di situlah kesempurnaan hidup, yang memang dibuat seperti tak sempurna, seperti paradok, padahal daaml paradok tersebut terdapat keseimbangan.

Lihat saja, ada lelaki ada perempuan, ada siang ada malam, ada baik ada buruk, ada hitam ada putih, ada keteraturan ada kekacauan, ada kaya ada yang miskin , begitu seterusnya. Yang kalau dalam istilah Cina, ada “ Yin dan Yang”. Lengkap sudah kehidupan, mengapa? Karena sesuatu tidak akan dikatakan baik, kalau tak ada yang buruk, bagaimana bisa dikatakan siang, kalau tak ada malam, begitu juga orang tak akan disebut kaya raya, kalau tak ada yang miskin papa.

Nah dalam OB pun, dibalik kekurangannya, banyak sekali kebaikannya. Mungkin kalau keburukannya semua orang sudah tahu, seperti merajalelanya KKN( korupsi, kolusi dan nepotisme), kekayaan yang melimpah hanya pada lingkaran dalam presiden atau istana, tiada kebebasan dalam berekpresi, tak boleh ada kritik pada pemerintah, bila terjadi bisa-bisa hak perdatanya lenyap, banyak pejabat yang adigung, adiguna alias sombong dan angkuh, bukan melayani, tapi minta dilayani.

Begitu juga biaya hidup menjadi tinggi, karena birokrasi yang nyelimet, sehingga muncul pemeo dalam pemerintahan atau ketika rakyat mengurus sesuatu ke kantor-kantor pemerintah ” kalau bisa dibuat susah, mengapa harus dipermudah”, maka istilah sogok menyogok menjadi sebuah kelaziman atau membudaya, dan APBN setiap tahun bocornya sekitar 30%, itu pernytaan resmi, belum lagi yang tak terlihat. Wah bisa “bajibun” kalau ditulis semua kebobrokan OB.

Seiring dengan kekurangan tersebut, ternyata OB juga banya kelebihannya, termasuk di dalamnnya seperti dibangunnya ribuan masjid “pancasila” di seluruh tanah air. Bandingkan dengan jaman reformasi, sudah berapakah masjid yang dibangun selama reformasi berjalan? Begitu juga dengan inprastrutur atau sarana dan prasarana, seperti jalan, jembatan, rumah sakit, sekolah yang dikenal dengan SD-SD inpres, pasar dan lain sebagainya.

Kondisi keamanan lebih terasa terjamin, antara angkatan tak terjadi bentrokan, dan ketika diadakan Pilpres lebih terasa hemat, cermat dan bersahaja, tak perlu partai yang banyak, hanya cukup tiga partainya, PPP, Golkar dan PDI, sehinga menjadi hemat anggarannya. Begitu juga untuk pemimpin provinsi dalam hal ini gubernur, tak perlu ribut-ribut atau bersitegang, seperti yang terjadi sekarang ini, karena diangkat oleh presiden, hemat biaya.  Bandingkan dengan Pilkada di era reformasi, untuk memilih seorang gubernur saja bukan hanya milyaran dana yang digelontorkan, tapi kalau ditotal dari biaya pengeluaran dari sepuluh partai yang ada, angka satu akan berderet nolnya, panjang sekali. Boros!

Lihat lagi, tak ada hiruk pikuk atau kegaduhan, bila presiden mengangkat seorang pejabat public, tak ada kesalahan adminitrasi seperti yang baru-baru ini terjadi, menteri diangkat hanya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, hanya karena tak teliti tentang kewarganegaraannya. Dan tak pernah kedengaran bila presiden mengangkat pejabat seperti Kapolri, BIN atau yang lainnya  terdengar gaduh, semuanya lancar selancar-lancarnya. Begitu juga, tak terdengar keguduhan politik di lembaga tinggi negara, seperti di DPR, tak pernah terdengar ada kursi melayang di DPR di era OB.

Lalu apakah dengan kebaik-kebaikan yang ada kita harus kembali ke era OB? Ya tentu saja tidak, karena jarum jam sejarah tidak bisa diulang, semua mengalir menuju ke masa depan, bukan kembali ke masa lalu. Jadi bagaimana mensikapi keadaan sekarang, di era reformasi? Yang seperti kegaduhan tek henti-hentinya, ada-ada saja penyebabnya. 

Bisa dimaklumi, presiden yang sekarang kalau menurut para pengamat, seperti “ buah yang belum matang”, terlalu cepat mengorbit, dan akhirnya seperti ini jadinya, sehingga banyak yang menyesal memilihnya, apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur, mari kita kasih irisan ayam, kecap, sambel, bumbu penyedap, bewang goreng dan lain sebagainya, agar bubur tadi enak dimakan.

Jadi tak ada penyesalan yang sudah terjadi, biarkan tetap berlangsung sampai batas yang sudah ditentukan oleh konstitusi.Tetap harus dihargai dan dibela, karena presiden, siapapun orangnya, adalah salah satu lembaga tinggi negara kita, yang wajib dihormati, terlepas dari segala kekurangannya. Nah ketika melihat kekurangan presiden sekarang, lihat kelebihannya, maka titik keseimbangan akan terjadi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun