Siapa berani benahi Jakarta? Ada yang menarik untuk disimak, terlepas dari hiruk pikuknya Pilkada DKI 2017, yang nantinya pendaftaran dibuka sekitar tanggal 21-23 September 2016. Konstalasi politik semakin menggeliat, semua mata seakan tertuju pada Pilkada DKI yang satu ini, padahal Pilkada bukan satu, sangat banyak. Hitung saja jumlah provinsi dan kabupaten yang ada di Indonesia, bisa “blenger”, karena begitu banyaknya pilkada di Indonesia, yang tentu saja memakan biaya yang tidak kecil.
Anda tidak percaya? Hitungnya saja bila dalam salah satu Pilkda, taruhlan PIlkada DKI Jakarta, entah berapa milyar yang dihabiskan oleh partai masing-masing untuk mengusung sang “jagoannnya”, bayangkan pula jumlah pilkada yang ada, tinggal dikali saja, akan ketemu angka yang fantastis, padahal kalau dialihkan untuk dana inprastruktur, sudah bisa menjadi jalan raya yang berkilometer panjangnya, atau bisa membangun jembatan di daerah-daerag terpencil, yang masih menggunakan jembatan gantung, pakai tambang atau yang sejenisnya, dan itu bukan di ujung pulau terluar, hanya beberapa kilometer di pinggiran Jakarta di sebelah Barat atau Selatannya.
Apakah harus dibalik lagi ke masa Orba, dimana Gubernur cukup diangkat oleh Presiden, dan itu berarti hemat sekian milyar, bahkan bisa hemat trilyunan kalau semua pilkada biaya ditotal menjadi satu, luar biasa, tapi ini demokrasi bung! Soal biaya urusan kesekian, yang penting ada kebebasan di sana, dan ternyata kebebasan itu mahal harganya. Hanya tinggal pilihan, mau bebas berdemokrasi atau mau hemat biaya? Pilihan dilimatis yang sampai saat ini para politikus tak bisa menjawabnya.
Kembali ke Pilkada DKI Jakarta, di mana Ahok sebagai cagub petahana yang sedang berada “di atas angin” sehingga para penantang yang semula gembar gembor untuk dapat mengalahkan Ahok mundur satu demi satu. Lihat saja Adiyaksa, dengan sangat realistis mundur teratur, karena tak mampu mengumpul kan KTP sebanyak yang disyaratkan KPUD. Begitu Dhani, mundur ke belakang, walau tetap “berkicau” untuk dapat mengalahkan Ahok, gimana caranya? Diri sendiri tak mampu, orang lain disuruh maju, aya-aya wae. Lalu sang Jendral Syafri, juga tak terdengar kabarnya. Sudahan Hidayat Nur Wahid, tak PD, partainya malah mengusung jagoan dari partai lain.
Siapa lagi? Yusril, inipun tak kalah repotnya, punya partai, sebagai ketua partai juga, namun bergerilya ke sana kemari, belum ada berita yang menyenangkan untuknya. Siapa lagi? Rizal ramli, inipun baru wacana. Anis Baswedan gimana? Masih jauh seperti yang diharapkan. Lalu siapa lagi, Sandiaga Uno… ya inipun masih belum bisa, karena masih sangat tergantung pada partai Gerindra, ketika tampil di Mata Najwa, terlihat sekali masih belum PD, masih gimana Bos di Gerindra. Wah susan kalau begini caranya.
Halo… halo siapa ya bisa mengalahkan Ahok sekarang ini? Rasanya susah, Ahok masih “di atas angin” susah untuk menjatuhkannya, PDIP sekalipun. Kok bisa, karena PDIP pun baru menang di atas kertas dengan modal 28 kursi di DPRD DKI, jangan lupa, ini bukan pemilihan anggota DPRD, tapi pemilihan gubernur, yang dilakukan secara langsung, bebas dan rahasia. Sehingga para pengurus partai, tak bisa melihat apa yang terjadi di bilik suara.
Jadi kalau ada klaim-klaim partai dengan mengukur seberapa banyak kusri yang didapat di DPRD hasil pilkada sebelumnya, itu omong kosong. Dan massa rakyat mengambang, dan sering bergerak kemana arus angin mengalir. Jadi klaim bahwa PDIP mampun mengendalikan suara rakyat, nanti dulu. Di DPRD boleh saja, tapi nanti di bilik suara bisa berbunyi lain. Jadi Ahok bisa terus bergerak dengan dukungan tiga partai sekarang ini, baik dari Nasdem Hanura dan Golkar, dengan jumlah kursi 24 di DPRD. Apakah ini menandakan kekakalahan Ahok? Ya belum tentu juga.
Ahok secara pribadi sebenarnya sudah oke, Ahok sebenarnya tak punya musuh, musuh Ahok adalah kejahatan di birokrasi. Ahok keras dan tegas pada pencuri di pemerintahan DKI Jakarta, dan Ahok tak segan-segan memecat bawahannya yang korup, dan memperlambat pelayanan untuk masyarakat di Jakarta, dan itu sudah terbukti. Bagaimana dengan banjir? Untuk saat ini, siapapun gubernurnya, banjir masih akan terus ada, karena banjir tidak takut pada gubernurnya, tapi pada kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan, tidak menjadikan sungai sebagai bak sampak yang mengalir.
Ahok akan santun pada orang yang santun, dan Ahok akan sopan pada pejabat di bawahnya yang sopan juga. Dan Ahok akan melebih preman, kalau yang dihadapi preman juga. Mana buktinya? Itu preman di Tanah Abang pada “keok” berhadapan dangan Ahok. Jadi apa yang kurang pada Ahok? Kalau menurut Nusron, ketua team kemenangan Ahok, pada saat diwawancarai oleh Don Bosko Salamun di acara “To The Pointnya”, mengatakan;” kekurangan Ahok adalah doble minoritas” Silahkan simak sendiri acara tersebut di Youtube, saya tak mau ikut membuka, karena nanti kebawa SARA.
Oke, apa lagi? Ahok masih “di atas angin” lawan terberat Ahok adalah dirinya sendiri dan mengerem mulutnya, yang lainnya enjoi aja. Lalu siapa lawan riilnya yang berat? Bolehkan dikatakan saat ini belum ada, belum terlihat, kamarin saya menuliskan “ kuda hitam”. Nah yang inipun masih tersimpan, jadi saat ini di atas kertas dan dalam hitung-hitungan politik Ahok punya kans menang, semakin dikeroyok Ahok semakin mudah menangnya, karena suara lawan pecah berantakan sebelum pilkada dimulai.
Lalu mengapa Letnan Jendral( Purn) Prabowo Subianto tidak “turun gunung”, perang habis-habisan melawan Ahok? Mengapa justru mengutus Uno, yang boleh dibilang “ anak bawang” dalam politik. Ya tentu saja ini tak akan terjadi, karena Ahok bukan level yang akan dilawannya. Sasaran Probowo bukan gubernur, tapi RI 1. Jadi dimaklumi kalau Prabowo todak “turun gunung” langsung melawan Ahok. Karena jikapun melawan akan menghadapi resiko tidak kecil. Menang juga malu, masa Letjen ( Prabowo) lawan sipil ( Ahok)? Apa lagi kalah, tambah malu-maluin, masa lawan Ahok aja kalah, padahal Ahok bekas anak buahnya di partai Gerindra, jadi dilema sekali buat Prabowo.