Heboh dengan munculnya acara bocor halus dari TV Tempo, yang kemudian lahir majalah Tempo edisi khusus dengan judul " Nawa Dosa Jokowi ", langsung di cover majalah tersebut pembaca digiring dengan sub judul yang agak panjang " Selama dua priode memimpin Indonesia Jokowi meruntuhkan demokrasi dan harapan-harapan reformasi, Nawacita menjadi bencana yang berlipat ganda. Hal.34. Yang menjadi obyek adalah Jokowi, yang suka atau tidak, adalah presiden kita semuanya, yang tetap harus kita hormati, kalau tidak  orangnya, ya paling tidak lembaga yang disandangnya, yaitu Presiden, lembaga eksekutif.
Mari kita ambil judul  Opini majalah Tempo " Hancurnya Tesis Orang Baik", kalau mau lebih jelas ya baca di majalah edisi khusus tersebut. Saya ambil judul Opini majalah Tempo, karena seirama dengan apa yang saya pikirkan, dan yang hampir sama dalam pikiran saya. Dulu Jokowo pada priode pertama 2014-2019 saya termasuk yang ikut memilih Jokowi, dan ikut menulis buku ontology tentang Jokowi bersama-sama teman kompasioner. Judul bukunya " Jokowi ( Bukan) Untuk Presiden ". Begitu kesemsem dengan Jokowi, saya sampai memulis tiga judul di buku tersebut, teman yang lain satu dua. Judulnya: " Jokowi Sang Gubernur Fenomenal. H. 149; " Dicari Capres Blusukan". H. 243; dan " Jokowi, Gubernur Langkah". H. 247.
Buku " Jokowi ( Bukan) Untuk Presiden " terbit 2013, setahun sebelum Pilpres 2014. Nah saat itu Jokowi memang menjadi "Media Darling", kemana saja Jokowi, media bergerak ikut, seperti ada gula ada semut, ada Jokowi pasti ada media. Jokoowi sampai ke gorong-gorong, dan itu menjadi hal yang sangat fenomenal, mana ada sih penjabat yang dalam kinerjanya sampai masuk ke gorong-gorong? Biasanya sih kebanyakan pejabat, tidak semua tentunya, duduk  di belakang meja saja menunggu laporan bawahannya. Nah Jokowi ini beda saat itu, terlepas kebongkar kemudian, bahwa itu hanya pencitraan, kita kesampingkan dulu.
Kita kembali ke judul tulisan ini "Jokowi Itu Sayang Keluarga, Salahnya di Mana?" Kalau dicari salahnya, wah bisa merembet ke mana-mana. Lagian siapa sih yang pada tahun itu, sekitar tahun 2013 dan 2014, yang tidak kesemsem dengan gaya Jokowi? Yang cirri khasnya baju putih yang digulung lengan panjangnya, katanya sih, simbol " kerja, kerja dan kerja". Saking kencangnya kata " kerja, kerja dan kerja" sampai lupa berpikir apa yang dikerjakan lebih dahulu atau mana yang diprioritaskan. Jadi kerjanya akhirnya terlihat, grasa grusu, terburu-buru, tembak langsung, aturan bisa diatur kemudian, nah kan bahaya kalau ada pimpinan seperti ini, mau-maunya sendiri.
Yang repot kalau kerja dalam hal ini membangun infratruktur, masalah pilpres dan pilkada bertentangan dengan aturan, bukannya Jokowinya yang ikut aturan yang ada, tapi justru aturan atau Undang-Undangnya yang dirubah, contoh tentang keputusan Mahkamah Konstitusi no 90, MK diplesetkan menjadi Mahkamah Kakak, merujuk kepada Gibran Rakabuming yang berhasil lolos pada pendaftaran menjadi Cawapres pada Pilpres 2024 yang baru lalu,berkat keputusan Sang Paman Usman yang menjadi ketua MK pada saat itu.
Dan keputusan Mahkamah Agung yang berhubungan akan bertarungnya anak Presiden Jokowi yang bungsu, Kaesang Pangarep, yang digadang-gadang menjadi Cagub pada Pilkada Nopember 2024. Ini 'anak ajaib', baru dua hari menjadi anggota PSI, Partai Solidaritas Indonesia, kemudian menjadi ketuanya PSI, luar biasa. Tak ada di dunia manapun, seseorang menjadi anggota sebuah partai yang baru dua hari, eh langsung menjadi ketua.
Kalau Kaesang  bukan anak Presiden Jokowi mana bisa? Mana ada sih di dunia di sebuah organisasi, baru menjadi anggota dua hari langsung jadi ketua. Di organisasi manapun, yang normal, biasanya orang merangkak dari bawah, kecuali punya hal-hal yang istimewa, karena kualitas atau kemampuan, integritasnya dan sebagainya. Lah Kaesang itu siapa, prestasinya apa? Pernah memerintah di level mana? Jangan-jangan tingkat terbawahpun tak pernah menjadi ketua. Cek ketika di SD, SMP atau SMA pernah Kaesang menjadi ketua kelas atau ketua OSIS misalnya?
Kembali ke PSI, ya tentu saja PSI sebagai sebuah partai tentu saja akan membelanya. Nah disitulah kesalahannya Jokowi. Tapi Jokowi pun bisa mengelak dengan kata-katanya, yang sekarang orang banyak sudah untuk mempercayainya, karena banyak bohongnya. " Saya sebagai orang tua hanya bisa mendokan yang terbaik untuk anak-anak", sementara sebelumnya, mengatakan "anak saya belum cukup umur, belum cukup pengalaman". Begitu kira-kira kata-kata Jokowi jika dikutip bebas. Jadi yang dikatakan Presdien banyak kotroversi, kalau kata Amin Rais " Pagi tempe, Sore Tahu" Kata-kata Jokowi susah dipegang buntutnya. Ngesennya kekiri, beloknya ke kanan, ibarat sebuah kendaraan.
Orang banyak sekarang pada kecele, apa lagi bila bicara IKN dan KKN, Jokowi dengan santai, ngotot IKN harus jadi, hingga yang semula IKN dananya dari para investor Asing atau dalam negeri dan jelas-jelas tidak akan menggunakan APBN, ternyata jauh panggang dari api. Sekarang IKN sudah menggunan dana APBN sekitar 90 trilyun, yang konon katanya sudah terpakai, sisanya sekitar 9 trilyun, coba itu. Jokowi tidak bisa menarik investor asing, sudah ke Jepang, Emirat adan lain-lain, gagal, tidak ada yang mau. Ini kesalahan kedua dari Jokowi. Kalau menurut majalah khusus Tempo yang terbit 29 Juli-4 Agustus 2024 ada 18 Dosa atau 18 kesalahan Jokowi! Banyak amat ya?
Jadi Jokowi salahnya di mana? Ya baca aja majalah khusus tersebut, saya saja sampai pesan majalah tersebut ke langganan beli Koran di P Gebang Permai. Biasanya beli di Gramedia Harapan Indah, takut ga kebagian atau kehabisan, karena memang pernah ada majalah Tempo yang habis dipasaran, gegara ada tulisan yang memang membahas hal Hot tentang pemerintah, dan konon diborong agar rakyat tidak bisa membacanya.