Minjam istilah Mata Najwa yang dipopulerkan oleh Najwa Shihab di mana acaranya mau ditutup pada akhir Agustus ini. Â Suatu acara talk show yang menarik begitu banyak orang, bukan puluhan ribu atau ratusan ribu orang, Â tapi jutaan orang yang tersihir dengan acara tersebut. Â Padahal acara tersebut bukan hiburan, Â tapi acara yang boleh dibilang serius, Â membahas tentang berbagai persoalan negara, Â dengan menghadirkan tokoh-tokoh nasional maupun daerah.
Namun tulisan ini tak akan membahas acara Mata Najwa tersebut, cukup sudah tiga tulisan Saya sebelumnya tentang Mata Najwa. Â Kali ini Saya menulis tentang Mata Kompasioner. Setelah kurang lebih tujuh tahun menjadi kompasioner, Â tepatnya 10 Februari 2010, banyak suka dukanya, entah mengapa Saya enjoy menulis di kompasiana, Â padahal banyak teman-teman kompasioner yang telah mengundurkan diri alias tidak menulis lagi dikompasiana ini, Â dengan berbagai alasan, dan hanya orang yang " tahan banting" yang tetap menulis di kompasiana.
Mengapa Saya sebut "tahan banting" yang tetap bertahan menulis di kompasiana? Â Anda bisa bayangkan, Â sudah tidak dibayar, Â mengeluarkan energi, pikiran dan dana untuk membayar langganan internet, Â eh masih mendapat resiko yang tak terduga. Bisa dibully habis-habisan bila tulisan yang diposting tidak pas atau kurang enak untuk dibaca, Â bahkan bisa dibilang bodoh, Â dicaci maki, Â dihina dilecehkan, diremehkan, Â dikecilkan, Â dianggap tulisan tak berbobot dan lain sebagainya.
Itu masih belum apa-apa,  bahkan Anda bisa disebut dengan isi kebun binatang oleh orang-orang yang tak sependapat dengan apa yang Anda tulis,  terutama bila tulisan Anda bernada atau berisi yang kontroversial.  Ambil contoh saat Pilkada DKI 2017 yang baru lalu. Wah itu benar-benar  seperti bara yang panasnya bukan main,  di saat itu, jangan coba-coba Anda mengkritik Ahok,  wah Anda akan diserang oleh pasukan nasi kotaknya Ahok. Atau seperti saat Pilpres 2014 yang juga seperti bara yang panas,  saat itu jangan Anda coba-coba menulis tentang keburukan atau kesalahan Jokowi,  yang menjadi media darling,  Anda akan diserang pasukan cyber mereka,  Anda akan diserang habis-habisan,  jadi seakan- akan Jokowi atau Ahok bukan manusia,  yang tak punya kesalahan apapun.
Alhamdulillah, saat itu sudah berlalu, Â untungnya saat itu Saya pakai jurus netral aja, Â agar tetap tetap enak dan nyaman ketika menulis, Â yang baik ya Saya tulis kebaikannya, Â yang salah ya Saya kritik dan memberikan solusinya, Â tentu menurut versi Saya. Â Perkara diterima atau tidak, bukan urusan Saya, Â bahkan bila diserang dan dibully habis-habisan, Â gara- gara berbeda pendapat dengan yang menyerang, Â Saya cuek aja, Â dengan jurus pamungkas, EGP, Â emangnya gue pikirin!
Nah dengan jurus EGP itulah Saya tetap bertahan menulis di kompasiana ini, Â niat awalnya sekedar berbagi, Â setelah diposting, Â ya urusan yang baca, Â diterima atau tidak bukan urusan Saya lagi. Lalu apa untungnya menjadi Mata Kompasiana? Secara matrial ga ada, Â karena memang ga dapat bayaran apa-apa, Â bahkan boleh dibilang nombok, Â seperti sudah Saya singgung di atas. Namun secara moril, Â banyak sekali untungnya menjadi Mata Kompasiana.
Setelah menjadi Mata Kompasiana benar-benar unik Saya rasakan, Â kepekaan melihat sesuatu yang menjadi lebih tajam, Â dalam arti bila melihat sesuatu, Â apapun bentuk dan sipatnya, Â entah itu melihat manusia, Â hewan, Â tumbuhan, Â benda-benda mati dan lain sebagainya, Â Saya langsung mengabadikannya dengan camera di HP atau di tab. Bila terilintas sesuatu yang menarik, Â juga Saya langsung catat di HP atau di tab.
Setelah menjadi Mata Kompasiana sesautu yang dulunya kurang diperhatikan atau diabaikan, Â kini menjadi sesuatu yang menarik, Â seperti ketika melihat orang mabuk yang tergeletak di Metro, Â orang yang sedang sholat di tengah-tengah stasiun kereta bawah tanah, Â orang yang tidur di bawah talang air, Â gelandangan yang meminum minuman ringan dari kemasan yang diambil dari bak sampah, Â tunawisma yang bersepatu dari plastik yang dilibatkan tali di kakinya dan lain sebagainya.
Dengan menjadi Mata Kompasiana,  jangankan acara yang besar,  seperti Festival Indonesia satu dan dua,  FI 2016 dan FI 2017,  burung darapun bisa menjadi bahan tulisan. Begitu juga yang lainnya. Bahkan setelah menjadi Mata Kompasiana suatu acara atau obyek  bisa ditulis dengan sudut pandang yang berbeda,  jadi bahasan tulisan seperti tak ada habis-habisnya. Jadi salah besar bila ada yang mengatakan kehabisan ide untuk menulis. Bila demikian, kehilangan atau kehabisan ide atau buntu ketika akan menulis, berarti belum menjadi Mata Kompasiana yang sejati. Benar atau tidak?  Ya terserah Anda menilainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H