[caption id="attachment_349928" align="aligncenter" width="150" caption="5 tahun sudah saya menjadi Kompasioner, usia balita semoga menjadi pelita. Sumber: driyanmetalingus.blogspot.ru"][/caption]
Mungkin banyak yang bertanya, buat apa sih nulis di kompasiana? Bukankah banyak model blog kroyokan, mangapa kompasiana yang dipilih? Mungkin juga banyak jawaban, salah satunya adalah selera orang perorangan. Kompasiana semakin "kinclong", walau seringkali masih error, ya dimaklumi aja. Sekarang kompasiana juga menjadi pilihan yang menarik buat berbagi dibidang politik, khususnya, apa lagi setelah muncul kasus" Cicak vs Buaya" jilid II dan meledaklah kompasiana dan dijadikan sumber berita dan disebut pada berbagai acara, salah satunya di acara ILC.
Kompasiana "naik daun" dan tidak lagi "dilirik sebelah mata" dan menjadi salah satu pilihan bagi para politikus untuk curhat dengan uraian yang panjang lebar, tidak seperti di Twitter yang kicauanya sepotong-sepotong, yang namanya berkicau, ya keluar ya sedikit-sedikit. Nah di Kompasiana sebuah tulisan bisa berpanjang lebar tampa dibatasi halaman. Di sini uniknya, mau nulis minimalis diterima, mau panjang lebar pun ok.
Lalu apa yang di dapat dari menulis di Kompasiana atau menjadi Kompasioner? Setelah "jatuh bangun" atau "bergulat" dengan Kompasiana tepat 5 Tahun( 7 Februari 2010-7 Februari 2015)? Â Banyak yang saya dapatkan dan mungkin ini juga subyektif, ini pendapat pribadi, bisa salah, bisa bisa juga benar. Walau banyak rekan-rekan kompasioner yang pergi dan tak kembali, tapi lebih banyak lagi yang datang, dan ini tantangn sendiri untuk tetap menulis dan menulis. Â Jadi selama 5 tahun ini banyak yang saya peroleh, diantaranya:
Pertama, wawasan bertambah. Ini hal pertama kali saya peroleh, dengan bergabung di Kompasiana banyak teman di berbagai kalangan  dengan latar belakang yang berbeda. hingga ketika diskusipun menjadi tambah menarik. Rambut sama hitam, pikiran manusia di dalamnya beragam dan tentu hasil yang disuarakannyapun berbeda. Dan perbedaan itu indah, jadi bagi saya, tak masalah bila beda pendapat.
Kedua, tulisan terasip dengan baik. Jadi tanpa susah-susah dan tak perlu meimikirkan tulisan tercecer, di Kompasiana sudah tersimpan dengan rapih dan utuh selama 5 tahun saya menjadi kompasioner. Dan ini menjadi bekal untuk menulis berikutnya, karena setiap tulisan yang dihasilkan ada "benang merah"nya yang mungkin saja tak terlihat oleh orang lain, tapi ada prinsif-prinsif yang terlihat di sana, yang menjadi pegangan yang utama. Nah di situlah saya bertahan untuk terus bertahan menulis free.
Ketiga, teman dan "musuh"pun bertambah. Kalau teman bertambah memang asik, ketika "musuh" bertambah apakah asik juga? Menurut saya sebenarnya asik juga punya"musuh" atau tepatnya lawan yang berbeda pendapat dengan kita. Karena yang berbeda pendapat atau lawan itulah yang tanpa tedeng aling-aling memuntahkan seluruh kekurangan kita, bahkan kalau sudah begitu bencinya sampai ke ubun-ubun, tak segan-segan mengeluarkan kata-kata yang tak pantas lagi diucapkan oleh orang yang berpendidikan, apa lagi mengaku beradab. Tapi bagi saya itu tak masalah, jurus mudah saja, EGP, Emangnya Gua Pikirin!
Keempat, sudah tiga buku keroyokan lahir, buku tersebut adalah: Jokowi (bukan) untuk Presiden, eh... sekarang jadi Presiden beneran!" Kami tak lupa Indonesia" dan "Ahok untuk Indonesia" ditambah dengan ebook dan epub untuk kalangan sendiri. Berarti sudah ada yang saya tinggalkan untuk generasi ke depan, sekecil apapun peninggalan tersebut. Jadi siapa bilang menulis di Kompasiana hanya sia- sia atau buang-buang waktu?
Kelima, banyak yang "ngintip" tulisan saya, termasuk yang mencopas baik yang minta izin atau  tidak, bahkan ada yang banyak yang membajak, karena tidak mencantumkan nama saya sebagai penulisnya. Itulah resiko menulis di blog, apa boleh buat, niatnya sudah berbagi. Nah yang "ngintip" ini maksudnya adalah silent reading, pembaca diam, yang hanya membaca dan tak komentar apapun, namun kalau tulisan saya tak muncul, di darat bertanya" mana tulisannya lagi? atau  "sudah ga nulis lagi ya?" entah pertanyaan ini sindirin atau apa, saya tak tahu. Kalau saya ambil yang postifnya saja, berarti saya di dorong lagi untuk menulis, walau mungkin tujuan pertanyaannya, sudah kehabisan ide ya?
Keenam, melatih untuk bersabar. Loh apa hubungannya tulisan dengan kesabaran? Mungkin ada yang bertanya demikian. Kesabaran ternyata diperlukan juga saat menulis di Kompasiana atau di web lainnya. Kalau di Kompasiana kesabaran itu harus lebih tinggi lagi, karena lagi asik-asik menulis, eh error! Ketika baru masuk login eh error juga, dan sudah bisa masuk login, ga bisa masuk ke ruangan untuk menulis, sudah bisa menulis eh bisa error juga, karena ga bisa dikirim. Sudah bisa dikirim atau di posting, ketika di baca, bisa berantakan tulisannya. Dan sudah terbaca tulisan, tak bisa menjawab teman yang koment. Dan seribu satu macam hambatan-hambatan atau error menulis di Kompasiana.
Saya hadapi dengan sabar dan saya anggap saja seni menulis dalam keerroran, seni menulis dalam kekacauan! Bagaimana tidak, sudah nulis panjang lebar, eh... tak bisa di save! Kacau bukan? Sudah begitu, Kompasiana semakin tenar, penulis semakin banyak, dengan demikian pilihan semakin banyak pula, otomatis keterbacaan sebuah tulisan pun semakin sedikit, kecuali yang lagi ngtrend atau tulisan yang menjadi artikel digandrungi banyak orang. Dan jangan lupa HL bukan jaminan sebuah tulisan banyak di baca orang. Maka perlu kesabaran yang tinggi untuk tetap menulis yang tak berbayar ini.