[caption id="attachment_345832" align="aligncenter" width="600" caption="Inilah tulisan saya yang paling banyak pembacanya, 41447, dengan judul Pantas Saja Film Noah Dilarang. Dokumen pribadi SZ."][/caption]
Rimba belantara Kompasiana telah menggurita kemana-mana, dan sebagaimana media sosial lainnya, Kompasiana rupanya sudah bukan lagi medsos, media sosial,  yang dianggap sebelah mata, mengapa demikian? Lihat saja iklannya semakin hari semakin bertambah dan banyak lembaga yang sudah bekerjasama dengan Kompasiana berupa lomba penulisan yang tentu saja menyangkut lembaga tersebut, seperti dengan lembaga milik pemerintah maupun perusahaan-perusahaan swasta. Dengan demikian Kompasiana tetap eksis dan  Kompasionernya terus bertambah.
Seiring dengan itu, maka tulisan di Kompasianapun bertambaha banyak, mungkin ratusan sampai ribuan tulisan setiap harinya, wah ini butuh penelitian sendiri untuk membahasnya. Kita tinggalkan itu semua sejenak, mari kita masuk ke kalimat pertama dalam tulisan ini, rimba belantara Kompasiana. Kenapa saya sebut demikian? Karena "hidup" di Kompasiana benar-benar seperti hidup di hutan belantara, yang bisa saja diterkam "macan!" Ya tentu saja ini pendapat pribadi, yang bisa saja berbeda jauh dengan pendapat teman-teman sekalian.
Rimba belantara Kompasiana telah melahirkan hukum rimba juga, dalam arti siapa yang kuat dia yang menang dan bertahan "hidup", yang tak mampu beradaptasi di rimba belantara Kompasiana akan tenggelam dengan berbagai alasan. Maka jadilah "kancil" yang cerdik agar tetap dapat hidup di hutan! Dan sudah banyak yang meninggalkan rimba belantara Kompasiana dan tak muncul=muncul lagi, alasan yang dikemukakan antara lain:
1. Kompasiana sudah tak asik lagi untuk tempat menulis. Yang pertama ini mungkin saja, Kompasionernya tak tahan terhadap "gempuran" akun-akun kloningan atau akun sungguhan yang berbeda pendapat dengannya. Sehingga buat apa dilayani, dibayar juga engga, lebih baik kabur dan mohon diri alias good bye! Dan yang punya alasan pertama ini tak sedikit jumlahnya, dan satu demi satu berguguran di Kompasiana alias tak muncul-muncul lagi, yang ada hanya tinggal akunnnya saja terpampang di Kompasiana, tulisannya sendiri sudah tak ada yang baru tak di up date lagi.
2. Kompasioner selalu bertambah setiap harinya dan ini membanggakan untuk admin Kompasiana, karena berhasil meningkatkan jumlah Kompasioner dan tentu saja jumlah tulisan. Kebalikannya, Â dan ini hukum rimbanya terjadi, semakin banyak tulisan yang beredar di Kompasiana, jumlah pembaca menjadi berbanding terbalik, bukan berbanding lurus. Dengan demikian tulisan Kompasioner jumlah pembacanya akan cenderung menurun untuk setiap tulisan yang ditayangkan, kecuali topik yang menjadi trend dan itupun jumlah pembacanya tidak lagi booming sampai ratusan ribu pembaca. Dan jangan lupa, tulisan yang diganjar HL pun oleh admin bukan jaminan banyaknya pembaca.
3. Karena Kompasiana adalah blog keroyokan, maka jangan heran jumlah kompasionernya menjadi aneh bin ajaib, mengapa? Ya karena Kompasionernya bisa bebas keluar masuk dan membuat akun semaunya dewe, semauanya sendiri, ya apa lagi kalau bukan akun bodong, sehingga bila ada tulisan yang sipatnya kontroversial, maka akun bodong akan berdatangan, terutama bila pembuat akun bodong ini tak sependapat dengan sebuah tulisan dan akan menyerangnya dengan membuat akun bodong sebanyak-banyaknya. Sehingga terkesan bahwa pembuat akun bodong banyak temannya atau pendukungnya, padahal pembuatnya orang yang sama.
Mengapa akun bodong tetap beredar, tak dihapus admin. Ya tentu saja itu haknya admin, dengan banyak akun bodong bukankah berarti banyaknya akun di Kompasiana, semakin banyak akun Kompasiana semakin berkibar, walau itu semu adanya, karena banyaknya yang bodong.
4. Kompasiana ini blog yang boleh juga disebut "blog gado-gado", dari yang masih "bau kencur" sampai yang sudah " banyak kencurnya" bisa menulis dan berbagi di Kompasiana. Konsekwensinya tulisan buat kalangan dewasa dibaca anak-anak, tentu saja menjadi "Jaka Sembung", ga nyambung! Dan lahirlah ungkapan yang membuat kepala puyeng, pusing tujuh keliling. Misalnya, tulisann digunakan pakai logika orang dewasa, dibaca oleh logika anak-anak, lahirnya komentar yang tak pernah bisa nyambung! Inipun menyebabkan banyak yang bilang" bye.. bye" pada Kompasiana.
5. Akun di Kompasiana konon tak bisa dihapus, maka bila sudah menjadi Kompasioner dan Kompasionernya pamitan, ya silahkan saja, tapi akunnya tetap ada di Kompasiana. Maka jangan heran bila ada akun yang sudah lahir beberapa tahun, mungkin coba-coba, tak ada tulisannya! Kalaupun ada paling satu dua tulisan saja, selain itu tak ada lagi tulisannya. Mungkin juga lagi "gagah-gagahan" atau tak tahu, bahwa Kompasiana.com bukan Kompas.com. Disangkanya kalau sudah nulis di Kompasiana itu sudah nulis di Kompas.com! Atau lebih "gila" lagi disangkanya kalau sudah nulis di Kompasiana sudah terkenal, karena merasa sudah nulis di Kompas!
[caption id="attachment_345833" align="aligncenter" width="300" caption="Inilah tulisan saya yang paling sedikit pembacanya, 14, dengan judul Orang Rusiapun Belajar Sholat. Dokumen pribadi SZ."]