Masyarakat Indonesia sering berdebat tentang dinasti politik. Kekuasaan politik yang diwariskan secara turun temurun dengan tujuan menjaga agar kekuasaan tetap dipegang oleh penerus yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat sebelumnya disebut dinasti politik. Dipercaya bahwa politik dinasti dapat membahayakan demokrasi dan kemajuan negara.
Dinasti politik atau dinasti politik?
Menurut kompas.com, Halili Hasan, pengamat politik dan direktur eksekutif setara lembaga, istilah "politik dinasti" dan "dinasti politik" sama-sama relevan.
Dinasti politik adalah fenomena yang tampaknya telah berlangsung lama di Indonesia. Namun, pada masa orde baru kemerdekaan Indonesia, ia semakin kuat. Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, fenomena dinasti politik semakin meningkat. Ini terjadi setelah Gibran Rakabuming, putra sulungnya, maju.
Putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023, yang mengubah batas usia kepala daerah, semakin mengejutkan publik. Putusan ini diduga sangat berkaitan dengan kepentingan Gibran, anak presiden yang ingin maju sebagai cawapres tetapi gagal memenuhi syarat konstitusional karena usianya.
Keluarga Jokowi lainnya dirumorkan akan berpartisipasi dalam Pilkada 2024. Menantu Jokowi, Bobby Nasution, diperkirakan akan maju dalam pemilihan gubernur Sumatera Utara, putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, dikaitkan dengan pencalonan walikota Solo, dan istri Kaesang, Erina Gudono, dikaitkan dengan pencalonan bupati Sleman.
Meskipun ada beberapa kelompok yang berpendapat bahwa tidak ada masalah dengan dinasti politik jika anggota yang akan mengambil alih adalah yang kompeten, hal sebaliknya juga bisa terjadi: dinasti politik dapat memberi kekuasaan kepada orang yang tidak kompeten.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H