Mohon tunggu...
Viqar Chu
Viqar Chu Mohon Tunggu... Buruh - Forester

lahir dari hutan, bermain dalam hutan, belajar kehutanan, beristri seorang yg mengabdikan diri di kehutanan dengan ilmu kehutanannya serta mencari hidup dari hutan dan mengabdikan diri untuk hutan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hanya KSA untuk di-EKF-kan

29 Agustus 2024   09:27 Diperbarui: 29 Agustus 2024   09:44 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Ditjen KSDAE

KSA adalah Kawasan Suaka Alam yang terdiri dari Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa. Sementara KPA atau Kawasan Pelestarian Alam bentuknya berupa Taman Nasional (TN), Taman Buru (TB) dan Taman Wisata Alam (TWA).

Secara defenisi, KPA adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupu di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sementara KSA adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kedua status kawasan hutan tersebut sama-sama berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan.

Ada yang menarik, Pada Undang-undang NOMOR 32 Tahun 2024 tentang Perubahan UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem disebutkan bahwa pada pasal 19 disebutkan bahwa untuk mengurangi luas kawasan hutan dapat dilakukan oleh pemerintah terhadap kondisi KSA bukan lagi KPA.

Tulisan saya sebelumnya dengan judul "Solusi Memutihkan Kawasan Konservasi" dijelaskan bahwa untuk Jika kondisi sebuah kawasan konservasi terutama meliputi kondisi keragaman jenis, kondisi alam, formasi biota atau kekhasan dan keunikan serta luasan kawasan yang berhubungan dengan efektivitas pengelolaan sudah tidak dapat dilakukan lagi, maka Unit Pengelola dapat mengajukan pemutihan sesuai dengan hasil inventaisasi yang telah dilakukan, kemudian. 

Atas petunjuk Direktur Jenderal KSDAE melakukan uji evaluasi dimaksud apakah benar kawasan konservasi tersebut telah rusak atau masih bisa dilakukan Pemulihan Ekosistem. Kalau Kawasan tersebut dianggap telah rusak oleh tim teknis maka Menteri LHK membentuk Tim Terpadu yang terdiri dari UPT Pengelola, Pakar keilmuan dari Perguruan Tinggi, lembaga Terkait, pemda dan Masyarakat setempat. Hasil dari Tim Terpadu dijadikan patokan oleh Menteri LHK apakah kawasan tersebut dihapuskan atau tidaknya akhirnya digugurkan oleh Undang-undang terbaru ini 

Semoga bermanfaat :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun