Perlu kita ketahui bahwa UUD 1945 pasal 28 menjamin setiap warga Negara untuk berserikat dan berkumpul, begitu juga dengan UU no 8 tahun 1985 tentang keormasan. Dalam hal ini Fungsi Negara selain dapat menjamin juga harus bisa bertanggung jawab atas segala produk hukum yang di keluarkannya khususnya terkait dengan keormasan.
Jika kita bercermin pada UU tersebut maka dalam rangka pembubaran suatu Ormas, Negara tidak bisa langsung membubarkan organisasi tersebut. Setidaknya ada beberapa mekanisme yang perlu di tempuh oleh pemerintah untuk bisa mewujudkannya. Jangan sampai pemerintah terpojokkan untuk mengambil keputusan singkat untuk membubarkan ormas karena suatu desakan suatu golongan atau panasnya isu di media massa/ elektronik atau bisa saja bertujuan untuk menutup isu-isu yang sedang hangat akhir-akhir ini.
Berdasarkan UU no 8 tahun 1985 (BAB VII, pasal 13), Pemerintah dapat membekukan Pengurus atau Pengurus Pusat Organisasi Kemasyarakatan apabila Organisasi Kemasyarakatan:
a. Melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum;
b. Menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan Pemerintah;
c. Memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan Bangsa dan Negara.
Dari hal di atas, setidaknya ada point yang bisa kita generalisir untuk menilai perlu atau tidaknya pembubaran pada FPI. Jika point tersebut memang cocok untuk di sematkan pada suatu ormas, maka pemerintah dalam hal ini mendagri dapat melakukan upaya pembekuan ormas tersebut. Namun, perlu di ingat juga pemerintah harus bersikap adil terhadap pelaksanaan pasal ini, karena penilaian tersebut berdasarkan penilian siapa, tentu harus ada tahapan/ mekanisme pembubarannya. Selain itu, keadilan pemerintah juga harus bisa melihat ormas-ormas/ kelompok lain yang memang sering mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Padahal kalau menimbang keburukan FPI dengan ormas lain yang terkenal dengan kekerasan fisik, FPI masih jauh di bawah mereka. Kita sebut saja ormas yg mengklaim etnis asli di Jabodetabek yang sering bentrok dengan ormas lain yang sangat kental dengan image "Preman” yang namanya berbau ideologi negara kita.
Menyelamatkan "pluralisme" dan melawan gerakan anti kekerasan dengan cara kekerasan pula bukanlah solusi, jika kita cermati aksi penolakan FPI yang terjadi di Kalteng saja, jika mereka berdalih anti kekerasan mengapa merekamelakukan sweeping ke bandara dengan berbekal senjata tajam, di tambah lagi mereka menerobos masuk bandara, tentu hal ini jika di lihat dari UU no 8 di atas sudah dapat di kategorikan mengganggu keamanan dan ketertiban umum, plus melanggar standar internasional tentang prosedur transportasi udara. Bahkan sampai merusak dan membakar rumah seorang warga.
Jujur saja saya menolak cara pendekatan yang dilakukan oleh FPI, Cuman dalam hal ini pemerintah juga jangan bersifat arogans dikarenakan opini publik yang terjadi akibat penghakiman oleh media terhadap ormas ini sehingga asas keadilannya tidak memuaskan semua pihak. Karena masih menurut UU no 8 tahun 1985 Pemerintah harusmelakukan pembinaan terhadap Organisasi Kemasyarakatan. Jadi jika memang fungsi pembinaan yang dilakukan pemerintah sudah berfungsi dengan baik, maka saya yakin bahwa ke depan ormas-ormas tersebut bisa menjadi stakeholder dalam membangun dan memajukan Negara ini.
by: Abie Faisal Bisri (Ahli anti labilogi dan sotoylogi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H