Permasalahan kemacetan di DKI Jakarta menjadi salah satu permasalahan kronis yang mulai 'membiasa' di masyarakat. Meskipun telah bersarang berdekade lamanya di ibukota, namun belum ada solusi efektif yang dapat menuntaskannya secara menyeluruh. Kemacetan itu sendiri banyak membawa dampak signifikan terhadap kehidupan penduduk DKI Jakarta, seperti kerugian waktu maupun pemborosan energi.Â
Presiden Joko Widodo mengungkapkan, kemacetan di Jabodetabek menyebabkan masyarakat kehilangan produktivitasnya sebesar Rp 65 triliun per tahun. Padahal, masyarakat sebenarnya memiliki kekuatan yang besar dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Akar permasalahan kemacetan ini bak fenomena gunung es, hanya sebagian kecil yang terlihat di permukaan, sedangkan sebagian yang lain tidak terlihat. Namun, apabila kita menelisik secara lebih tajam, salah satu akar masalah dari kemacetan ini adalah tingginya penggunaan transportasi pribadi pada masyarakat.Â
Penggunaan transportasi pribadi ini ditengarai oleh keinginan setiap individu untuk memiliki kendaraannya masing-masing. Kendaraan pribadi dianggap lebih menghemat waktu serta biaya. Hal ini didukung pula oleh produsen kendaraan pribadi yang hampir setiap tahunnya mengeluarkan produk-produk baru untuk dipasarkan.
Menurut data Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Mabes Polri), jumlah kendaraan yang terdaftar di Indonesia pada Januari 2018 mencapai 111.571.239 unit kendaraaan. Angka tersebut termasuk jumlah sepeda motor yang memberikan kontribusi sebesar 82% atau 91.085.532 unit, mobil pribadi sebanyak 12% atau sebanyak 13.253.143 unit, sisanya kontribusi dari bus, mobil pengangkut barang, dan kendaraan khusus. [RNM2] Tentu saja, produsen-produsen tersebut berharap produknya laris di pasaran. Sehingga berbagai strategi pemasaran pun terus digencarkan, seperti keringanan biaya sehingga pembeli dapat membawa pulang kendaraan baru dengan DP terjangkau.
Angka permintaan transportasi pribadi ini juga akan terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk Indonesia dari tahun ke tahun. Menurut perhitungan PBB, saat ini penduduk Indonesia berjumlah 267.078.225 jiwa. Bahkan, PBB memprediksi Indonesia akan menjadi negara keempat terbesar di dunia dengan populasi 295 juta pada 2030 mendatang.Â
Sedangkan, infrastruktur jalan yang menopang pergerakan transportasi tidak sedikitpun mengalami perluasan maupun pelebaran. Dengan begitu peningkatan jumlah penduduk dinilai berpotensi besar menghambat pergerakan penduduk, khususnya di kota padat penduduk seperti DKI Jakarta.
Selain itu, masalah polusi udara yang ditimbulkan dari kemacetan ini juga kerap mengganggu aktivitas masyarakat di sekitarnya. Seperti yang kita ketahui, polusi udara menyebabkan berbagai penyakit seperti gangguan pernapasan dan kardiovaskuler yang tak jarang mengancam keselamatan jiwa manusia. Data yang dilansir Nypost menyatakan, studi dari Universitas Medical Center Mainz di Jerman menemukan bahwa polusi udara menyebabkan lebih banyak kematian daripada merokok sebesar dua kali lipat.Â
Bahkan, jumlah kematian akibat polusi udara di Eropa mencapai hampir 800.000 kasus per tahun. Lembaga Greenpeace dan IQAir menobatkan Jakarta sebagai kota dengan polusi udara tertinggi di Asia Tenggara. Apabila saat ini Jakarta telah melampaui ambang batas kesehatan udaranya, apakah kita akan berdiam diri dan menunggu hingga polusi ini menelan banyak korban seperti yang terjadi di Eropa?
Saya sendiri meyakini sebagian masyarakat telah sadar akan penggunaan transportasi pribadi yang justru menimbulkan banyak kerugian bagi kehidupan sehari-hari mereka. Masyarakat pun juga berpotensi memiliki ketertarikan untuk beralih pada, solusi terunggul saat ini, penggunaan transportasi publik. Namun, di lain sisi masyarakat juga ditimpa kebingungan karena ketiadaan transportasi publik yang mumpuni untuk menggantikan peran transportasi pribadi dalam kehidupan mereka.
Salah satu penyebab masyarakat masih malas untuk beralih pada penggunaan transportasi publik ialah kualitas dari transportasi publik itu sendiri. Kualitas transportasi public Indonesia dinilai masih belum memenuhi level of satisfaction atau rasa kenyamanan bagi penggunanya. Belum lagi masalah keamanan, waktu, dan biaya juga menjadi pemicu minimnya minat masyarakat untuk menggunakan transportasi publik.Â