Mohon tunggu...
Vio Rizqi
Vio Rizqi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Produktivitas: Antara Bonus Demografi dengan Pendidikan

10 Desember 2017   14:59 Diperbarui: 10 Desember 2017   15:39 2374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Data hasil proyeksi penduduk oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan populasi penduduk Indonesia saat ini lebih didominasi oleh kelompok umur produktif yakni antara 15-64 tahun. Kondisi ini yang menunjukkan bahwa Indonesia tengah memasuki era bonus demografi, yaitu  suatu periode terjadinya ledakan penduduk usia produktif (15-64 tahun) yang bisa menopang penduduk usia non-produktif (0-14 dan 65+).

Dalam kondisi ini, angka ketergantungan penduduk cenderung rendah. Era ini dapat menjadi keuntungan bagi pembangunan nasional suatu negara. Berdasarkan data World Bank pada tahun 2016, rasio ketergantungan penduduk Indonesia adalah 49. Angka ini menunjukkan bahwa setiap 100 orang usia produktif terdapat sekitar 49 orang usia tidak produkif, yang menunjukkan banyaknya beban tanggungan penduduk suatu wilayah.

Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, mengatakan saat ini produktivitas masyarakat Indonesia terbilang rendah. Saat ini, pendapatan per kapita Indonesia masih berada pada posisi 3.600 dollar AS. (http://ekonomi.kompas.com).Sedangkan, di negara dengan angka ketergantungan yang tinggi, misalnya negara Jepang dengan angka ketergantungan 65, memiliki pendapatan perkapita 38.457 dollar AS. Sangat jauh dengan Indonesia yang hanya memiliki pendapatan perkapita 3.600 dollar AS, padahal jumlah penduduk usia produktif di Indonesia jauh lebih banyak daripada negara Jepang. Hal ini ditengarai sebagai dampak dari kurangnya kemampuan manusia Indonesia di usia produktif untuk menjadi insan produktif.

Menurut teori John Stuart Mill, produktivitas berbanding lurus dengan pendidikan.   Seperti dilansir oleh CNN Indonesia, UNDP mencatat bahwa Indeks Pembangunan Manusia Indonesia pada tahun 2015 sebesar 0,689 dan berada di tingkat 113 dari 188 negara di dunia. Ini menunjukkan kualitas SDM Indonesia menurut tingkat pendidikannya relatif masih rendah. Hal ini ditengarai karena masyarakat kurang mendapat pendidikan yang layak.

Mengapa di era millennial ini, dan pada usia yang begitu muda dan produktif,  masih ada manusia yang tidak mendapatkan jatah pendidikan yang layak? Kondisi ekonomi orang tua yang kurang memadai  karena tingkat pendidikannya yang rendah merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan terampasnya hak anak untuk menikmati pendidikan.  Sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, anak-anak cenderung memilih putus sekolah dan membantu memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya.

Akar dari permasalahan itu sendiri adalah banyaknya orang tua yang tidak mempertimbangkan kemampuan ekonomi mereka ketika memutuskan untuk menambah jumlah keturunan mereka. Tidak hanya berdampak pada pendidikan dan produktivitas anak, kurang matangnya orang tua dalam mempertimbangkan jumlah keturunan mereka juga menyebabkan meledaknya angka kelahiran penduduk yang berujung pada terhambatnya pembangunan nasional. Selain itu, pertimbangan kondisi ekonomi untuk membiayai hidup yang layak, dan mengantarkan anak ke jenjang pendidikan yang tinggi juga ikut serta dalam pertimbangan keluarga yang produktif. Sehingga, masyarakat Indonesia yang memiliki pendidikan lebih tinggi cenderung lebih kritis mempertimbangkan jumlah keturunan mereka yang secara tidak langsung akan menekan angka kelahiran.

Mirisnya, pola pikir 'banyak anak banyak rejeki' masih cukup melekat di hati masyarakat Indonesia. Dr. Emi Nurjasmi, M.Kes, ketua pengurus pusat Ikatan Bidan Indonesia (IBI) juga berpendapat demikian. Pola pikir seperti inilah yang tak jarang justru menjadi momok bagi negaranya sendiri. Cukup sulit untuk mengubah pola pikir masyarakat yang turun-temurun dan telah membudaya. Sehingga, alih-alih membuat sosialisasi mengenai kepadatan populasi yang kemungkinan besar kalah dengan 'budaya' penduduk, akan lebih baik bagi pemerintah untuk menjamin pendidikan yang layak bagi setiap warga negaranya. Dan juga, kita sebagai masyarakat harus mendukung dan memanfaatkan program pendidikan yang sekarang sudah pemerintah berikan dan berusaha  ikut memaksimalkan bonus demografi untuk pembangunan nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun