Seperti apakah takdir..
Apakah ia adalah akar yang berasal dari tanah penciptaanmu
Ia membelit kakimu hingga kepalamu
Atau ia adalah mata rantai tak terlihat, yang sewaktu-waktu menikammu untuk merasakan nyeri
Jika bumi ini bergulir, bukannya berputar, apakah ia akan masuk ke dalam matamu yang muak melihatnya
Lalu lidahmu meludah, karena mengecap hidangan pahit yang disajikan Tuhan
Kau.. miskin..
Begitu pula aku
Kau tak memiliki aku, aku tak memilikimu
Kita tak memiliki emas, kertas yang meloncat dan merangkak dalam lompatan inflasi, tak pula tanah yang bersemak maupun berbata
Kita yang tak memiliki apapun ini, bahkan tak memiliki diri kita sendiri
Kita adalah nyawa-nyawa yang digenggam Dia
Kita hanya sedang memainkan peran dalam opera seumur hidup
Kau atau aku bisa memilih atau terpilih..menjadi malaikat atau setan, atau malaikat setengah setan, atau setan yang menyamar menjadi malaikat, atau tak lebih dari atom yang membentuk kerangkamu
Kita berjalan, atau menyusuri, atau berlari
Seperti tanda tanya yang tak bisa dihabisi
Seperti air mata yang kau reguk lalu mengalir lagi ke lembah sunyi
Kosong…adalah kata-kata yang sedang tercurah bak air bah namun ternyata tak memiliki secuil makna bagi pemilik sanubari
Retak..adalah aku kini.. lalu kau apa? Kata apa yang lebih hancur daripada hancur..
kau tak perlu bilang padaku. Aku sudah tahu. Kau ingin sekali mati tenggelam di sungai firdaus sebagai akhir peran operamu..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H