Mohon tunggu...
Revina Violet
Revina Violet Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

hanya penulis pemula

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Potret Pengemis Hidrosefalus

7 Januari 2014   21:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:03 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13891035052097425028

Susah sekali mencari sosok pengemis yang memangku anak hidrosefalus itu. Teman-temanku sering menyebutnya, tapi aku bahkan tidak pernah melihatnya sekali pun. Baru beberapa hari ini aku gencar mencarinya karena tuntutan sebagai kuli tinta di kampus. Beberapa kali aku pergi ke Pasar Besar di kecamatan Klojen, Malang, melayangkan pandangan ke seluruh emperan toko, tapi aku tidak menemukan sosok seorang pria tua yang memangku bocah penderita hidrocepallus. Beberapa tukang parkir pun mengatakan mereka sudah lama tidak melihat pengemis itu. Aku hampir putus asa.

Mungkin aku sudah memutuskan mencari narasumber yang lain untuk penulisan feature, jika saja Tuhan tidak buru-buru merajut kembali asaku. Aku menemukannya. Ia sedang duduk di depan toko baju. Benar apa yang orang-orang egative. Ia memangku seorang bocah yang kepalanya dua kali lipat lebih besar. Jujur, aku merasa takut dan gentar jika melihat bukti nyata betapa kejamnya dunia. Bocah itu cacat, tapi ia harus berjemur seharian demi mendapat gemerincing koin dan lembaran rupiah. Adilkah?

Agak gugup, aku mendekati mereka. Aku bertanya pada sang pengemis dengan hati-hati. “Maaf, ini anak Bapak ya?”

“Iya, nduk………” jawabnya, ditambah beberapa potong kalimat bahasa jawa halus yang tidak aku mengerti. Untungnya temanku paham dan segera menerjemahkannya.

Aku mencuri pandang egativ bocah malang itu. Sorot matanya itu yang membuatku tidak tega. Terlihat mendelik dan seakan ingin mengungkapkan sesuatu. Tapi ketika melihat sudut bibirnya melengkungkan senyuman karena ayahnya mengajaknya bercanda, aku merasa sedikit lega. Sedikit saja, tidak banyak. Paling tidak, dia masih bisa tersenyum.

Melalui perjumpaan singkat itu, aku berhasil mendapatkan sedikit informasi. Bocah hidrosefalus tersebut merupakan anak kandung sang pengemis yang kerap disapa Tarman. Namanya Rita Andiya. Mereka datang ke Pasar Besar sejak pukul 08.30 pagi, kecuali jika hujan mengguyur bumi Arema, maka aktivitas pun terhambat.  Sebenarnya saya ingin bertanya lebih banyak lagi, tapi Pak Tarman kelihatan enggan menjawabnya. Berhubung saya sudah mendapatkan alamat rumahnya, saya memutuskan untuk mengunjunginya besok pagi.

Simpang Siur Kelahiran Rita

Semula, aku mengira rumah mereka hanya berupa anyaman egati atau berpapan kayu. Tapi ternyata rumah mereka terlihat cukup kuat fondasinya, dengan dinding semen dan lantai keramik. Rumah kecil itu dihuni oleh 4 orang, yakni Tarman, ibu kandung Rita, dan bibinya, tidak terkecuali Rita sendiri. Sang ibu kandung bernama Rusti, sedangkan sang bibi atau adik Rusti bernama Rustini. Ketiga orang dewasa itu telah memasuki usia senja.

Kesalahanku yang kedua adalah menerka umur Rita. Aku selalu mengira dia adalah bocah yang berumur sekitar sembilan atau 10 tahun. Ternyata, menurut penuturan orang tuanya, dia berusia antara 18 sampai 20 tahun ke atas. Namun, mereka tidak ingat berapa tepatnya usia Rita, sebab mereka tidak ingat sama sekali dengan bulan maupun tahun kelahiran anak semata wayangnya. Jika sebelumnya,  Tarman mengatakan usia Rita adalah 18 tahun, maka Rustini mengatakan usia Rita sudah mencapai 23 tahun. Bahkan, Umi’Su yang merupakan ketua RT X menyatakan lebih jauh lagi. “Kalo tidak salah, sejak tahun 88 saya pindah ke sini, Rita sudah gede. Usianya mungkin hampir 30,” ungkapnya.

Menginjak Usia 3 Bulan, Kepala Rita Mulai Membengkak

Aku mencoba mencari tahu sejak kapan Rita menderita hidrosefalus. Rusti pun menggali ingatannya yang telah memudar. Ia menjelaskan, Rita mulai jatuh sakit sejak usianya menginjak 3 bulan.  “Awalnya, terdapat benjolan-benjolan kecil di kepala. Lama-lama kepalanya membengkak. Dulu ukuran kepalanya malah lebih besar dari sekarang.” Tutur Rustini. Bahkan, dia menambahkan, kepala Rita sempat mengalami pendarahan.

Tarman mengungkapkan, Rita sempat dioperasi dua kali. Namun, lagi-lagi faktor usia membuatnya lupa tahun kejadian serta lokasi Rumah Sakit. Tarman hanya mengingat bahwa biaya operasi ditanggung oleh pemerintah. Kondisi Rita pun ‘membaik’. ‘Baik’ dalam pandangan keluarga Tarman adalah Rita tidak merasa kesakitan lagi, meskipun fisiknya abnormal.

Kini, entah sudah 18, atau 23, atau 30 tahun telah berlalu. Tetapi yang jelas, keadaan Rita masih sama seperti yang dulu. Kalaupun Rita jatuh sakit, dia hanya akan diberi pengobatan tradisional, seperti penuturan Rusti. “Kalo badannya mulai panas, langsung kami kasih jamu biar reda,” ucap wanita yang pernah menjadi pengasuh anak di Malaysia itu.

Mengemis Demi Rita

Hampir setiap hari Tarman mencari nafkah di Pasar Besar. Mereka diantar dengan motor oleh keponakan laki-laki Tarman. Terkadang, adik Rusti, Rustini, ikut menemani. Aktifitas mereka di pinggir toko itu berlangsung sampai pukul 14:00. Setelah itu mereka pulang ke rumah.

Selain mengais rezeki di Pasar Besar, Tarman juga bekerja di pasar minggu. Tentu saja, Rita selalu ikut. Tidak sedikit orang yang berempati. Pria lanjut usia itu pun mengumpulkan kepingan koin dan lembaran rupiah agar dapur tetap mengepul.

Sebenarnya, dulu Tarman bukan seorang pengemis. Dia dan istrinya mengaku pernah berdagang apa saja agar bisa makan. Tapi, semenjak tubuh mereka semakin renta, mereka tidak kuat lagi meneruskan pekerjaan itu. Apalagi, mereka tidak memiliki anak lain selain Rita. Akhirnya, Tarman memutuskan untuk mengemis.

“Yang penting cukup buat Rita makan sehari-hari,” ucap Tarman.

Selama belasan tahun, Rita selalu ikut sang ayah mengemis. Ia memang tidak bisa berpisah dari ayahnya. Lagipula, Rusti dan Rustini sudah tidak sanggup lagi mengurusi segala keperluan Rita.

Aku hanya bisa termenung, mencoba menarik benang merah dari setiap potret kehidupan yang baru saja kusaksikan. Ada banyak hal yang ingin kuteriakkan, yang tentunya haram hukumnya dituliskan  ke dalam berita, karena aku terbelenggu prinsip show don’t tell. Oleh karena itu, aku hanya mampu meneriakkannya pada 127068 kompasianer. Entah dilihat atau tidak, dilihat kemudian dibaca atau justru langsung egative pagenya, atau diberikan respon positif maupun egative, terserah saja. Saya hanya ingin menyuarakan apa yang mengendap selama ini.

Jika aku menarik semua pola, maka aku akan menemukan satu titik yang mana titik tersebut berperan sebagai korban utama. Dia adalah Rita, gadis penderita hidrosefalus. Bayangkan saja, setiap hari dia dipangku ayahnya di emperan toko, menyaksikan lalu lalang orang yang lewat. Entah sudah berapa ratus pasang masa yang melirik Rita dengan ribuan makna, mulai dari iba, takut, dan sebagainya. Tetapi, menurut Tarman, apa yang Rita inginkan hanyalah dekat dengannya. Sesederhana itukah? Maaf saja, aku tidak bisa menganggapnya sesederhana itu.

Pola-pola terkait yang ‘mengorbankan’ Rita adalah pemerintah, bahkan orang tuanya sendiri. Jika boleh, saya malah berpikiran Tarman dan Rusti telah mengeksploitasi anak mereka sendiri. Opsi pertama, jika Tarman memang ingin jadi pengemis, mengapa dia harus membawa Rita bersamanya, setiap hari pula. Apakah alasannya hanya karena Rita tidak bisa jauh dari Tarman? Saya pikir urusan ‘tidak-bisa-jauh’ itu bisa dikondisikan. Sebab, jika dia memang menyayangi anaknya, dia tentunya tidak tega membawa Rita setiap hari, berjemur kepanasan, dan menjadi konsumsi tatapan masyarakat. Kecuali, jika dia memang menggunakan Rita untuk meraup limpahan empati orang banyak.

Opsi kedua, Tarman lebih memilih menjadi pengemis daripada berdagang seperti profesinya dulu. Dia mengatakan sudah tidak kuat lagi berdagang karena tubuhnya sudah renta. Kupikir, fisik bukan menjadi alasan selama dia masih bisa berjalan dan sanggup melakukan segala sesuatu sendiri. Toh, banyak saudara kita yang kurang beruntung, misalnya para penyandang cacat, yang berusaha mencari rezeki dengan bekerja apapun asal halal. Seandainya saja Tarman adalah kepala keluarga yang rela membanting tulang demi menghidupi keluarga, tentunya kisah ini akan jauh lebih mengharukan.

Pihak lainnya yang berperan adalah pemerintah. Mengapa Tarman dan pengemis-pengemis lainnya di Malang, sampai saat ini betah dengan pekerjaan mereka? Menurutku, jawabannya adalah karena pemerintah, khususnya Pemerintah Kota Malang kurang memperhatikan mereka. Aku pikir, Walikota Malang yang kerap disapa Abah Anton perlu mencanangkan program pemberdayaan pengemis, bukan hanya melulu mengurusi lalu lintas One Way (betulkan jika saya salah). Sehingga, tidak ada lagi atau minimal mengurangi maraknya pengemis, mulai dari yang benar-benar cacat sampai yang menyewa bayi orang lain. Tentunya, Kota Malang tidak ingin terlihat ‘malang’, bukan?

Namun itu hanya sekedar saran dariku, apalah artinya seorang aku, hanya mahasiswa perantauan yang mencoba mengintip fenomena masyarakat, dan menuangkan semua kegelisahannya dalam tulisan yang ecek-ecek.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun