Media sosial telah menjadi salah satu dan banyak platform digital yang sampai hari ini sangat populer dari kalangan masyarakat bawah, menengah hingga kalangan atas, bahkan lingkup cakupanya sudah sampai mendunia. Perkembangan teknologi memang melahirkan perangkat canggih yang menjadikan masyarakat mudah untuk mengakses puluhan hingga ribuan konten yang ada di media sosial. Namun dibalik itu semua, media sosial ibaraktan sebuah pedang bermata dua yang dengan kata lain bisa memberikan dampak positif maupun negaatif.
Didalam film social dilemma ini, isinya benar benar membuka tabir dan membongkar dampak dampak negatif dari media sosial yang bahkan kita tidak sadar dan sama sekali tidak mengetahui bahwa bagaimana sebenarnya secara mendasar ada cara kerja media sosial benar benar menjerumuskan kita. Â Ternyata teknologi yang bekerja didalam media sosial memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan teknologi yang sebelum sebelumnya manusia gunakan.
Mulai dari tersebarnya hoax atau informasi palsu  yang menyesatkan seseorang, hingga pencurian data pribadi  yang bisa saja merugikan seseorang secara finansial. Tak ada lagi perlindungan privasi di dalam bersosial media. Bahkan, film ini juga memperlihatkan bagaimana media sosial bekerja dan berdampak dalam isu kesehatan mental para penggunanya. Penggambaran sisi buruk media sosial  yang disampaikan oleh para pembuat platform ini seakan membuka mata kita semua bahwa internet dan media sosial memang tempat  yang menyeramkan. Hal-hal  yang ditampilkan banyak orang hanyalah permukaan saja, tanpa kita semua tahu apa  yang terjadi dibaliknya. Media sosial memang bisa jadi hiburan  yang murah bagi masyarakat. Namun, penggunaannya harus tetap dibatasi dan diwaspadai karena berbagai hal negatif bisa saja merugikan.
Dalam film The Social Dilemma ini juga menceritakan bagaimana penduduk disebuah negara di asia tenggara, myanmar, sangat dekat dengan salah satu social media besar, yaitu Facebook, yang bahkan melalui Facebook itu benar benar menjadi momok yang dianggap sumber dari kebenaran yang ada di internet. Apa yang ramai di Facebook bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran.
"Di Myanmar, saat orang memikirkan media massa, memikirkan internet, Â yang terpikir ialah Facebook," kata Chyntia M. Wong, mantan Peneliti Internet Senior di Lembaga HAM dalam film tersebut.
Setiap orang  yang membeli ponsel, penjual akan memasangkan aplikasi Facebook sekaligus membuatkan akun di ponsel barunya. Sehingga, hal pertama  yang dilakukan oleh mereka dengan ponsel barunya ialah membuka Facebook.
Penduduk di negara Myanmar, setelah membeli sebuah smartphone, maka penjua akan memasangkan aplikasi facebook hingga membuatkan akun dari pembeli tersebut, atau bahkan pembeli sebelum penjual memasangkan aplikasi Facebook, si pembeli sudah meminta terlebih dahulu untuk dipasangkan. Hal teresebut kemudian dimanfaatkan oleh pemerintahan junta militer Myanmar sebagai sebuah senjata untuk melakukan propaganda dan menyebarkan isu isu yang ingin mereka sebarkan kepada masyarakat. Orang orang Militer dan pelaku kejahatan melakukan manipulasi opini publik terhadap kaum muslim rohingya, hingga hal tersebut membuat pihak facebook tidak sanggup membedung berita hoax itu. Fitur didalam media sosial facebook sediri juga sangat mendukung dalam penyebaran sebuah informasi, baik itu benar atau salah, sehingga membuat perpecahan ditengah masyarakat hanya karena tersebarnya opini publik yang dibuat oleh orang orang yang tidak bertanggung jawab. Ujaran kebencian yang ramai difacebook itu kemudian membuat kasusnya semakin meluas, sehingga banyak orang orang diluar yang ikut membenci umat Muslim rohingya.
Semua hal baik aktifitas langsung mauoun tidak langsung yang kita lakukan di internet terutama media sosial akan selalu diawasi, direkam, dan dicatat setiap tindakan kita. Kemudian itu semua dijadikan data oleh mereka untuk kemudian dipakai sesuai kepentingan mereka. Bahkan seperti kita melihat gambar aoa, menonton video apa, berapa lama kita melihatnya, apa yang kita ketik, itu pun juga direkam dan dicatat oleh developper media sosial tersebut. Dari situ mereka dapat mengetahui bagaimana kondisi psikologi dan kondisi pikiran maupun perasaan yang sedang kita alami, baik itu senang, sedih, depresi, bahagia, stress atau apapun itu mereka bisa tahu, bahkan jam tidur kita pun bisa mereka prediksi melalui jam terakhir kita membuka media sosial sebelum tidur. Sampai pada titik seperti apa karakter kita, apakah introvert atau ekstrovert merekapun bisa tau. Dari data data itulah mereka bisa memprediksi konten konten seperti apa yang kita suka dan kita betah menontonya, sehingga itu lah yang nantinya akans ering muncul disosial media kita supaya kita makin betah. Dan data data itu bisa mereka jual pad orang yang membutuhkan apa saja barang atauu hal yang kita sukai, dan itupula yang menjadi pundi pundi uang bagi para pemilik media sosial.
"Jadi, semua data  yang kita semua berikan setiap saat, dimasukkan ke sistem  yang nyaris tak diawasi manusia,  yang terus membuat prediksi  yang makin membaik tentang apa  yang kita semua lakukan dan siapa kita semua," kata Sandy Parakilas, mantan Manajer Operasi Facebook.
Poin penting yang disampaikan dalam film The Social Dilemma tersebut adalah sifat adiksi atau candu dari media sosial, dimana rasa candu tersebut akan dirasakan oleh setiap penggunanya dan tidak memandang latar belakang dia apakah masih berusia dini ataupun sudah beranjak dewasa. Terlebih lagi anak anak dizaman ini sudah mengenal gadget sejak mereka kecil, tak jarang orang tua yang sibuk dan memiliki banyak kerjaan akan dengan mudah memberikan gadget kepada anak mereka. Sehingga anak anak sudah muali terbiasa untuk apa apa dilakukan melalui ponsel mereka, dan ini membuat candu untuk kemudian banyak bergerak dan berkembang.
Ketika kita ingin membagikan konten baik foto maupun video diakun media sosial kita, pasti kita akan memilih mana foto atau video terbaik yang ingin kita bagikan, tentu tujuanya untuk menciptakan citra atau impresi yang bagus dari orang orang yang melihatnya. Dan hal itulah yang membuat kita ataupun orang lain terlihat lebih sempurna. Dari situ kita akan merasa terkoneksi oleh orang orang di internet atau media sosial yang berkomentar atau memberikan like kepada kita, sehingga seolah olah kita bisa menjangkau mereka semua yang jaraknya jauh dalam waktu yang singkat. Di isi lain dari hal ini ialah kita semua jadi memiliki standar kehidupan  yang tak realistis, yang kemudian memunculkan rasa untuk membandingkan diri dengan orang lain dan mencoba mendapatkan apa  yang bisa mereka dapatkan juga. Baik dari harta benda hingga standar kecantikan atau bahkan kondisi fisik seperti warna kulit, tinggi dan berat badan kita.