Ketika terjadi perpisahan atau konflik berkepanjangan, anggota keluarga terutama anak-anak dapat mengalami berbagai masalah emosional dan psikologis. Lingkungan yang tidak harmonis sering kali menyebabkan perasaan cemas, depresi, dan rendah diri. Ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara terbuka dan jujur dapat memperburuk situasi ini, menciptakan isolasi emosional yang semakin dalam.
Dalam banyak kasus, anak-anak dari keluarga broken home merasa terjebak di antara kedua orang tua yang berselisih, yang dapat menimbulkan rasa bersalah dan bingung. Mereka mungkin merasa harus memilih pihak atau menyembunyikan perasaan mereka demi menjaga hubungan dengan salah satu orang tua. Ketidakmampuan untuk mengekspresikan perasaan ini dapat menyebabkan penumpukan emosi negatif, yang berdampak pada kesehatan mental jangka panjang. Ketika komunikasi antar anggota keluarga terhambat, dukungan emosional yang seharusnya tersedia pun menjadi sulit diakses. Akibatnya, anak-anak sering kali merasa sendirian dalam menghadapi kesulitan mereka.
Ketidakmampuan untuk berbicara tentang masalah secara terbuka juga dapat mengakibatkan kesalahpahaman dan konflik yang lebih besar. Emosi seperti kemarahan, kekecewaan, dan frustrasi yang tidak terungkap dapat menyebabkan anggota keluarga merasa terasing satu sama lain. Ketika komunikasi terputus, proses penyembuhan emosional menjadi lebih sulit, dan perasaan sakit hati serta kehilangan terus mendalam.
Membangun Komunikasi Antar Pribadi
Membangun komunikasi antar pribadi yang efektif dalam konteks keluarga broken home memerlukan pendekatan yang penuh kesadaran dan empati. Dalam situasi yang sering kali dipenuhi dengan konflik dan emosi negatif, penting bagi setiap anggota keluarga untuk berupaya menciptakan lingkungan yang mendukung komunikasi terbuka. Langkah pertama dalam proses ini adalah menciptakan ruang yang aman, di mana setiap orang merasa bebas untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran mereka tanpa takut dihakimi atau disalahkan. Ini bisa dilakukan dengan menyisihkan waktu khusus untuk berbicara, di mana semua anggota keluarga berkomitmen untuk mendengarkan satu sama lain dengan penuh perhatian.
Selain itu, penggunaan bahasa yang positif dan konstruktif juga sangat berpengaruh. Menghindari kata-kata yang menyakitkan atau bersifat menyerang dapat membantu menjaga suasana komunikasi tetap tenang dan produktif. Alih-alih menyalahkan, anggota keluarga dapat berfokus pada bagaimana menyelesaikan masalah bersama. Dengan pendekatan ini, komunikasi menjadi lebih produktif, dan konflik dapat dihadapi dengan cara yang lebih konstruktif.
Membangun komunikasi antar pribadi tidak selalu mudah, tetapi dengan kesadaran dan niat yang tulus, setiap anggota keluarga dapat berkontribusi pada terciptanya hubungan yang lebih sehat. Proses ini memerlukan waktu dan usaha, tetapi hasilnya yaitu terciptanya ikatan yang lebih kuat dan pemahaman yang lebih dalam sangat berharga. Dengan meningkatkan komunikasi, keluarga broken home dapat mulai memperbaiki hubungan mereka dan menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi kesehatan mental semua anggotanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H