Mohon tunggu...
ungu violet
ungu violet Mohon Tunggu... -

just an ordinary woman

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Ibuku Galak Sekali

22 Desember 2013   07:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:38 1014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ibuku Galak Sekali

Ungu Violet (No.75)



Wew, judulnya sarkatis banget. “Ibuku galak sekali”, tapi dalamnya ga sesarkatis itu kok. Banyak hikmah yang aku peroleh dari sikap galak ibu. Karena tekanan demi tekanan itulah aku semakin kuat menjalani kehidupan. Walau betapapun galaknyaibuku , beliau tetaplah orang tua yang sudah bersusah payah membesarkanku. Tak ada ibu yang tak menyayangi anaknya. Hanya saja, aku saat itu terlalu naif dan sering tak mengerti caranya menyayangiku. Berbicara tentang ibuku memang ga ada habisnya. Mulai dari betapa beratnya ibu saat beliau melahirkan aku sampai sekarang.

Inilah kisah nyataku, namaku Arinda, umurku 24 tahun. Selama dua puluh empat tahun ini, ibu banyak sekali mengambil andil mengapa aku sekarang menjadi kuat dan sukses meraih apa yang aku cita-citakan. Surabaya penuh kenangan. Sejak umur tiga tahun, aku telah dibawa keluargaku merantau ke kota itu, karena di Kalimantan sangat sulit mencari lahan pekerjaan.

Sejak kecil, ibu selalu mengajarkanku tentang betapa kerasnya kehidupan. Ibuku bukan wanita yang lembut seperti wanita lain. Beliau sangat tegas dan keras dalam menerapkan aturan dalam keluarga. Beruntungnya, ayah adalah orang yang sangat sabar dan selalu mengalah bila ibu marah. Tuhan itu memang adil banget. Menciptakan pasangan untuk saling melengkapi seperti ayah yang begitu sabar untuk ibuku yang galak.

Tahun 1994, adalah tahun perjuangan yang sangat panjang dalam hidupku. Ibuku hanya pedagang kecil yang keuntungan sangat pas-pasan untuk mencukupi kehidupan sehari hari. setiap ke sekolah, ibu memberi uang seratus rupiah, kadang lima puluh rupiah. Tak terbayang betapa berharganya bagiku uang sekecil itu di masa itu. Bahkan untuk membeli apapun yang menjadi kesenanganku, sangatlah sulit. Aku masih ingat, betapa dahulu aku begitu inginmenaiki komidi putar, odong-odong dan hiburan lain, tapi ekonomi keluargaku tak mampu untuk meloloskan keinginanku. Aku tau ibu ingin membahagiakanku, tapi itutak sejalan dengan keuangan kami. Suatu ketika, saat umurku masih beranjak sembilantahun, aku menjatuhkan meteran milik ibu ke sumur.

"Arinda.. kenapa kamu jatuhin meteran ibu kesumur!"

Sontak aku begitu ketakutan melihat kemarahan ibu. Aku berlari sekencang-kencangnya ke belakang rumah dan ibu mengejarku saat itu. Akumencoba bersembunyi di toilet tetangga sebelah tapi akhirnya aku ketahuan juga.Aku di pukul oleh ibu karena aku nakal dan tak mendengarkan nasehat ibu agar tak memakai barang-barang ibu. Aku hanya bisa sejadi-jadinya saat itu. Ayahku mencoba melemahkan ibu, tapi ibu tetap keras pada pendiriannya.

Ibu berkata padaku, "hidup itu jangan cengeng! Kalau nangis jangan ketahuan siapa-siapa!".

Aku masih saja menangis saat itu. Aku fikir, ibu akan memelukku dan minta maaf, ternyata tidak. Ibu bahkan meninggalkan ku sendirian di kamarku. Aku sempat berfikir, apakah aku ini anak ibu atau bukan. Kenapa kakakku mendapat perlakuan yang berbeda dengan ku. Apakah karena ia anak yangcerdas dan pintar di sekolah sedangkan aku selalu mendapat nilai nol di setiap pelajaranku waktu aku SD, tapi dari semua itu, wajar saja aku mendapat nol,umurku terlalu muda saat itu. Saat berumur empat tahun aku sudah bersekolah. Akubahkan merengek-rengek pada ibu ingin sekolah. Akhirnya aku disekolahkan.Walaupun begitu masalah tak habis sampai di situ saja. Di sekolah, aku malah kebingungan, menulis saja aku tak mampu dan selalu dibantu oleh guruku dan kakakku. Setiap pulang sekolah, aku sering menangis karena aku merasa menyesal telah bersekolah di usia yang terlalu dini

“Bu, Rinda pengen berhenti sekolah aja kalau kayak gini”aku terisak mengacak-acak barang yang ada di sekelilingku. Hal itu justru membuat ibuku memarahiku balik

"Kamu juga sih..ga mau dengerin nasehat ibu..gini kan jadinya."

Ibuku nampak kesal sambil memotongbungkus sak semen menjadi beberapa bagian. Bungkus sak semen itu di gunakan ibuku untuk mengajariku berhitung.

"Sekarang coba lihat tangan ibu, ini angka berapa?"

"Aku ga ingat bu.."

“Kalau ini ditambah ini berapa, ayo coba lagi”

“Hm, aku ga bisa bu..”rengekku manja.

Kontan saja ibuku kesal, namunsetelah berkali-kali latihan, akhirnya aku berhasil menghitung. Terakhir, ibu membuat beberapa soal di kertas bekas sak semen itu. Disanalah tonggak sejarah dimana akhirnya aku bisa berhitung. Ibuku adalah guru kedua bagiku setelah guru di sekolah.

Masa-masa SD adalah masa yang sangat indah. Saat itu, aku iri melihat teman-temanku memakai sepeda, sedangkan aku hanya berjalan kaki. Lelagi aku mengeluarkan jurus air mataku pada ibu. Ibu kembali kesal akan sikap cengengku, tapi ia tak tega tak memenuhi keinginanku.

“Ya sudah pak, belikan saja”ujar ibu.

Semenjak dibelikan sepeda, aku terlalu asyik hingga aku lupa waktu. Sebenarnya wajar saja ibu marah. Semua karena kenakalanku. Ketika aku baru bisanaik sepeda. Saking semangatnya, setiap hari aku selalu mengayuh sepedaku berputar-putar mengelilingi komplek. Sampai suatu ketika, ibu melarangku untuk naik sepeda karena takut terjadi apa-apa padaku mengingat jalan di perumahan lumayan ramai.

“Jangan nak, jalanan ramai, nanti kamu ditabrak orang..”,gumam Ibu.

Tapi aku tetap bandel mengayuh sepedaku tanpa menghiraukan nasehat beliau. Tak kusangka, akhirnya apa yang dicemaskan ibu benar-benar terjadi. Di perjalanan menuju taman bermain, tiba-tiba insiden itu terjadi.

“Brakkk....”.

Sepedaku terjatuh ke dalam got. Kepalaku terbentur dinding selokan. Aku mulai panik saat aku merasakan darah mulai bercucuran dari kepalaku. Kepalaku bocor, namun kesadaranku masih ada. Beberapa orang yang melihatku menolongku. Sesampainya di rumah ibu sangat panik melihat keadaanku. Untung saja aku segera dibawa kerumah sehingga sedikit kebocoran di kepalaku masih bisa dihentikan pendarahannya. Aku baru sadar inilah akibatnya tidak mentaati nasehat ibu. Benar di kata, perkataan orang tua itu lebih makbul daripada seribu wali. Setiap hari ibu merawatku hingga luka di kepalaku sembuh.

Hari demi hari berlalu, hingga memasuki tahun 2012. Aku telah menjadi wanita dewasa. Aku menyelesaikan skripsiku dengan IPK yang sangat baik. Hidupku sukses. Aku berhasil diterima di sebuah instansi perusahaan dan diikat kontrak karena keahlianku berbahasa inggris. Tak ada lagi ibu yang galak. Saat itu ibuku mulai melunak memperlakukan aku, tapi justru aku yang mulai berontak dan menjadi anak durhaka yang senang membantah nasehat beliau.

Kata pepatah jawa “witing tresno jalaran soko kulino”, tapi apakah itu masih berlaku jika cinta itu berlabuh pada lelaki yang telah menjadi jodoh orang lain?. Kebersamaan yang begitu intens dengan rekan kerjaku yang bernama Deni menghasilkan sebuah skandal cinta terlarang. Ah betapa naif dan luguhnya aku mempercayai janji lelaki beristri.

Sampai suatu ketika, ibuku mencium gelagat yang tidak beres terjadi pada diriku. Betapa tidak, terkadang aku menangis dan merenung tanpa sebab. Hal itu membuat ibuku sangat curiga. Rupanya diam-diam, beliau membuka inbox smsku. Kontan saja ibu terkejut. Ibuku kembali bertanya tentang sosok Deni. Awalnya aku mengelak dan tak ingin sama sekali mengatakan yang sejujurnya karena ibu pasti akan marah besar. Rupanya dugaanku salah. Ibuku benar-benar melunak dan menasehatiku dengan lembut. Kata-katanya begitu menenangkan. Semenjak saat itu, aku mulai menjauhi Deni karena aku sadar ia sudah menjadi milik orang lain dan tak mungkin dimiliki.

Ternyata karma itu berlaku padaku. Skandalku tercium oleh atasanku dan di bulan mei 2012, kontrak kerjaku resmi diputus dan ga diperpanjang lagi. Ini semua adalah akibat perbuatanku.

Semenjak aku menjadi pengangguran, sifatku berubah drastis. Aku menjadi pemurung, temperamental dan senang mengurung diri di kamar hanya untuk meratapi nasibku. Aku tak lagi membantu segala aktivitas ibu di dapur. Kadang ibu membawakan makanan ke dalam kamarku sekedar karena teramat khawatir padaku.

“Nak, makan dulu..”

“Ga mau bu, Rinda ga mau makan, Rinda maunya kerja bu, kenapa sih Tuhan itu ga adil”aku begitu murka hingga aku menganggap bala yang Tuhan berikan adalah sebuah ketidak adilan. Padahal itu memang buah dari kesalahanku.

“Rinda, cukup!”

“Rinda ga sanggup hidup kalau kayak gini bu, Rinda mau mati aja”aku mulai terisak-isak. Aku begitu jauh dari Tuhan saat itu hingga aku menjadi gelap mata dan tak memikirkan apa yang aku ucapkan.

“Tarik ga omonganmu, itu bisa jadi do’a lho!”pinta ibu.

“Ga, pokoknya Rinda ga mau lagi berdo’a kalau Tuhan ga memberi Rinda pekerjaan”

Ibuku miris melihat sikapku yang lamat laun begitu kasar. Kadang aku melihatnya menangis seorang diri. Hati kecilku sebenarnya berontak. Rasa bersalahpun singgah, tapi aku tetap begitu keras hati.

Suatu ketika ibu memasakkanku makanan yang sangat enak. Aku melahapnya dengan cepat karena aku begitu kelaparan.

“Nah, sekarang kita damai ya, jangan marah-marah lagi”ujar ibu tersenyum kecil.

Aku terdiam namun aku tak mengindahkan perkataannya. Ah, betapa durhakanya aku saat itu. Kadang di kala aku menyendiri di kamarku, ibu selalu bilang bahwa aku harus bersyukur karena ini adalah ujian dari Allah agar aku menjadi insan yang lebih baik lagi.

“Ini hanya ujian dari Allah, terimalah dengan hati yang ridha, bila kita menerima dengan hati yang ridha, Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik”, kata Ibu.

Aku masih saja menggerutu saat itu hingga akhirnya Allah memberiku teguran yang lebih besar lagi agar aku kembali kepada-Nya. Aku diberi teguran berupa sakit dibagian jantungku. Aku baru menyadari bahwa hidup ini harus disyukuri. Tidak ada artinya apa yang aku inginkan bila tubuhku sakit. Beberapa bulan kemudian penyakitku itu berangsur pulih. Rupanya karena aku yang kurang menjaga pola makan.

Semenjak saat itu, aku tak pernah lagi menggerutu pada hidup ini. Aku tak akan lagi mengacuhkan nasehat ibu ku karena kata-katanya adalah do’a dan kemarahannya adalah perhatian terindah yang akan menjadi kenangan sepanjang masa. Semenjak ayah tiada, beliau lah tempatku mengadu hati dan perasaan. Aku selalu berdo’a semoga Allah selalu memanjangkan umur ibuku dan menyehatkan dia.

“Sekarang kamu masih marah sama ibu?”tanya ibuku

“Ga bu”ujarku menggelengkan kepala.

“Harta termahal dalam hidup ini adalah kesehatan, walau hidupmu kaya tapi ga sehat, percuma, nak, sudah bersyukur masih punya ibu?”lelagi ibu menyindirku.

Akhirnya air mataku menggenang bagai derasnya sungai. Aku memeluk ibuku dan hari itu, aku meminta maaf atas kesalahanku yang begitu fatal padanya. Semenjak saat itu, aku mulai menerima hidupku dan menyenangi apa yang aku miliki. Sampai akhirnya roda hidupku naik lagi. Tuhan kembali memperbaiki hidupku dan akhirnya aku diterima di sebuah instansi lain yang lebih baik dari perusahaan tempat bekerjaku sebelumnya. Begitulah cara Tuhan, bila hidup hendak selamat, turutilah perintah ibu karena kasih sayangnya takkan tergantikan seumur hidup dan perhatiannya adalah perhatian terindah yang mungkin akan sangat kurindukan saat ku kehilangannya

Aku sangat bersyukur hingga kini aku mash bisa menikmati kebersamaan yang indah bersamanya, bisa mengajaknya jalan-jalan dan masih bisa meluangkan waktuku untuknya. Masih bisa tidur berdua dengannya. Masih bisa mendengar nasehatnya, tegurannya, walau terkesan sangat protektif tapi aku bisa memahaminya bahwa itu adalah bentuk kasih sayangnya. Aku tak tau kapan momen-momen indah ini akan berakhir karena suatu saat, aku harus membagi cinta dan kasih sayangku tak hanya pada ibu, tapi juga pada suami serta anak-anakku.

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community ( http://www.kompasiana.com/androgini )

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community (Link:https://www.facebook.com/groups/175201439229892/)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun