Malam itu, langit kota Yerusalem dipenuhi dengan bintang. Bulan pun terlihat berwarna putih keabu-abuan tampak gagah bersanding di antara bintang-bintang. Sinar mereka pun begitu terang bak lentera di malam hari. Angin sepoi-sepoi yang meniup daun-daun palma begitu terasa ketika menyentuh kulit. Â Udara panas khas wilayah padang pasir juga ikut meramaikan susana malam itu.
Hari itu, Kamis bertepatan dengan hari raya Kamis Putih. Ninda baru saja selesai mengikuti perayaan Ekaristi hari raya Kamis Putih di sebuah Gereja tua di Yerusalem. Setelah berganti baju dan makan malam, Ninda berjalan ke arah balkon hotel tempat ia menginap.Â
Kebetulan, kamarnya langsung mengarah ke balkon. Secangkir teh hangat khas Yerusalem ada di tangannya. Matanya menatap lurus ke arah pemandangan indah lampu rumah-rumah warga Yerusalem. Sesaat ia menyeruput tehnya sambil menengadah ke langit, menatap bulan dan bintang yang bergelantungan dengan tenangnya.
Tidak lama kemudian, Ninda lalu duduk di sebuah kursi santai yang ada di pojok balkon. Sambil menyeruput tehnya, Ninda membanyangkan kisah The Last Supper alias Perjamuan Malam Terakhir. Pikirannya jauh melayang membayangkan peristiwa yang terjadi dua ribu tahun yang lalu itu. "Saat peristiwa Perjamuan MalamTerakhir, suasana malam yang dialami Yesus seperti apa ya?", tanya Ninda dalam hati. Pikirannya mengotak-atik detail peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kisah Perjamuan Malam Terakhir.
Tiba-tiba hati Ninda terasa sesak. Pikirannya terusik oleh sebuah kalimat yang diucapkan Tuhan Yesus dalam peristiwa Perjamuan Malam Terakhir, "Kamu sudah bersih, hanya tidak semua". Kepalanya langsung dipenuhi oleh berbagai adegan yang terjadi dalam Perjamuan Malam Terakhir. Dalam keramaian pikirannya disertai riuh bising kota Yerusalem, Ninda mencoba mencarisesuatu yang tersembunyi dari kalimat yang diucapkan oleh Tuhan Yesus. Jantungnya pun  langsung berdetak kencang, tatkala ia menemukan jawabannya, yaitu Yudas Iskariot yang menkhianati Tuhan Yesus. Namun, lebih dalam lagi Ninda menemukan jawaban lain yang mengagetkannya, yaitu dirinya sendiri.
Ninda mencoba merilekskan tubuhnya dengan bersandar di kursi itu. Sejenak ia menyeruput tehnya, menarik nafas, lalu kembali merenungkan peristiwa Perjamuan Malam Terakhir. Pikirannya tiba-tiba kembali ke ingatan masa lalu, di mana ia juga pernah mengkhianati Tuhan Yesus. Ninda ingat bahwa ia pernah bergabung dalam kelompok orang muda yang anggotanya kebanyakan adalah pemeluk suatu agama yang radikal. Saat itu ia tidak mengaku kalau ia adalah seorang Katolik dan berpura-pura mengaku sebagai seorang pemeluk agama radikal itu. Dalam suatu acara kumpul-kumpul sesama anggota kelompok, ia pernah kedapatan oleh seorang anggota kelompok, "Kenapa tidak memakai atribut khas agama kita?" Saat ditanya demikian dengan polos Ninda menjawab, "Hehehe, iya. Lagi panas udaranya. Tubuhku juga lagi gerah." Dalam kelopok itu juga secara spontan Ninda pernah mengucapkan syahadat pengakuan iman agama tersebut. Alasan yang diberikannya adalah "Itu adalah syarat dan karena aku ingin menjadi anggota kelompok itu, maka kuucapkan itu. Aku tidak keberatan kalau aku harus memakai atribut kebesaran agama mereka."
Saat Ninda mengingat peristiwa itu, ada air yang bergetar di pelupuk matanya. Tak terasa air mata mengalir deras membasahi pipinya. Ia mengangkat jarinya dan mengusap air mata yang perlahan menetes. Ia mengedipkan matanya untuk mengusir air yang berlinang mengaburkan pandangan bola matanya. Tak jarang ia pun menatap langit yang sedang bersahabat malam itu.
Wajah Ninda sudah sembab oleh air mata. Jantungnya masih berdetak kencang oleh ingatan akan peristiwa masa lalunya itu. Rekaman ingatan itu membuat dada Ninda terasa sesak. Tangannya gemetar namun masih memegang cangkir dengan teh yang isinya hampir mau habis. Perlahan ia meletakkan cangkir itu ke atas meja yang ada di dekatnya. Ninda pun membuat tanda salib, melipat tangan, memejamkan mata, lalu berdoa.
"Tuhan Yesus yang Maha Pengasih, terimakasih atas teladan kasih sejati yang Engkau tunjukkan kepada kedua belas murid-Mu saat Perjamuan Malam Terakhir. Engkau pun mengajarkan bahwa untuk menunjukkan kasih itu, harus ada semangat kerendahan hati. Dalam salah satu sabda-Mu saat Perjamuan Malam Terakhir itu Engkau mengatakan kepada para murid-Mu, "Kamu sudah bersih, hanya tidak semua." Engkau sudah tahu siapa dari antara kedua belas murid-Mu yang akan mengkhianati-Mu. Teladan kasih sejati membutuhkan pengorbanan, seklaipun harus menerima pengkhianatan dari orang terdekat.
Tuhan Yesus, malam ini aku merenungkan peristiwa yang membuat hati-Mu pilu. Saat merenungkan sabda-Mu, aku teringat akan suatu peristiwa di masa lalu yang membuatku berpaling dari pada-Mu, hingga membuat-Mu terluka dan sakit. Aku tahu, saat itu pasti Kau sangat kecewa dan marah padaku. Melalui peristiwa masa lalu itu pula aku telah mengingkari-Mu, bahkan aku tidak mengakui-Mu. Keinginan untuk diterima dalam kelompok radikal itu telah membutakan mata dan hatiku. Keinginan untuk diterima dan diakui membuatku berpaling serta mengingkari Engkau. Saat itu aku benar-benar telah menjauh dari-Mu.
Ya Tuhan Yesus, saat merenungkan sabda-Mu, aku merasa masih belum bersih seluruhnya. Masih ada berbagai dosa dan kesalahan yang masih tersimpan dalam diriku yang tak berani aku ungkapkan di hadapan-Mu. Tapi, ya Tuhan, malam ini aku memberanikan diri untuk mengungkapkan salah satu dosa terbesarku pada-Mu. Aku merasakan bahwa kasih-Mu sangatlah besar. Dekapan tangan-Mu dan lembutnya hati-Mu membuatku luluh hingga air mata tak kuasa aku bendung. Sekalipun aku telah melakukan kesalahan yang besar dan fatal, Engkau masih tetap mengasihiku, bahkan Engkau mengampuniku.