(By Al Hayon).
Ungkapan "Love is blue, Love is blind" tenar pada masanya  dan sangat bergantung pada situasi dan kondisi mana ia dikenakan. Ia pas juga untuk hari-hari ini. Hari di mana Umat Nasarani sedang berada di jelang perayaan besar keagamaan, Hari Raya Natal, Hari Raya Kelahiran Yesus, Sang Imanuel.
Jelang hari raya keagamaan ini atau di masa Adventus ini ada hal yang menarik perhatian untuk direfleksikan. Saya memilih untuk  merenungkan ajaran tentang "Love atau Kasih." Dalam ajaran iman, Kasih adalah Hukum Terutama dan Pertama. Sifatnya vertikal relasional dan Hukum Kasih kedua, lebih horisontal relasional.
Hukum KASIH sebagai hukum terutama dan pertama merupakan juga zema Israel atau way of life bagi para pemeluk Hukum Taurat Musa. Hukum ini saban waktu diperdengarkan juga atau dipengajarankan kepada kaum Nasarani, khususnya umat yang mengimani Perjanjian Baru.
Hukum Kasih sebagai hukum terutama dan pertama itu, kemudian disempurnakan dengan tambahan hukum kedua yang lebih horisontal relasional. Bunyinya seperti ini: "Kasihilah Sesamamu Manusia seperti dirimu sendiri."  Hukum  ini kemudian diterima, diakui dan diwaris-lanjutkan kepada orang-orang percaya yang mengakui  Yesus sebagai Tuhan dan Kristus.
Pewarisan "Hukum Kasih" ini mulai dari yang paling tua, kemudian diteruskan kepada yang muda. Selanjutnya dari yang muda kepada anak-anak. Singkat kisah selalu ada keberlanjutan.
Hari-hari ini, dimasa jelang Hari Raya Natal atau di masa Adventus, Penulis Injil (Kabar Gembira) atau Penginjil Matius mengulangi lagi dan mengharuskan kita untuk membaca (syukur jika ada yang membaca), atau mendengar, merenung dan melakukan atau menjalankan Hukum Kasih itu, yang terdapat dalam nats, Matius 22:30-40.
Membaca, mendengar, merenungkan, mewartakan kisah ini merupakan tugas, dan pekerjaan mudah, tetapi tidak dengan dan dalam PELAKSANAAN. Soal MEWUJUDKAN KASIH dalam kehidupan kita setiap hari bukan perkara mudah.
Inilah alasan mengapa Hukum Kasih selalu diulang-ulang diwartakan, atau disampaikan? Selain penting dan utama karena realita atau kenyataan hidup dan praktek hidup yang TIDAK peduli dengan Hukum Kasih.
Contoh kecil, dalam kehidupan keagamaan, para pemeluk mungkin LEBIH Â memperhatikan agama itu sebagai lembaga, suatu badan yang menghimpun orang-orang yang percaya yang ketat dengan aturanya dari pada memperhatikan dan mengutamakan religiositas atau "Hubungan atau Relasi" seseorang dengan Tuhan dan praktek hubunganya itu dengan atau terhadap sesama. Ini merupakan aspek inti dari beragama atau wujud nyatanya nampak dalam pelaksanaan hukum Kasih.
Akibatnya orang-orang percaya hanya mengutamakan hal-hal "pinggiran" dan lupa mewujudkan KASIH sebagai hukum pertama dan kedua. Kasih kepada Allah dan Kasih kepada sesama.