" Diriku selalu meyakani pada jiwa melawan hasrat ingin balik ke kampung halaman hanya buah romantisme kisah seorang perantau yang bergulat dalam kegelisaan"
Jiwa perantauan memang tidak semua dimiliki oleh semua orang, tergantung yang memiliki mental dan keberanian untuk mencari kebutuhan hidup meski jauh diseberang , seringkali mengingatkan kita pada kisah seorang musafir gurun sahara yang kini gurunya menjadi catatan peristiwa perang teluk atas intervensi Amerika Serikat saat mendirikan perusahan ARAMCO( Arab America Coorporation), begitulah nasib seorang perantauan, demi cita-cita, anak istri dan keluarga justru harus rela meninggalkan kampung halaman.Â
Tapi tidak pula seperti perantau berkebangsaan Inggris Thomas Edward Thomas Lawrance yang menghabiskan waktu hanya sekedar merangkul para kelompok badui di dataran Arab untuk kepentinganya menjarah Sumber daya minyak terbesar di Dunia.
Tapi apalah daya demi sebuah kebahagian masa depan perantau rela meninggalkan kampung halaman, dengan kerinduan akan kebiasaan bersuka ria dengan sahabat,tetangga,kebun bahkan se-isi keindahan alam, namun ingatan itu bukan kehendak filsuf Aristoles maupun Plato yang hanya jadi pemberi jalan bagai mazhab Frankrut di prancis untuk membolak balik Empirisme dan Rasionalisme abad pencerahan.Â
Kampung halaman seperti biasanya disebut tanah kelahiran, lahirnya semua peristiwa dari ribut para ibu-ibu yang sedang mencari kutu kepala sejenis hewan penghisap darah hingga ribut antar warga Desa dengan perusahan industri ekstraaktif yang datang menggusur tanah. Ingatan kampung halaman ternyata makna sebuah kenangan yang sulit dilupakan, meski rasanya pahit seperti peristiwa pembantaian di Indonesia 1965-66 yang memakan korban jutaan jiwa akibat keributan tahta kekuasaan, hingga dikenal sebagai peristiwa kudeta.
Sungguh perantau adalah petarung yang tidak pernah lelah menahan kekuasaan waktu untuk memutuskan entah kapan kembali ke kampung, ingin makan, bermain dan bertemu sanak family. Melawan kehendak sendiri justru semakin gila karena cinta akan kampung halaman, bukan cinta karena jabatan dan harta. Mungkin miris cerita yang ditayangkan Telivisi Swasta  dengan judul tenggelamnya kapal Van Der Wijk, putus cinta akhirnya si Zainudin merantau ke tanah jawa meninggalkan kampung halaman, demkian Zainudin tidaklah sama seperti Zailakung "datang tak dijemput pulang tak diantar" alias dongeng pejabat negara.
Akhir abad 20 kota-kota besar banyak didatangi perantauan yang datang dari penjuru kampung, mereka ada yang bersekolah, berbisnis dan juga datang sebagai pekerja buruh  jasa yang seringkali diusir akibat keputusan Dinas Tata Ruang kalau  datangi mereka membawa petugas Satpol PP. Akhirnya Istilah ke kota sudah tidak asing lagi dengan dalil merantau untuk cari  pekerjaan, kerja dengan upah murah, kerja sebagai Pekerja Seks Komersial ( PSK ) demi mendapat kecukupan ekonomi rumah tangga hingga berburuh cita-cita.
Yang paling berkesan adalah melawan kehendak ingin balik ke kampung halaman, padahal melawan kehendak sendiri adalah frustasi bagi jiwa jika tidak terpenuhi kehendaknya, dan frustasi itu bisa diobati dengan tidak cara lain kecuali terpenuhi. Keluh kesah adalah pengabdian pada cinta dan kasih sayang laksana Nabi Adam a.s dan Siti Hawa yang membuat cerita padang arafah. Kerinduan akan kampung halaman membuat seorang dewasa berubah menjadi bayi yang menangis pilu ingin tetap dalam pelukan ibu.
Terkadang pula sudut rumah menjadi alasan melawan rasa ingin pulang, dan siapapun dia pasti meneteskan air mata jika jarak yang jauh membatasi sudut pandang dengan sudut rumahnya. Ada golongan tertentu justru yang marah-marah jika tidak diberikan jatah proyek untuk bangunan di sudut rumah, hal ingat mengingat dan hasrat ingin pulang kampung ternyata berbagai macam jenis, dan itu bisa dilihat dari raut wajahnya.
Sampai awal abad 21 para perantau masih tetap pada jiwa yang sama tidak pernah berubah meski situasi zaman telah berubah, namun antara rindu dan nafsu masih menjadi tanda untuk mengenal jati diri para perantau, apalagi si rantau adalah pengusaha, tentunya melawan hasrat rindu pulang kampung lantaran ingin jadi raja-raja kecil di daerahnya,hingga sewaktu pulang, ia justru dipanggil CALEG. Untuk itu marilah kita melawan hasrat ingin pulang ke kampung halaman dengan niat yang benar-benar ingin menjalin hubungan yang penuh hikmah.
V.S
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H