Mohon tunggu...
vino siregar
vino siregar Mohon Tunggu... -

Simple ordinary man looking for a better Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dialog Antara Papua Dan Jakarta, Pentingkah?

10 Maret 2011   15:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:54 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12997712791383500094

Pasca deraan musibah yang menghantam bangsa ini, dari banjir wasior, tsunami Mentawai dan letusan gunung Merapi, tampaknya pemerintah mulai responsif terhadap persoalan Papua. Paling tidak, ada indikasi pemerintah tidak ingin terlalu terbawa emosi akibat bertubinya bencana alam yang bukan hanya meminta korban materi ratusan milyar rupiah, tetapi korban nyawa yang begitu dasyat. Hal ini terlihat ketika pemerintah melaunching sebuah task force yang bernama Unit Percepatan pembangunan Papua. Dari nama yang terkandung dalam unit kerja ini, kita mafhum bila tujuan pembentukannya dimaksud untuk mendinamika pembangunan Papua yang dinilai tertinggal, lambat atau kalah jauh dari daerah lain. Respon pemerintah ini harus kita apresiasi sebagai bentuk reaksi positif pemerintah atas berbagai persoalan yang berkelindan di Bumi Mutiara Hitam. Tetapi kita pun layak mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis atas efisiensi pembentukan unit ini. Pertanyaan pertama yang harus kita ajukan adalah bukankah telah ada kementrian yang mengurusi pembangunan daerah tertinggal? Kementrian percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal merupakan kementrian yang lingkup kerjanya adalah mendinamika pembangunan daerah-daerah tertinggal. Bila kemudian pemerintah memutuskan untuk membentuk unit kerja yang memiliki fungsi yang serupa, pertanyaan selanjutnya adalah apa makna keberadaan kementrian tersebut? Bukankah pemerintah sama saja mendelegitimasi wewenang kementrian dimaksud? Aroma kebertindihan wewenang jelas terlihat antara dua lembaga tersebut. Belum lagi bila berbicara mengenai potensi konflik antara dua institusi tersebut. Paling tidak dengan pembentukan unit kerja ini, akan ada reduksi kewenangan kementrian percepatan pembangunan daerah tertinggal. Bila ini yang terjadi, saya yakin akan timbul persoalan di kemudian hari. Persoalan Papua bukan lagi melulu tentang pembangunan yang tertinggal. Karena bila ini yang menjadi pokok persoalan tentu saja akan sangat mudah untuk menyelesaikan masalah papua. Masalah di Papua yang paling pokok adalah masalah keadilan. Keadilan sebagai rakyat Indonesia, keadilan sebagai pemilik sah tanah Papua. Masalah ini muncul ketika Orba menyerahkan pengelolaan Freeport pada pemerintah asing. Sementara itu masyarakat Papua yang merasa sebagai pemilik sah tanah tersebut justru dianiaya. Persoalan pokok yang semesti diselesaikan dengan duduk bersama dan penuh kearifan, justru diselesaikan melalui kekerasan. Melalui institusi ABRI, aneka terror dan kekerasan terjadi di tanah Papua. Di tengah terror kekerasan tersebut benih-benih separatis yang memang ada di bumi Papua semakin menguat. Namun lagi-lagi pemerintah menyelesaikannya dengan senjata. Sementara itu, pembangunan di Papua justru dinikmati oleh segelintir elite. Kemiskinan, kebodohan, akses kesehatan dan pendidikan yang minim, merupakan hal yang lumrah di Papua. Pemerintah seperti sengaja melakukan politik pembodohan. Setelah pemerintahan Orba berakhir, pokok persoalan Papua tidak juga disentuh oleh pemerintahan reformasi. Model dan cara lama yang telah gagal masih juga dilakukan. Model kekerasan dan penggunaan senjata terus dilakukan. Tentara yang semestinya menjadi pelindung rakyat, di mata sebagian besar rakyat Papua menjadi momok. Kasus penganiayaan oleh TNI yang baru-baru ini menjadi buah bibir di duniai internasional menjadi bukti bahwa belum ada perubahan paradigma dalam menangani persoalan Papua. Kegagalan Otsus dan keharusan Dialog Otonomi khusus yang diniatkan sebagai jalan keluar bagi persoalan Papua telah gagal. Walaupun pemerintah mengklaimnya sebagai keberhasilan. Tetapi realitas yang terjadi dilapangan mengatakan sebaliknya. Paling tidak kita bisa mencatat aksi pengembalian OTSUS oleh Dewan Adat Papua sebagai simbol kegagalan pelaksanaan program ambisius itu. Perlu ditegaskan kembali persoalan yang terjadi di Papua bukan hanya terkait pembangunan yang bersifat materi. Karena itu untuk menyelesaikannya pemerintah harus mengubah paradigma berpikir. Yaitu dari paradigma yang hanya menomorsatukan materi beraliha ke paradigma dialog dan mendengarkan. Selanjutnya, perlu ada penegakan hukum yang seadil-adilnya di bumi Papua. Berbagai kasus pelanggaran hukum, korupsi, kekerasan dan sebagainya diselesaikan dengan tuntas. Pemerintah harus berdialog dengan komponen-komponen masyarakat Papua, bahkan dengan OPM. Pemerintah harus mulai mendengarkan apa keinginan rakyat Papua. Saya pikir dialog setara antara OPM dengan Pemerintah merupakan awal menyelesaikan konflik Papua. Bukankah pemerintah telah memiliki track record mengagumkan ketika menyelesaikan konflik Aceh? Modal positif tersebut seharusnya tak lagi membuat pemerintah terlalu paranoid untuk menggelar dialog dengan OPM. Rasanya tanpa dialog yang setara, Papua akan terus bergelora.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun