Mohon tunggu...
Ananda Yuvino Putra Permadi
Ananda Yuvino Putra Permadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - is looking for and playing that role as magnificent as possible

.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dilema Kaderisasi Partai Politik Menjelang Pemilu 2024: Berdasarkan Kualitas Ataukah Cuantitas?

26 Oktober 2023   12:13 Diperbarui: 26 Oktober 2023   12:23 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Input sumber gambar

Partai politik merupakan organisasi sosial resmi yang menjadi kendaraan politik bagi setiap warga negara yang ingin berpartisipasi di ruang politik formal, keberlangsungan suatu partai politik tentunya tidak terlepas dari kepiawaian para kadernya melalui proses kaderisasi. Kaderisasi sendiri merupakan proses penting yang dilakukan oleh setiap partai guna mendapatkan putra-putri terbaik bangsa yang siap untuk mengemban dan berjuang di jalan demokrasi guna meraih kekuasaan, menurut Berliana Kartakusumah dalam bukunya yang berjudul Kepemimpinan adilihung (2006) menyebutkan bahwa kaderisasi merupakan upaya sebuah organisasi untuk mengimplementasikan ideologi yang diperjuangkanya. Namun sampai disini saja terlontar celetukan pertanyaan yang cukup nakal dari pikiran penulis yakni... apakah hari ini partai politik masih memiliki ideologi?. Memang ideologi Pancasila menjadi ideologi Tunggal negara, akan tetapi dalam lingkup akademis ideologi diartikan dengan lebih luas lagi bagi partai politik, yaitu merupakan sebuah konsep ataupun cara pandang yang menjadi asas perjuangan suatu partai jika kelak memiliki kekuasaan. Kini pertentangan gagasan ataupun ideologi partai menjadi budaya yang sangat minim di hadapkan lagi  antara satu partai dengan partai lainya sehingga perjuangan sangat bergantung pada elektabilitas para kadernya, dan tentu ini akan berpengaruh pada pola kaderisasi partai tersebut.

            Berdasarkan pada undang-undang dasar negara Indonesia (UUD 1945) Pasal 36A ditegaskan bahwa setiap warga negara memiliki Hak untuk memilih dan dipilih, itu berarti seluruh masyrakat dari semua lapisan seharusnya dapat terlihat partisipasinya di ajang pemilihan 5 tahunan, tukang beca, tukang ojeg, bartender, mereka yang membersihkan jalanan, sastrawan dan berbagai lapisan lainya yang memiliki aspirasi dan kemampuan sosial seharusnya dapat menjadi calon pemimpin kalau kita mengamalkan dan memang seharusnya wajib menegakan undang-undang tersebut. Akan tetapi kenyataan yang dapat kita lihat di antara para calon pemimpin kini hanya ada pengusaha, anak-anak pengusaha, elit tokoh agama, atau mengutip celetukan Basuki Thjaja Purnama (2023) yaitu  keluarga "penguasa H" yang berarti pengusaha juga sekaligus pengusaha, pemilik A atau B, dan itulah calon-calon pemimpin kita hari ini. Mungkin sosok orde lama sederhana namun penuh pemikiran yang jauh dari kekayaan seperti Arudji Kartawinata (Wakil Ketua DPR-GR) jika melakukan kaderisasi sekaligus pencalonan hari ini dan tidak memiliki kekuatan "modal" ataupun kedekatan maka belum tentu akan dikaderisasikan terlebih dipilih menjadi anggota dewan perwakilan rakyat. Memang tulisan ini berandai-andai saja, namun dengan mengandaikanya saya dapat dengan mudah membuat pembaca mengerti mengenai keadaan negri saat ini yang terkadang terlalu abstrak pahami secara logis.

            Memang celakanya hari ini partai politik baik disengaja atau tidak dibentuk untuk bertarung elektabilitas demi memenangkan proses elektoral, mau tidak mau setiap partai politik harus terjebak didalam algoritma tersebut, ada yang tunduk pada arus, coba melawan arus walau tampaknya tidak begitu banyak, bahkan mati karena kapalnya karam tidak sanggup berada diatas arus politik pragmatis hari ini. Parliamentary Thresshold juga Presidential Thresshold di iklim politik yang multipartai dalam balutan demokrasi oklokrasi menghadirkan sebuah krisis perjuangan ideologi karena nampaknya semangat zaman politik saat ini lebih menyukai seseorang dengan elektabilitas dan bonafitas calon pemimpin yang diatas rata-rata, terlebih masyarakatpun kini pragmatis dan keadaan melanggengkan dirinya menjadi sebuah status quo. Kaderisasi terdampak dari elegi ini, Ketika pemikir kalah dengan pembisnis, kala pujangga kalah dengan para pengusaha, dan keluarga penguasa melanggengkan dinasti menomorduakan demokrasi.

            Partai politik hari ini akan cenderung melakukan kaderisasi dengan memperhatikan bonafitas, karena di era saat ini dimana demokrasi telah berkembang Bersama dengan pragmatisme Masyarakat maka partai pelu "bahan bakar" untuk menjalankan mesinya, bahan bakar tersebut adalah bonafitas atau cuantitas baik berupa kekuatan modal ataupun kekuatan sosial. Cuantitas sebenarnya hanyalah kata yang keluar dari pikiran saya untuk kiranya menggambarkan kutub lain dari kualitas yang seharusnya menjadi titik berat syarat layak atau tidaknya seseorang mendapatkan kaderisasi dan dimajukan kedalam persaingan demokrasi. Memang bukan berarti para orang-orang bonafit tersebut seluruhnya adalah orang yang sama sekali tidak memiliki pemikiran cemerlang, namun layaknya mereka orang-orang non-bonafit di negri ini pun banyak yang memiliki kualitas pemikiran cemerlang dan dapat mewakili langsung kelompoknya, akan tetapi mereka tidak terangkat ke kontestasi akibat kalah dari mereka yang dianggap memiliki cuantitas lebih oleh partai.

            Dahulu seseorang yang terkenal karena ketampananya, kemudian kaya, terlebih cerdas mejadi stereotip yang disebut sebagai buronan mertua, namun kini stereotip itu agaknya juga dapat disebut juga sebagai buronan kaderisasi partai. Akan tetapi menjadi stereotip buronan mertua menurut saya akan lebih bermoral karena setidaknya kalau anda tidak kaya dan terlalu tampan masih bisa lolos kriteria asalkan cerdas intelektual, emosional, dan spiritual. Namun bagi kaderisasi partai saat ini nampaknya kecerdasan biarlah menjadi urusan nomor dua karena yang penting harus kaya dan harus terkenal di Masyarakat agar suara partai bisa terangkat di saat pemilihan nanti. Hasil riset yang dilakukan oleh P2P bekerja sama dengan IMD5 (2019) menunjukkan bahwasanya pola rekrutmen di Indonesia masih mengikuti garis yang ditentukan oleh berbagai factor primordial seperti faktor agama, hubungan daerah, kesamaan daerah, serta beberapa factor kesetiaan dan kedekatan dengan pimpinan partai nasional maupun daerah. Riset tersebut sejalan dengan terjadinya dominasi oleh pimpinan-pimpinan partai dalam proses seleksi dan kandidasi calon-calon anggota legislatif di Indonesia. Istilah politisi lompat pagar, kader-kader selebritas ataupun pelawak, orang-orang kaya, dan para pengusaha-yang diragukan kemampuan politiknya adalah salah satu fenomena dari sekian banyak irisan problema dalam proses rekutmen dan kandidasi politik yang dilakukan oleh partai-partai politik di Indonesia.

            Setidaknya menurut Nihayati (Nihayati & Farid, 2019) ada 3 cara utama untuk melakukan kaderisasi yang optimal untuk suatu organisasi termasuk partai politik, diantaranya:

  • Kaderisasi yang matang
  • Proses kaderisasi yang matang adalah proses kaderisasi yang memiliki visi misi yang mendasar dengan memaknai kaderisasi sebagai sarana persiapan estafet kepemimpinan. kaderisasi bukan hanya berpikir mengenai kemenangan dan menomorduakan apa yang dilakukan nanti Ketika menang, namun sebaliknya kaderisasi harus mendahulukan jiwa negarawan dengan cara menanamkan dan menginspirasi falsafah perjuangan bersama kepada setiap kadernya mengenai apa yang mereka harus lakukan nanti Ketika menang, baru berbicara mengenai menang kalah sebagai hal yang biasa dalam sebuah pertarungan yang dijalankan secara dewasa dan bertanggungjawab.
  • Inovasi pada kegiatan yang dilakukan
  • Di era yang eksponensial ini setiap calon pemimpin wajib memiliki perbedaan pemikiran, cara, dan metode sebagai cirikhas dirinya, dan inilah cara yang paling indah untuk dimenangkan yaitu dengan menawarkan inovasi kepada Masyarakat. Calon pemimpin melalui kaderisasi diharapkan bukan hanya mengandalkan kemampuan ekonominya, akan tetapi juga mengandalkan kemampuan akademisnya melalui ide gagasan atau inovasi. Partai politik yang memiliki fungsi kaderisasi ini juga wajib mendatangkan cara-cara terbaru yang memungkinkan Masyarakat dari golongan manapun dapat menjalankan haknya untuk dipilih ataupun memilih. Sehingga kedepan kaderisasi bukan lagi memperhatikan bonafitas semata namun juga memerhatikan unsur pengetahuan dan kepiawaian seseorang untuk dimajukan kedalam kontestasi politik.
  • Kaderisasi yang dilakukan dari lapisan atas sampai bawah

Bukan hanya pengusaha besar yang berhak mengikuti kontestasi pemilu, melainkan buruh, supir, pedagang kaki lima, wiraswasta dan berbagai golongan lainya juga berhak ikut serta jika memang secara kualitas memenuhi syarat untuk dicalonkan sebagai pemimpin. Yang banyak terjadi kini adalah kaderisasi berdasarkan cuantitas yang saya jelaskan sebelumnya, yaitu berdasarkan kalkulasi pertimbangan kemampuan pengeluaran modal, kalkulasi elektabilitas masyarakat yang mengenyampingkan intelektualitas dan kalkulasi taktis jangka pendek lainya. Padahal berbicara menjadi pemimpin bukan semata mengenai cara memenangkan permainan, namun juga bagaimana bermain pada koridor yang seharusnya guna kemaslahatan Masyarakat yang di pimpinya

            Pada akhirnya semua akan Kembali kepada Masyarakat karena masyarakatlah yang menjadi penentu mereka yang akan memimpin, jika kita melihat sebuah sistem kaderisasi yang tidak baik sehingga menghasilkan pula produk pemimpin yang tidak berkualitas maka demokrasi menyediakan ruang bagi kita memilih pilihan lainya. Kaderisasi akan selalu menjadi sebuah keniscayaan untuk mereka yang hidup di ruang politik, maka kaderisasi bukan hanya sebuah proses formal namun juga proses yang perlu melibatkan unsur emosional karena pada akhirnya cara memimpin berdasarkan logika saja tidaklah cukup, memimpin juga perlu menggunakan hati, dan kaderisasi perlu untuk menginspirasi setiap kadernya agar bukan hanya pikiran mereka yang tertarik melakukan kalkulasi politik, melainkan juga jiwa mereka yang terpanggil untuk dapat mengabdi melalui jalur politik dengan cara yang sebaik-baiknya. Pepatah lama mengatakan bahwa Indonesia bukan kekurangan orang pintar, hanya saja kita kekurangan orang baik. Kaderisasi adalah waktu lahirnya pemimpin berkualitas, orang-orang baik yang seharunya mengisi berbagai lapisan politik sehingga tercipta sebuah negara yang masyarakatnya dapat hidup adil Sejahtera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun