Mohon tunggu...
Ananda Yuvino Putra Permadi
Ananda Yuvino Putra Permadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - is looking for and playing that role as magnificent as possible

.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konsistensi Kekuatan Politik Jawa di Era Kontemporer

1 Desember 2022   14:47 Diperbarui: 1 Desember 2022   14:55 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pernahkan anda bertanya mengapa pemimpin tertinggi di negri ini selalu berasal dari suku jawa? Atau pernahkan anda mendengar mitos dari orang tua dan orang-orang sekitar anda yang menyatakan bahwasanya presiden yang berasal diluar dari suku jawa maka jabatanya tidak akan berjalan lama dan langgeng?, saya sendiri sering mendengar mitos seperti itu, bahkan terkadang pernyataan seperti ini lebih sering saya dengar dari seseorang yang bukan berasal dari suku jawa, selain itu mungkin sering juga kita mendengar ramalan yang termansyhur mengenai kriteria calon pemimpin nasional dan juga hal lainya yang memang cenderung bersifat metafisik. Sampai hari ini ramalan jongko joyoboyo, ronggowarsito, dan ramalan lainya yang berusia ratusan tahun masih tetap eksis, tentu bukan begitu saja eksistensinya bisa tetap ada sampai hari ini, aspek deskripsi, teoritis, nilai kehidupan, wejangan, dan bukti empiris menjadi faktor pendukung eksistensi metafisika jawa.

Ramalan joyoboyo karya Raja Joyoboyo (1130 -- 1157) yang berasal dari kerajaan kediri di zaman kontemporer ini tetap tidak dipandang sebelah mata oleh masyarakat, bukan hanya sebatas bagi masyarakat jawa namun juga masyarakat Indonesia, ketepatan ramalanya yang dianggap relevan pada zaman ini seperti menyebutkan mengenai periodenisasi zaman, hilangnya zaman penjajahan yang akan di bantu orang kulit kuning (asia/jepang), kereta tanpa kuda (kendaraan bermesin), perahu terbang (pesawat), pasar yang kehabisan suara (mall, online shop, dll), sejengkal tanah dipajaki dan muncul berbagai pajak lainya, pria bersikap seperti Wanita, dan Wanita bersikap seperti pria, kemudian ramalan pemimpin Indonesia yang dirumuskan dengan No-To-Ne-Go-Ro sebagai akhiran nama yang dianggap cukup relevan menjadikan ramalan joyoboyo menjadi referensi metafisik tersendiri bagi masyarakat. ramalan lainya juga mampu untuk bertransformasi masuk kedalam dimensi pikiran menjadi cita-cita masyarakat seperti mengenai datangnya ssosok ratu adil atau satrio piningit dan masa keemasan bagi bangsa Indonesia dengan kejayaan yang sesungguhnya setelah datangnya masa sulit sehingga pemahaman sering muncul menjadi harapan bangsa ketika cemas atau mengalami masa yang tidak mudah. raja jayabaya memang terkenal akan ketepatan ramalanya sehingga sampai hari ini masih menghiasi dimensi imajiner politik masyarakat di zaman kontemporer.

Selain itu ramalan lainya yang termasyhur yaitu ramalan Raden Ngabehi ronggo warsito seorang pujangga besar pulau jawa yang berasal dari kesultanan Surakarta, ramalan ronggowarsito juga menjadi salah satu warna imajiner keyakinan politik masyarakat karena ketepatanya, dalam serat joko lodang dan pupuh sinom menggambarkaan tahun 20 sampai 30 dan seusainya menjadi apa yang disebut "zaman edan" sebagai hukuman dari tuhan sampai akhirnya seperti yang dituliskan dalam pupuh megatruh dimana tahun 45 akan mengalami masa keemasan, banyak yang mengaitkan ramalan ini pada masa kolonialisasi sampai kemerdekaan yang terjadi pada tahun 1945 dan juga ada yang mengaitkanya pada kondisi zaman sekarang dimana terjadi banyak kesusahan karena prilaku curang, korupsi, bencana, mewabahnya virus covid-19, resesi ekonomi, peperangan, dan berbagai panceklik lainya sehingga banyak yang mempercayai pada tahun 1945 ketika Indonesia genap berusia 100 tahun akan mengalami masa keemasan sesuai dengan yang dituliskan dalam pupuh megatruh setelah zaman edan yang kelak akan di awali dengan munculnya satrio piningit.

Filosofi kepemimpinan jawa bukan hanya dianggap mampu menggembleng para pemimpin untuk memanfaatkan kekuatanya namun juga dapat memberikan tata cara, teknis, pemaknaan, serta tujuan dari kepemimpinan. Pola pemikiran filosofis bangsa Indonesia yang ketimuran tentu berbeda dengan pola pemikiran filosofis barat, adat ketimuran masih erat dengan aspek metafisik seperti di Indonesia yang mengenal konsep kebatinan, hari kelahiran yang meliputi weton dan lainya, babad atau serat peninggalan orang yang dianggap sakti, tapa atau wiridan khusus, tempat-tempat sakral, upacara khusus, dan berbagai aspek metafisik lainya. Sedangkan masyarakat barat memiliki pola pemikiran yang cenderung akan lebih melibatkan rasio manusia, fenomena empiris, universalitas, dan berbagai aspek lainya yang membenarkan suatu pengetahuan melalui logika dan bukti yang dapat diamati melalui indera manusia. pemikiran ketimuran di Indonesia juga sangat tercermin dalam kebudayaan jawa dalam pemaknaan kepemimpinan, dalam mencari kekuasaan kepemimpinan jawa memiliki konsep yang disebut sebagai cara orthodoks (Claire,.H.) dengan pengertian bahwasanya kekuasaan salah satunya diperoleh melalui jalur spiritual, seperti bertapa, puasa, usaha memperoleh pulung, benda pusaka, ataupun datang kepada "orang pintar" dan berbagai cara lainya yang juga dibenarkan oleh tradisi jawa kini masih sering terjadi bahkan dilakukan bukan hanya oleh masyarakat suku jawa.

Terdapat 1.340 suku di Indonesia tapi mengapa stigma pemikiran politik bangsa sampai presiden masih di dominasi oleh suku jawa? Bahkan Ruhut Binsar Panjaitan menko marinvest yang memiliki banyak pengalaman dan jabatan berkata dalam wawancaranya yang diunggah melalui Youtube Channel di RGTV Chanel (2022) menyebutkan bahwa dirinya tahu diri tidak akan maju sebagai calon presiden karena bukan berasal dari suku jawa karena hari ini menurutnya itu mustahil. Dalam wawancara yang sama juga Rocky Gerung sebagai pewawancara menegaskan bahwa memang itulah realitas antropologi bangsa saat ini. se ekslusif itukah suku jawa dalam perspektif politik nasional? Sebenarnya terdapat beberapa faktor eksternal diluar nilai-nilai budaya jawa yang memang pada dasarnya kuat dan mengandung berbagai nilai kehidupan, contohnya seperti faktor historis, geografis, jumlah suku jawa, kebijakan pemerintah, dan agama.

Pada zaman dahulu posisi yang ditempati oleh suku jawa merupakan posisi yang sangat strategis karena wilayahnya yang subur dan memiliki berbagai keanekaragaman geografis sehingga memudahkan masyarakatnya beraktifitas, kelebihan itu akhirnya secara historis menjadikanya banyak pusat kerajaan besar yang lahir diatas tanah suku jawa seperti singasari, majapahit, demak, dan banyak kerajaan lainya. Di zaman saat ini bahkan pulau jawa menjadi pusat ibu kota negara yang otomatis juga menjadi pusat ekonomi dan politik bangsa Indonesia. Berbagai faktor tersebut kemudian didukung kembali oleh jumlah masyarakat yang berasal dari suku jawa, suku jawa pada tahun 2010 memiliki lebih dari 95 juta sehingga suku jawa dinonbatkan sebagai suku terbesar di Indonesia (BPS - Statistic Indonesia, n.d.). Kebijakan transmigrasi pemerintah juga bukan hanya membuat suku jawa bukan hanya besar tetapi juga tersebar, bahkan pada tahun  2000 berdasarkan BPS wilayah lampung dihuni oleh 61,8% suku jawa. Faktor agama juga menjadi salah satu pendukung utama masyarakat jawa, islam yang menjadi mayoritas agama di Indonesia juga sangat erat dengan suku jawa, mulai dari para penyebar agama seperti walisong (9 wali) dan mergering budaya kedalam maupun keluar islam sangat erat kaitanya dengan suku jawa, keeratan ini bahkan diklasifikasikan oleh Clifford Geertz menjadi trikotomi kelompok masyarakat jawa yaitu santri, abangan, dan priyai (Fossati, 2019). Kini saya tidak lagi bertanya pulau seluas 128.300km dinamakan pulau jawa, bukan pulau sunda atau pulau Betawi.

Kompleksitas yang kita bahas tadi merupakan berbagai aspek pendukung kekuatan suku jawa di Indonesia khususnya dalam pembahasan kali ini yaitu di dalam dimensi politik nasional. Kebudayaan jawa memang sangat indah untuk dimaknai melalui aspek pemaknaan kehidupan dengan ajaran lakon yang digambarkan dengan cara yang membumi melalui kebudayaan mulai dari wayang, kidung, music, dan lainya. Akan tetapi kekuatan politik jawa jika dipolitisasi dan didoktrinasi yang mana sesungguhnya tidak dikehendaki oleh ajaran kebudayaan jawa sendiri maka dapat menjadi ancaman demokrasi karena berpeluang memunculkan diskriminasi seperti pemahaman yang kerap kali muncul dalam proses pemilihan presiden sampai hari ini, yaitu yang dapat memimpin Indonesia hanyalah berasal dari suku jawa sehingga suku-suku lainya seolah termarginalisasikan untuk dapat mengabdi menjadi pemimpin tertinggi negri ini. Kekuatan politik jawa akan lebih elok dan bijaksana jika kita indahkan sebagai sebuah nilai kebudayaan atau kehidupan khususnya kehidupan personal yang menjaga pola tindak prilaku dan tutur kata kita, namun akan berpotensi sebagai ancaman jika kita mengindahkanya sebagai satu-satunya pakem atau doktrin dalam pola kekuasaan politik nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun