Mohon tunggu...
PINK
PINK Mohon Tunggu... Freelancer - 18 years

college student, enjoy my article

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bukan tentang Seberapa Penting Arti Kita, tapi Seberapa Besar Ketulusan dan Keberanian Kita

26 Mei 2017   12:26 Diperbarui: 26 Mei 2017   12:34 1350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hidup mengajarkan kita bahwa manusia sudah sepatutnya memiliki rasa kemanusiaan di alam bawah sadar mereka. Untuk mengetahui apa yang mereka rasakan, cukup lihat pada sebuah cermin besar dan katakan “Yang ku rasakan ketika detik itu menjadi mereka adalah....”. Kita bisa merasakan dasar rasa yang ada. Meskipun, jalan pikiran setiap orang yang pada akhirnya membawa kita kepada kesimpulan yang berbeda-beda.  Sebagai  seorang  remaja, kita adalah harapan terbaik. Kenapa? Lihatlah, siapa orang yang mudah mendapatkan perizinan? Kebanyakan dari itu adalah orang tua, dewasa, dan remaja. Sekarang lihatlah, siapa yang paling mempunyai keberanian lebih untuk melakukan hal-hal baru? Kebanyakan dari itu adalah remaja dan anak-anak. Kenapa tidak orang dewasa?  Karena mereka sudah memiliki pemikiran mengenai sebab dan akibat yang mau tidak mau akan mereka dapatkan. Dengan segala rutinitas mereka, pastinya itu akan menjadi beban tersendiri untuk mereka.  

kesadaran itu penting untuk para remaja. Karena ketika kita sadar, itu berarti kita sudah dapat membedakan  apakah hal ini baik atau buruk. Usia seperti ini biasanya menjadi usia ketika kita mempunyai rasa keingintahuan yang besar dalam berbagai hal. Pada usia remaja, kita berada pada jalur perbatasan antara imajinasi dan kenyataan.  Usia ketika kita selalu bisa melakukan YA meskipun peraturan berkata TIDAK. Terkadang banyak kesempatan dan hal-hal baik yang seharusnya bisa kita lakukan tetapi itu musnah sia-sia. Ya, semua pasti mengetahui masa-masa  remaja. Entah kesempatan itu  ditikung, malas, atau yang lebih parah adalah tidak tahu apa yang harus dilakukan.  

Suatu hari saya belajar satu hal yang berarti dari salah satu teman saya. Kala itu kami berdua sedang beristirahat sambil membeli beberapa jajanan pasar.  ketika itu teman saya berkata bahwa dia sangat menginginkan es buah. Akhirnya setelah beberapa pertimbangan dia memutuskan untuk membelinya.  Setelah itu, kami berjalan untuk kembali pulang bersama teman kami yang lain. Sebut saja si B. Kami bertiga berjalan, melewati sebuah masjid. Kebetulan kondisi pasar saat itu cukup ramai karena saat itu adalah sore hari. Ketika berjalan melewati masjid, kami melewati seorang pengemis yang saya perkirakan umurnya memang sudah sangat tua. Jika saya memperhatikannya, dia sepertinya sangat kelelahan.  Hari itu cuaca sangat panas. Saya lihat dia terduduk lemas.  Iba rasanya, menerima kenyataan bahwa masih banyak orang di sekitar kita yang memiliki nasib seperti ini. Kami melewatinya begitu saja. Lalu tidak berapa lama, teman saya memberhentikan kami. Kami berhenti di depan sebuah warung kopi yang biasanya ada di pinggir jalan. Dan hal yang tidak pernah terpikirkan oleh saya adalah ketika teman saya berkata, “Bagaimana jika aku berikan ini kepada  orang tersebut?” ucapnya dengan mantap sambil menunjukan es buah yang sangat dia inginkan. Saya sempat terdiam, mencoba mencerna kata-kata tersebut. “Itu terserah kepada kamu, ada baiknya  iya”. Saya tidak pernah tahu apa yang harus dikatakan, hal yang saya pertimbangkan saat itu, apakah itu benar atau salah, apakah itu baik atau buruk. Tapi, semua itu musnah dengan satu jawaban “Ya, itu baik.” Akan tetapi,  teman saya  tidak ingin memberikannya langsung kepada sang pengemis. Akhirnya kami sepakat melakukan hompimpa. Pada putaran pertama kami bertiga mendapatkan warna yang sama lalu, di putaran yang selanjutnya ”oh tidak!” ternyata saya yang mendapatkan kesempatan untuk memberikannya.

Saya menemukan hal berharga yang jarang sekali saya lihat pada orang-orang di sekitar saya, bahkan mungkin pada diri saya sendiri. Darinya saya belajar, bahwa ketika kamu ingin melakukan sesuatu dan kamu rasa itu baik, jangan pernah ragu untuk melakukannya. Memberi itu memang bukanlah hal yang sangat berharga, tapi tujuan pertolongan dari hal yang diberikan itulah yang sangat berharga. Ini adalah tentang bagaimana kamu harus langsung berpikir untuk memberi tanpa kamu harus meragukannya, memberi dengan mengesampingkan urusan pribadimu, memberi dan menolong pada seseorang yang seharusnya bisa menikmati  apa yang kita nikmati. Saya berterima kasih kepada teman saya karena telah mengajarkan hal yang sangat istimewa sore itu. Hal yang tidak pernah bisa dilupakan hingga detik ini. Saya menceritakan ini bukan untuk riya. Tetapi untuk dijadikan  pelajaran dan membuat sebuah pernyataan besar bahwa kebaikan itu masih ada, jiwa kita masih hidup. Semua tergantung dengan apa yang kita pilih untuk dilakukan. Bukan apa yang harus kita lakukan.

Terkadang rasa  kemanusiaan itulah yang seharusnya membentuk kita sebagai pribadi yang lebih baik. Rasa yang mendorong kita untuk berbagi, saling menyayangi dan mengasihi. Mungkin ketika keingintahuan dalam diri kita terus tumbuh, kita hanya mempunyai dua pilihan. Lakukan atau tidak sama sekali. Dua hal yang mempunyai resiko yang sama berat. Dua hal yang akan mengajarkan kita hal-hal baru untuk dipelajari. Hal yang dapat merubah hidup kita. Hal yang sangat didasari oleh egoisme di dalam setiap diri manusia. Ketika rasa kemanusiaan itu hilang, hilang pula kehidupan di bumi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun