Mohon tunggu...
Widi Noor Cahya
Widi Noor Cahya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Burning Lovely Untouchable Emotional | BLUE

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kaltim, Gerbang Banua Etam

12 Juni 2011   17:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:35 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara tentang Indonesia, pada idealnya berbicara tentang puluhan ribu pulau yang terbentang didalamnya. Namun bagaimanapun juga, seringkali topik keindonesiaan menjadi lebih terspesialisasi kebeberapa titik tempat. Tentang ekonomi misalnya, pembicaraan Indonesia seolah-olah menciut menjadi perbincangan Pulau Jawa saja. Lain lagi tentang wisata. Dalam topik itu, Indonesia seolah identik menjadi pulau Bali semata.

Negeri yang besar wilayahnya puluhan kali ukuran negara Jerman ini masih terkungkung pada permasalahan ketidakmerataan pembangunan. Proses penguatan infrastruktur hanya terjadi pada sekitar Pulau Jawa saja, atau yang lebih sering dikenal dengan Jawasentris.

Akibatnya, banyak pulau-pulau selain Jawa tertinggal banyak langkah dalam marathon pembangunan negeri maritim ini. Termasuk di antaranya Pulau besar seperti Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, dan Papua, yang notabene menyimpan ‘harta karun’ negara yang masih belum banyak terjamah. Dan tulisan saya kali ini akan lebih berfokus pada pembahasan Kalimantan Timur (Kaltim) saja, yang merupakan bagian dari Pulau Kalimantan (Borneo).

Seperti yang dikatakan dalam buku dr. Sofyan Hasdam yang berjudul Visi Kalimantan Timur 2025, dikatakan bahwa propinsi Kaltim menempati posisi yang unik dalam perekonomian Indonesia. Pada satu sisi, sama seperti NAD, Propinsi Riau, dan Propinsi Papua, Propinsi Kaltim dikenal sebagai propinsi yang ‘kaya’. Disatu sisi, kaya disini bisa dimaksudkan dalam Produk Domestik Bruto (PDRB) yang tergolong tinggi (lihat gambar).

Namun dalam sisi yang lain, ternyata kekayaan yang dimiliki Kaltim tidak sebanding dengan tingkat kemakmurannya. Jika dibandingkan dengan propinsi-propinsi yang ada di sekitar Pulau Jawa, tingkat kemakmuran wilayah dan masyarakat Propinsi Kaltim tergolong terbelakang. Dalam beberapa literatur, disebutkan bahwa salah satu parameter tingkat kemakmuran adalah harga beras. Di Kalimantan, harga berasnya bisa sampai dua kali lipat besarnya daripada harga beras di Jawa. Kesenjangan antara PDRB yang tinggi dan tingkat kemakmuran yang rendah itu tentu memerlukan perincian yang jelas.

Dalam artian yang sederhana, sebenarnya jawaban dari kesenjangan ini tidaklah terlalu sulit. Hal ini terjadi karena masih rendahnya peran serta propinsi dan masyarakat Kaltim dalam proses pembentukan PDRB-nya. Masyarakat Kaltim bukan hanya masih rendah dalam peran serta sebagai penyumbang tenaga kerja, atau sebagai pemilik modal dan produsen teknologi, melainkan terjadi pula dalam bentuk rendahnya kualitas kepemilikan masyarakat Kaltim terhadap tanah tempat berlangsungnya berbagai kegiatan yang membentuk PDRB tersebut.

Memang secara fisik, kegiatan semacam proses eksploitasi minyak bumi, gas alam, batu bara, uranium, atau bahkan usaha-usaha perkebunan besar berada persis di wilayah propinsi Kaltim. Tetapi bila ditelusuri kepemilikannya, tanah-tanah tersebut telah beralih kepemilikannya kepada pemerintah pusat, sehingga berstatus tanah negara.

Apakah itu salah jika dikuasai oleh negara? Tidak salah memang. Namun jika ditelusuri lewat perspektif pembangunan daerah, hal ini bisa berakibat fatal. Dengan kedudukan pihak paling berkuasa adalah pemerintah pusat, dan bukan pemerintah daerah (apalagi masyarakat Kaltim), maka sudah tentu kenikmatan hasil beserta pajak-pajak proses pembentukan PDRB lebih banyak dinikmati oleh pemerintah pusat. Pemilik modal dan produsen teknologi yang bercokol diluar Kaltim juga mendapatkan keuntungan. Wilayah dan masyarakat Kaltim, karena peran sertanya rendah, hanya berhak mendapat bagian yang rendah pula.

Satu pesan bung Karno yang dapat menjadi acuan berkenaan dengan masalah ini: berhenti menjadi lahan empuk untuk memutar kelebihan modal yang dimiliki oleh para pemilik modal asing. Jadi, tantangan berat  propinsi Kaltim dimasa depan adalah terletak sinkronisasi kebijakan investasi dan sektor lainnya lebih rapih, serta upaya besar-besaran untuk meningkatkan peran serta propinsi dan masyarakat Kaltim dalam proses pembentukan PDRB di wilayahnya.

Kaltim memiliki segunung harta alam yang sangat banyak. Mulai dari tanahnya, hingga bawah tanahnya menyimpan aset yang sangat luar biasa. Bukankah sangat ironis jika membiarkan kartu truf ekonomi masa depan Indonesia ini habis, tanpa ada penyeimbangan infrastruktur yang mengangkat citra Kaltim dari daerah tertinggal menjadi daerah maju?

Ada banyak pekerjaan rumah bagi semua komponen sumber daya manusia Kaltim untuk membangun propinsinya. Sinergisasi dan pencanangan visi dan program pembangunan antara pemerintah Kaltim, semangat masyarakat Kaltim, dan peran kaum menengah Kaltim (pengusaha, mahasiswa, tokoh agama, militer, guru) perlu ditingkatkan lagi. Tanpa ada peran dari ketiganya, maka percepatan pembangunan Kaltim hanyalah sebuah mimpi dan angan-angan belaka. Maka menjadi tugas siapakah untuk memulainya?[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun