Mohon tunggu...
Vinda Hestima
Vinda Hestima Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jika Kau Tersenyum...Maka Aku Akan Tersenyum...Ibarat Cermin, Ku Kan Turut Serta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Desa yang Tak Lagi Menjadi Desa

2 Mei 2012   06:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:50 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya ini orang desa, ya..itu benar adanya. Karena saya yakin, hampir sebagian besar kompasioner tidak akan atau belum mengenal desa tempat tinggal saya ini. Lagipula, untuk sampai ke pusat kota Yogyakarta saya membutuhkan waktu lebih kurang 1 jam itupun jika ditempuh dengan kecepatan  60km/j, dengan sepeda motor tentunya. Ditempat saya ini masih banyak berhektar-hektar sawah, tanah atau lahan kosong.

Meski begitu, pembangunan juga semakin pesat apalagi dengan Bupati baru di Kabupaten saya ini yang baru saja dilantik beberapa waktu lalu. Banyak jembatan kecil direhab, pembangunan kios atau ruko di tanah milik kas desa, dan perbaikan-perbaikan struktural lain yang sangat menguntungkan masyarakat. Sehingga akan sangat jarang ditemukan jalan yang masih tanah dan bebatuan di sekitar tempat saya ini.  Belum lagi telah ramainya sarana kesehatan swasta yang banyak dan tinggal memilih ingin dokter dan pelayanan yang seperti apa.  Tak mau kalah dengan hal itu, sarana kesehatan milik pemerintah  juga melakukan perubahan drastis dari segi bangunan.

Pemandangan ini sangatlah berbeda dengan yang saya lihat dan alami ketika 12 tahun silam. Ketika itu, masih banyak anak SMP dan SMU yang mengendarai sepeda onthel untuk sampai ke sekolah atau hanya sampai ditempat titipan sepeda dan menaiki bus untuk selanjutnya ke sekolah dengan perhitungan irit ongkos bus. Akan saya lihat bus dengan para anak sekolah yang bergelantungan dipintunya. Kenyataannya sekarang, anak SMP dan SMU sudah menggunakan motor otomatis dan dengan ugal-ugalan tanpa ingat bahwa nyawa itu tidak ada yang menjual, sambil menggunakan handphone ditangan kiri. Dulu, setiap pagi akan saya lihat para ibu menjemur pakaian didepan atau samping rumah, tapi sekarang sudah berderet kios laundry dan berbagai tawaran harga menarik bahkan dengan undian berhadiah mereka menarik para pelanggan. Telah terlihat minimarket dengan cat merah bergambar lebah di setiap kecamatan, yang menggerus habis para pedagang kelontong yang dulu menjadi langganan ibu saya.

Ya...semua telah berubah sesuai arus kemajuan jaman. Inilah fakta, bahwa desa ini, tak lagi layak disebut desa.

#mengisiwaktukosong.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun