Artikel ini jelas sangat terlambat apabila dinilai dari tahun film yang dibahas (1998). Sekalipun demikian ada banyak hal menarik yang bisa dipikirkan dari tayangan layar lebar ini.
Film ini dibuat pada tahun 1998, hanya sayangnya saya baru sempat menontonnya pada tahun 2014. Film ini memiliki kemiripan tema seperti Rashomon, Inception, Stranger than Fiction, dan seri The Matrix. Film-film ini membuat penontonnya berpikir tentang realitas dari dunia ini senyata-nyatanya. Atau istilah teknisnya: pertanyaan-pertanyaan “wawasan dunia” (weltanschauung). Pertanyaan-pertanyaan seperti “siapa/apakah aku ini;” “apakah yang paling riil;” “apa arti kehidupan ini;” “apa arti sejarah dunia ini” dipayungi oleh istilah “wawasan dunia.” Ada banyak hal dalam film ini yang patut untuk diperbincangkan. Bagaimana perasaan anda ketika menyadari bahwa seluruh hidup ini hanya sebuah skenario buatan seseorang? Bagaimana perasaan anda ketika kita sadar bahwa diri kita bukanlah seperti apa yang selama ini orang lain katakan, bahkan seperti yang kita pikirkan sendiri? Apa yang akan anda lakukan?
Seluruh kehidupan kita diberondong oleh make-believes. Kita digiring, ditanami, dijejali, dipaksa untuk memercayai seperangkat hal mengenai siapa diri kita, dunia di mana kita hidup, dan ke mana semua cerita ini akan berjalan. Seluruh proses ini tidak diberlakukan oleh keluarga inti saja. Masyarakat, sekolah, perguruan tinggi, sahabat, kekasih, dan bahkan iklan televisi tidak alpa untuk melaksanakan tugasnya. “Yang benar saja, kamu mau mengatakan bahwa semua yang mereka ajarkan tidak riil?” Bisa jadi.
Sedikit banyak saya menemukan hal yang serupa sering terjadi dalam berbagai komunitas yang dipimpin oleh suatu tradisi/ideologi. Apa yang terjadi dalam kehidupan Truman mungkin berlatar reality show, tetapi saya melihat kemiripan yang sama dengan realitas sosial yang ada di sekitar kita.
Pikirkanlah. Bukankah apa yang terjadi di dalam sebuah kelompok-kelompok, entah besar atau kecil, memiliki rupa seperti yang kita lihat di The Truman Show? Kita terlahir di sebuah planet dari sekian banyak planet-planet di sekitar kita. Siapa sumber informasi kita yang pertama? Mereka adalah orang tua dan keluarga besar kita; mereka menggambarkan sebuah “dunia” sebagaimana mereka memahaminya. Ini pula yang kita temui di sekolah, masyarakat sekitar, partai politik dan bahkan perguruan tinggi. Seluruh lini dikerahkan untuk menggiring kita mengatakan “ini benar, ini baik, dan ini indah” persis dengan apa yang dikicaukan oleh sekitar kita. Kita semakin dibentuk segambar dan serupa dengan . . . isilah titik-titiknya.
Seiring berjalannya waktu kita menemukan bahwa mereka tidak selalu konsisten ketika membeberkan narasi dunia ini. Kita bertemu dengan manusia-manusia lain yang ternyata tidak berpikiran sama dengan kita. Kita menemukan kejanggalan demi kejanggalan. “Bukankah selama ini kita diajarkan bahwa begini dan begitu? Mengapa mengapa terjadi demikian?” Saat-saat itu merupakan momen “aha” dalam hidup. Ternyata “dunia” sebagaimana kita memahaminya dulu tidak selalu benar dan mutlak.
Tidak jarang ketika kita mulai mempertanyakan “dunia” sebagaimana kita diajarkan, konsekuensi akan segera menyusul. Akan ada orang-orang yang berusaha mengamankan kita. Segala macam dalih dan alasan disebutkan dengan harapan satu sempalan ini mau berpikir ulang. Tidak berarti bahwa mereka selalu salah, apalagi jahat. Bisa jadi mereka benar dan sangat tulus ketika menjalankan tugas pengamanannya. Maksud mereka sangat baik. Walaupun demikian, tentu saja ini bukan berarti tidak ada orang yang licik dan sengaja memanipulasi kita seperti halnya Christof dan kru di dalam film ini. Pun demikian, kita dapat poinnya: “dunia” di mana kita (merasa) hidup hari ini bukan tanpa penjaganya.
Lihat saja perdebatan kala pemilu di negara ini. Mereka yang hatinya sudah terpaut pada satu tokoh tampaknya bisa menjadi begitu tidak rasional. Segala hal yang baik bagi tokohnya dilahap, segala yang jahat dicarikan bantahannya. Demikian juga dengan kehidupan beragama. Ada beberapa hal yang tidak bisa dipertanyakan. Ketika seseorang beralih keyakinan, maka seperangkat kru siap untuk menghadang dan mencoba meyakinkan, entah dengan paksaan atau bujukan (kadang kekerasan!), agar kita tidak meninggalkan dunia seperti yang sudah biasa mereka dengar. Kadang tulus, namun tidak selalu benar. Tetapi di tengah semuanya ini terkadang kita menemukan momen “aha” itu. Entah bagaimana ada sebuah dorongan, sebuah keyakinan absolut untuk mencari kebenaran, apa pun konsekuensi yang harus kita terima. Truman memutuskan untuk rela mati demi mencari kebenaran itu. Ia tidak mau hidup dalam pagar perlindungan Christof yang meskipun nyaman, namun semu adanya.
Artikel ini tidak ditulis dengan pretensi bahwa kita bisa hidup tanpa tradisi tertentu. Juga bukan bahwa bahwa agama dan ideologi partai pastilah antek Christof. Tulisan ini pun bisa jadi merupakan hasil dikte Christof! Di lain pihak tulisan ini bisa jadi merupakan interupsi dari “dunia” luar untuk membuka tabir. Bisa jadi kebenaran itu adalah apa yang selama ini diajarkan kepada kita; bisa jadi juga di luar itu. Semoga kita semakin tergugah untuk memperluas cakrawala “dunia” kita.
Vincent Tanzil, 12 Juli 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H