Mohon tunggu...
Vincent Tanzil
Vincent Tanzil Mohon Tunggu... lainnya -

Pengamat isu-isu sosial dan keagamaan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mereka yang Disebut Mayoritas dan Minoritas

12 Juli 2014   20:24 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:32 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru beberapa waktu yang lalu kita mendengar debat terbuka dari kedua capres dan cawapres yang sudah diresmikan oleh KPU.  Di dalam diskusi tersebut, terlontar sebuah pernyataan bahwa yang mayoritas harus melindungi yang minoritas, sementara mereka yang minoritas harus belajar hormat kepada yang mayoritas.  Apa yang dimaksud oleh pernyataan ini?

Pernyataan ini membungkus sebuah ide yang sudah lama dimiliki oleh masyarakat, bahkan juga turut dipropagandakan dengan agresif, baik oleh mereka yang diberi nama mayoritas atau minoritas.  Mereka yang mayoritas mengklaim memiliki hak yang lebih besar.  Kami lebih banyak, karena itu harus dihormati.  Mereka yang minoritas merasa terancam dan tidak berdaya, sehingga membutuhkan perlindungan dari pihak lain. Berangkat dari sini maka timbullah hak dan kewajiban dari tiap-tiap golongan yang entah dinamai atau menamakan dirinya sendiri sebagai mayoritas dan minoritas.

Penamaan ini tidaklah netral.  Mungkin ada yang berpikir bahwa penamaan mayoritas dan minoritas merupakan suatu hal yang lazim.  Hitung saja jumlah etnis ini.  Hitung saja jumlah penganut agama ini.  Hitung saja jumlah orang yang bergender ini; dan banyak contoh lainnya, maka, kita akan sanggup memberikan hak dan kewajiban untuk masing-masing kaum.  Mau bicara apa lagi?  Ini fakta!  Kenyataannya tidak semudah itu.

Yang dirisaukan adalah loncatan pemikiran dari fakta sosial menjadi sebuah tuntunan hidup bernegara.  Ketika fakta sosial tersebut diberikan nama “mayoritas” dan “minoritas” maka beban tuntunan hidup bernegara itu, sadar atau tidak, ikut termaktub di dalam nama itu.  Sebenarnya fakta hanya menunjukkan bahwa orang Kristen berjumlah sekian, Islam berjumlah sekian, Buddha berjumlah sekian dan itu meliputi berapa persen dari keseluruhan masyarakat Indonesia.  Tapi ternyata cawapres dari nomor urut satu tersebut tidak puas.  Ia memberikan sebuah tuntunan sosial yang justru sangat tidak sejalan dengan bhinneka tunggal ika!

Indonesia adalah negara hukum.  Karena itu setiap warga harus diperlakukan sama dan sederajat di hadapannya.  Presiden dan wakil presiden pun ada di bawah hukum.  Mayoritas dan minoritas pun juga harus bertanggungjawab kepada hukum.  Masalahnya bukan seberapa besar jumlah kelompok etnis atau agama tertentu sehingga yang satu harus melindungi dan yang lain harus hormat, masalahnya adalah setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum.  Apakah sang calon pemimpin itu akan mulai memperjuangkan hukum tersebut dengan adil, dengan tidak tajam kepada minoritas tapi tumpul kepada mayoritas?  Apabila orang yang dinamai minoritas itu merusak tempat publik dan meresahkan negara, maka mereka harus diproses secara hukum.  Demikian pula apabila mayoritas melakukan hal serupa; maka tindakan serupa harus diberikan kepada mereka.  Ini bukan negara menang-menangan.  Ini negara yang diatur oleh hukum.  Semoga mereka yang terpilih nantinya bisa memperjuangkan keadilan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun