26 Januari 2018 yang lalu, Menteri Hukum dan HAM mengundangkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 1 Tahun 2018 (Permenkumham 1/2018) tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum.
Di satu sisi, pemerintah hendak memberikan hak kepada masyarakat yang kurang mampu untuk mendapatkan bantuan hukum. Namun di sisi lain, pemerintah mengabaikan kualitas dari paralegal yang akan memberikan bantuan hukum tersebut.
Pasal 4 Permenkumham 1/2018 mengatakan, "Untuk dapat direkrut menjadi Paralegal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. berusia paling rendah 18 (delapan belas) tahun; c. memiliki pengetahuan tentang advokasi masyarakat; dan/atau d. memenuhi syarat lain yang ditentukan oleh Pemberi Bantuan Hukum." Kemudian Pasal 11 Permenkumham 1/2018 menyatakan,
"Paralegal dapat memberikan Bantuan Hukum secara litigasi dan nonlitigasi setelah terdaftar pada Pemberi Bantuan Hukum dan mendapatkan sertifikat pelatihan Paralegal tingkat dasar." Artinya, untuk menjadi seorang paralegal tidak perlu memiliki latar belakang pendidikan tinggi hukum. Cukup dengan terdaftar pada Pemberi Bantuan Hukum dan mengikuti pelatihan paralegal tingkat dasar, maka seorang paralegal sudah bisa memberikan bantuan hukum secara litigasi maupun nonlitigasi.
Menurut saya, hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat). Perlu kita cermati bagaimana proses seorang advokat hingga bisa memberikan jasa hukum. Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan.
Pasal 3 ayat (1) UU Advokat mengatakan, " Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. warga negara Republik Indonesia; b. bertempat tinggal di Indonesia; c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara; d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun; e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat; g. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat; h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; i. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi."
Panjangnya tahapan ini semata-mata untuk menjaga kualitas advokat. Orang yang sudah lulus Ujian Profesi Advokat saja tetapi belum disumpah, belum bisa menjalankan profesinya sebagai advokat (Baca Pasal 4 UU Advokat).
Masalah lain pun muncul manakala Pasal 15 Permenkumham 1/2018 mewajibkan Pemberi Bantuan Hukum untuk membuat kode etik pelayanan Bantuan Hukum Paralegal. Ini artinya sangat mungkin kode etik paralegal yang dibentuk oleh satu Pemberi Bantuan Hukum dengan Pemberi Bantuan Hukum lain akan berbeda.
Tidak ada standar yang baku untuk kode etik paralegal. Berbeda halnya dengan Kode Etik Advokat yang telah ditetapkan tanggal 23 Mei 2002. Kode Etik Advokat hanya ada 1 dan berlaku untuk semua advokat di Indonesia.
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Enny Nurbaningsih mengatakan, pemerintah merasa negara perlu hadir memberikan bantuan hukum kepada masyarakat miskin, marjinal, dan berada di daerah yang minim advokat atau jauh dari jangkauan kemampuan mereka (Baca: Kompas, 26 Februari 2018 "Pemerintah Akui Peran Paralegal").
Menurut saya, kehadiran paralegal dalam memberikan bantuan hukum tidak menyelesaikan persoalan. Patut diketahui, menurut Permenkumham 1/2018, penerima bantuan hukum adalah orang atau kelompok orang miskin sehingga alasan pemerintah yang mengatakan minimnya advokat di daerah tidak terselesaikan. Karena jika dia bukan orang atau kelompok orang miskin, maka dia tidak bisa mendapatkan bantuan hukum dari paralegal.