Seberapa sering kalian mendengar soal istilah Echo Chamber? Istilah yang serupa dengan peribahasa Katak dalam Tempurung. Sebuah tempat yang hanya memperbesar 'gaung' kita akan sebuah informasi yang ingin kita dengarkan atau yang kita dapatkan. Beberapa orang mengasosiasikan ini dengan algoritma sosial media yang akan menampilkan informasi tertentu sesuai dengan minat kita. Entah itu tontonan Youtube, Tiktok, atau media sosial apapun.Â
Tapi, benarkah Echo Chamber itu ada?
Homogenitas
Sebenarnya, tanpa perlu melihat ke dunia yang jauh lebih digital, Echo chamber telah hadir dalam lingkungan kita hidup sehari-hari. Hal ini dapat timbul dari homogenitas masyarakat yang ada. Coba deh kita cek dulu ke peta persebaran agama di Indonesia.Â
Dapat kita lihat bahwasannya pandangan masyarakat di pulau Jawa yang mayoritas beragama Islam tentu berbeda dengan masyarakat pulau Bali. Hal ini terlihat dari budaya, tata cara beribadah, tata cara bersosialisasi, cerita rakyat yang dipercayai, dan hal-hal lainnya. Hal ini juga pada akhirnya menimbulkan sebuah stereotipe yang pastinya lahir dari satu buah kejadian echo chamber tentang agama orang daerah tertentu. Seperti kita mengasosiasikan orang Bali dengan Hinduisme.
Dan hal yang sama juga dapat kita lihat dalam stereotipe terhadap ras atau daerah lain yang ada. Seperti orang-orang di Pulau Jawa seringkali melabeli saudara-saudara yang berasal dari Pulau Kalimantan sebagai orang-orang Dayak yang beringas. Padahal faktanya, banyak sekali orang-orang Kalimantan yang sangat lembut hatinya dan hanya akan beringas ketika memang diperlukan (ketika terjadi konflik misalnya).Â
Hal ini menjadi bukti bahwa di dalam tataran negara yang Bhinekka, kita masih memiliki masyarakat yang tinggal dalam sebuah homogenitas tertentu. Dan homogenitas ini menjadi Echo Chamber yang nyata. Yang pada akhirnya menimbulkan fanatisme dan stereotipe tertentu.Â
Sosial Media Cakrawala Baru
Dari wacana sebelumnya, justru sekarang sosial media selalu terbuka menjadi cakrawala yang baru. Isu mengenai filter bubble dan juga echo chamber seperti yang kita bicarakan di awal sebenarnya tidak sepenuhnya benar. Hal ini bisa dilihat dari berbagai hal yang secara jelas gamblang ada di depan mata kita, salah satunya adalah Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP).Â
Di sisi lain, kita juga bisa melihat dari banyaknya angka investor baru yang naik pada saat Covid-19 melanda Indonesia. Adalah sebuah keanehan jikalau angka investor baru naik, tetapi konten yang ditampilkan dibatasi oleh filter bubble. Bayangkan saja, ketika seseorang suka dance, dia hanya akan melihat soal dance saja sampai akhir dan tidak pernah diberikan konten mengenai investasi. Tetapi faktanya, banyak pula orang yang suka konten dance tetapi juga melihat konten investasi di 1 media sosial yang sama.Â
Hal ini menandakan bahwa sebenarnya filter bubble dan Echo Chamber yang berasal dari media sosial, kemungkinan besar adalah ilusi yang terbentuk karena kemalasan kita untuk mencari informasi di luar minat kita. Sehingga masalahnya adalah di manusia itu sendiri.Â