Jikalau agama Kristen merayakan kelahiran, kematian, serta kenaikan sebagai bukti ke-ilahian Kristus dalam waktu yang berbeda-beda, Buddhis di seluruh dunia merayakan hari kelahiran, kematian, dan juga penerangan sempurna dari pendiri ajaran Buddhisme pada satu hari yang sama. Waisak adalah hari raya yang terbesar sekaligus yang mungkin paling dikenal daripada tiga hari raya Buddhis lainnya, Asadha, Magha Puja, dan Kathina. Tetapi mengapa demikian?
Ada Makna Terdalam pada Waisak
Waisak bisa jadi dikenal karena hari ini adalah sebuah peringatan akan keseluruhan perjalanan hidup dari Siddharta Gautama. Kelahiran Beliau, terlepas dari segala jenis cerita-cerita ajaib yang diceritakan, memberikan makna bahwa sebelum mencapai ke-Buddhaan, Siddharta Gautama pun sama seperti kita. Ia adalah seorang manusia yang harus mengalami masa kecil, terlahir dari seorang wanita, dan belajar bagaimana caranya hidup seperti orang lainnya.Â
Sementara pencerahan sempurna daripada Siddharta Gautama menjadi Buddha juga memberikan makna bahwa siapapun, dari latar belakang apapun, dengan kemampuan yang bagaimanapun, dapat menjadi seorang Buddha jikalau mereka mau berusaha secara penuh. Sebelum mencapai ke-Buddhaan, Beliau harus bertapa menyiksa diri terlebih dahulu selama 6 tahun di hutan Uruvela. Sebelum akhirnya Beliau menemukan bahwa latihan penyiksaan diri tidak membawa apapun dalam latihannya.Â
Hal ini memberikan makna juga kepada kita, bahwa sebelum mencapai sesuatu, seseorang harus terus belajar tentang bagaimana cara yang benar. Ini tidak hanya berlaku bagi hal-hal yang bersifat rohani seperti pencerahan sempurna, tetapi berlaku untuk hal apapun yang ada di dunia ini. Sebelum kita mencapai sesuatu, kita harus mau untuk terus belajar, berjuang, dan tidak menyerah.Â
Sedangkan, kematianNya adalah sebuah pengingat bahwa segala sesuatu yang berbentuk tidaklah bertahan selamanya. Sang Buddha, dalam tubuh seorang manusia, tetaplah terikat pada kondisi keduniawian. Beliau bahkan mengalami sakit terlebih dahulu sebelum mencapai Parinibbana. Bahkan, menurut beberapa penelitian yang bersifat ilmiah, Beliau kemungkinan mengalami keracunan makanan terlebih dahulu sebelum memburuk karena usia tua.Â
Apakah Beliau merasa tidak rela harus meninggalkan para murid-Nya? Tidak. Beliau bahkan memberitahukan bahwa waktunya sudah tiba untuk Beliau mencapai Parinibbana. Bahkan, sebelum meninggal, Beliau membabarkan syair yang menjadi motto bagi banyak Buddhis di dunia ini,
Vayadhamma sankhra. Appamdena sampadetha (Segala sesuatu yang berkondisi adalah tidak kekal, berjuanglah dengan sepenuh tenaga)
Beliau tidak memberikan wejangan yang berisi janji bahwa semua muridNya akan bersama-sama menggapai Nibbana jika percaya saja denganNya. Tetapi Beliau memberikan wejangan bahwa segala sesuatu adalah sebuah ketidakkekalan, kita harus berjuang. Ini adalah sebuah makna yang teramat dalam, mengingat murid-muridNya pada saat itu bisa saja berpikir "guru saya sakti, mengapa beliau harus meninggal?" Namun wejangan terakhir itu justru menjadi jawaban sekaligus penutup terakhir bagi seluruh sabdaNya, bahwa segala sesuatu yang ada, termasuk sang Buddha selama masih berkondisi akan mengalami kehancuran. Begitupun dengan para muridNya nanti ketika sudah mencapai Nibbana, sesakti apapun mereka, kematian dan kehancuran adalah suatu keniscayaan yang harus dihadapi.Â
Waisak Berpusat pada Buddha
Salah satu yang membuat Waisak menjadi istimewa juga bisa terlihat pada fokus peringatan. Waisak adalah hari yang berpusat pada sang Buddha. Jikalau Asadha berpusat pada Dhamma dan Kathina berpusat pada Sangha, maka Waisak adalah hari raya yang berpusat pada sang Buddha. Tokoh yang paling sentral dan menjadi pembuka bagi terciptanya Triratna.Â