Memasuki umur 20-an, bagi saya agak sedikit menggelikan ketika melihat beberapa teman saya yang lahir dari keluarga toxic ternyata malah segut untuk berpacaran dan berkeluarga. Alasannya? Sama bodohnya, butuh pendamping untuk mengisi dan menyembuhkan ketoksikan yang mereka alami. Bodoh bukan?
Seharusnya, keluarga toxic itu ya diputus rantainya. Kalau dia berasal dari keluarga toxic, kemungkinan besar, dia akan membangun keluarga dengan sifat yang serupa. Kok bisa? Iya. Ini ilmiah sekali.Â
Karena dari beberapa penelitian dan riset yang pernah dijalankan, manusia yang sudah melewati masa kritis kepribadian itu ternyata sulit sekali diubah. Riset ini memang menggunakan hewan-hewan lain, tetapi hal serupa pun dipercayai terjadi di manusia. Apa yang menjadi sulit diubah itu? Cara berperilaku yang berimbas kepada cara mendidik anak.Â
Nah, sekarang anda bayangkan saja. Teman saya yang lahir dari keluarga toxic ini malah ingin segera berkeluarga. Akan jadi seperti apa keluarganya?Â
Untunglah, saya sebagai manusia yang paham keluarga  saya bagaimana, enggan untuk berkeluarga. Mungkin inilah alasan orang di luar negeri lebih memilih melakukan free sex yang aman dengan kontrasepsi daripada berkeluarga dan melahirkan anak-anak baru yang sama toxicnya. Kadang berpikiran terbuka adalah jalan untuk menuju dunia yang lebih baik.
Kalau orang tua yang berkicau, saya sih tinggal tutup kuping saja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H