Adakah di antara kompasianer yang berpindah agama? Mungkin sangat sedikit ya. Apalagi yang berpindah dari agama-agama mainstream menjadi Atheis, pasti sangat sedikit. Ya, tetapi saya akan menceritakan pengalaman saya dan sedikit kritik sosial dalam tulisan kali ini. Terutama, mengenai perpindahan agama.
Sebenarnya apakah agama itu sendiri? Agama adalah produk budaya yang tercipta dari manusia di zaman lampau atas pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab di semesta ini. Orang zaman dahulu tidak paham kelistrikan, sehingga mereka berpikir bahwa itu adalah petir yang menyambar dari langit tinggi. Orang zaman dahulu juga tidak paham mengapa dari tanah bisa muncul mahluk hidup seperti tumbuhan. Tanah pun pada akhirnya mereka lambangkan seperti seorang ibu yang melahirkan mahluk-mahluk hidup baru bagi dunia ini.Â
Lantas bagaimana jikalau banyak sekali hal yang mereka tidak tahu? Ya simpel saja, beritahukan kalau itu adalah rahasia ilahi. Dengan kata lain, kita bilang saja bahwa di atas sana ada dewa-dewi yang menyambarkan petir, menurunkan hujan, dan membantu ibu-ibu untuk melahirkan. Juga di bawah sana ada api menyambar-nyambar dan menyala-nyala bagi semua orang yang tidak percaya. Sehingga, pada zaman dulu tidak perlu kita membuat sistem hukum yang terstruktur KUHP pasal berapa ayat berapa dan sebagainya, cukup menjelaskan bahwa di atas langit ada Tuhan maha penyanyang dan di bawah sana ada dewa yang Maha menghukum.Â
Lantas, jikalau memang agama adalah produk budaya, dan agama selayaknya produk budaya lainnya dapat berevolusi menjadi bentuk-bentuk lain, mengapa orang pindah agama masih dianggap suatu hal yang tabu? Bahkan, banyak anak-anak yang harus putus hubungan dengan orangtuanya karena mereka memilih agama yang berbeda dari orangtuanya. Banyak pula orang yang gagal menikah karena masalah salah satu harus pindah agama supaya bisa menikah. Padahal semua ini adalah pelanggaran HAM yang amat sangat berat. Karena salah satu hak dasar manusia yang paling mendasar adalah hak menentukan hidupnya sendiri.Â
Jikalau kita menilik lebih jauh, sebenarnya masalah terbesarnya adalah karena agama (terkhususnya abrahamik) yang lahir di daerah perang dan menjadi agama mainstream akhirnya bercampur dengan budaya masyarakat kita. Pada beberapa agama Abrahamik, termasuk agama saya sebelumnya, Kristen, terdapat beberapa nas dan ayat yang menunjukkan betapa kejamnya hukuman terhadap kemurtadan kepad Tuhan. Hal ini jikalau kita pandang menggunakan sudut pandang antropologi dan sejarah maka bisa didapatkan kejelasan bahwa ini adalah salah satu upaya orang-orang jaman dahulu untuk mempertahankan kelompoknya. Akan tetapi, dalam kehidupan modern yang memiliki kemoralan jauh lebih kompleks, beradab, dan manusiawi hal ini adalah suatu hal yang tidak layak untuk dilakukan. Namun, karena adanya nas dan ayat ini, dan agama tersebut telah tertanam selama puluhan bahkan ratusan tahun di dalam suatu keluarga, maka pola pikir yang sama pun telah dianggap sebagai budaya.
Pada zaman dahulu, memang pemikiran seperti ini sangatlah diperlukan. Bisa dibayangkan jikalau Arab Saudi atau Israel yang didominasi oleh padang gurun memiliki pemikiran sangat Ahimsa seperti Jain ataupun Buddhisme yang membebaskan untuk umatnya mengkritisi pemikiran mereka sendiri, sudah pasti akan terjadi kehancuran dalam komunitas tersebut. Akan tetapi, baiklah itu menjadi ranah dogma saja dan jangan dibawa ke dalam ranah bermasyarakat terutama di zaman modern ini.Â
Saya sendiri pernah berkali-kali menderita sakit mental karena pandangan saya yang bersifat Atheisme dan memang tidak percaya tuhan. Bahkan, sebelum saya memutuskan pindah ke Buddhisme, pertanyaan saya adalah "apakah Tuhan tidak ada di Buddhisme?" dan ketika salah seorang Bhante menjawab bahwa adanya Tuhan atau tidak adalah tidak penting bagi seorang Buddhis, di situ saya merasa yakin untuk menganut agama ini. Akan tetapi, hukuman dan penghancuran karakter dari kaum-kaum beragama lainnya, bahkan dari Buddhisme sendiri tidak henti-hentinya menyerang saya. Alasan dari pihak Buddhis bahkan sangat mengejutkan saya, mereka berpendapat bahwa pindahnya saya ke agama mereka akan menimbulkan konflik dengan agama lainnya.
Sadarkah anda bahwa memang ada yang salah? Bukankah perpindahan itu adalah hak saya secara pribadi untuk menentukan pergolakan batin saya kepada agama yang saya cocok? Bukankah perpindahan agama itu adalah hak saya sebagai manusia dewasa yang layak menentukan hidupnya secara pribadi?
Dari sinilah saya menarik kesimpulan bahwa Indonesia butuh memisahkan urusan agama dari urusan publik. Sekarang ini kunci dari keributan dan keresahan saya tadi adalah banyaknya eksploitasi dari tokoh-tokoh beragama untuk menjadikan agama sebagai urusan publik. Entah apa motivasi mereka, mungkin saja uang. Tetapi, ini jelas menjadi masalah dan menjadi suatu persoalan, karena semakin keras Indonesia menggalakan penyatuan urusan publik dengan urusan agama, maka di saat itulah intoleransi akan makin tajam. Bahkan, ayat-ayat yang memberikan ancaman jauh lebih sedikit daripada ayat-ayat yang membiarkan manusia untuk memilih hidupnya sendiri. Hanya saja, demi kepentingan perut para penceramah dari agama manapun, maka ayat-ayat yang membuat mereka menarik jemaat sebanyak-banyaknya, mempertahankan jemaat yang ada sebanyak-banyaknya pun semakin dieksploitasi dan digembor-gemborkan.
Akhir kata, alangkah baik untuk kita membiarkan orang mengurus hidupnya sendiri. Biarlah orang menentukan agamanya sendiri. Jikalau dari Kristen berpindah ke Islam atau Buddhisme dan Hinduisme, tak eloklah untuk orang Kristen marah. Begitupun dengan umat Islam, Buddhisme, dan Hinduisme, jikalau ada yang berpindah ke Kristen atau ke agama lainnya, ya sudah, ikhlaskanlah. Bukankah pada zaman nabi-nabi, zaman Yesus, zaman Buddha, dan petinggi-petinggi agama lainnya, mereka tidak gencar mencari umat? Bukankah Yesus Kristus, Nabi Muhammad SAW, Buddha Gautama, dan guru-guru lainnya tidak menghakimi umat yang hendak berpindah ke luar dari ajaran mereka? Malah mereka semua memaafkan orang-orang yang berpindah dan menghina mereka serta ajaran yang mereka babarkan.Â
Kalau pendiri agamanya saja mengajarkan demikian, lantas mengapa kita berkebalikan dari mereka? Sekarang siapakah panutan anda, mereka semua yang memiliki moralitas di atas rata-rata atau para penceramah yang berusaha menarik umat dan mempertahankan kebencian terhadap umat yang pindah agama demi keperluan perutnya semata?