Masyarakat desa bisa dilihat sebagai lambang solidaritas masyarakat Indonesia. Masyarakat disana semua saling mengenal satu sama lain dan seringkali bekerja demi melengkapi satu sama lain dan demi kebaikan bersama. Model masyarakat tradisional ini, yang jauh berbeda daripada model masyarakat modern menjunjung nilai-nilai tradisional.Â
Tidak ada yang salah dengan konsep ini, sikap konservatif masyarakat tradisional menjunjung tinggi persaudaraan dalam masyarakat desa ini karena mengutamakan kepentingan kolektif. Masyarakat jenis tradisional ini tapi juga cenderung homogen, maka tidak heran pasti masyarakat pedesaan menganut sistem kepercayaan yang sama. Maka sepertinya cukup wajar, masyarakat di Cilegon masih saja menolak pembangunan fasilitas gereja untuk umat Kristen minoritas disana.
Cilegon merupakan kota yang terletak di ujung pulau Jawa. Kota yang diakui sebagai kota di Indonesia ini pun seharusnya mematuhi Sila pertama di Pancasila, untuk menjunjung tinggi toleransi, apalagi antar agama. Tapi sepertinya hal ini sedikit susah dilakukan, sebab kota ini menjadi tempat tinggal bagi kurang lebih 470.000 jiwa, yang 97% dari ribuan jiwa tersebut menganut agama Muslim dan hanya 2% populasi tersebut menganut agama Kristiani, mencakupi 1.5% Protestan dan 0.5% Katolik.Â
Cilegon yang merupakan kota mayoritas Muslim ini pun hampir tidak ada tempat ibadah untuk agama lain di kota tersebut. Terdapat satu saja tempat berdoa Kristen di Cilegon, dan gereja tersebut pun Oikumene, berarti menjadi tempat doa semua orang Kristen di Cilegon. Seorang Kristen di Cilegon pun antara beribadah di Rumah Doa Cilegon atau bepergian ke Serang yang cukup jauh, untuk beribadah di Gereja yang berdenominasi HKBP, denominasi Protestan Batak.
Sikap masyarakat Cilegon ini bagaikan seorang yang rabun dekat. Orang ini melihat kucing tetangga ekornya diinjak oleh orang yang sedang berjalan. Orang yang rabun ini segera kesana dan menegur orang berjalan tersebut, mengatakannya tidak moral dan tidak menghargai batasan nyaman kucing tersebut. Orang rabun ini tidak menyadari Ia juga menginjak ekor kucing nya sendiri saat Ia berjalan menegur orang tersebut.
Sungguh orang Cilegon memang bersimpati, melihat warga Palestina disana yang menjadi korban peperangan dan segera mulai membangun donasi bagi warga yang terkena dampak perang. Orang Israel dikatakan penjajah, mengambil daerah minoritas dan menghancurkan tempat tinggal dan tempat ibadah orang Muslim disana. Tapi mereka sendiri juga rabun dekat dengan situasi Cilegon sendiri. Menolak minoritas disana hak mereka untuk beribadah dan beragama, sesuai apa yang dijanjikan kepada mereka oleh Negara.
Sebagai negara yang seharusnya menjunjung tinggi kesatuan dalam perbedaan, bahkan mempunyai semboyan negara yang menekankan persatuan dalam perbedaan yaitu "Bhinneka Tunggal Ika", seharusnya kita juga menghargai perbedaan yang masyarakat di Indonesia ini miliki. Hal ini berarti mencakupi semua perbedaan yang ada dalam negara Indonesia, baik itu ras, adat, budaya, dan bahkan juga agama. Contohnya, orang Jawa seharusnya menghargai orang Cina sebagai tetangganya, orang Batak seharusnya mentoleransi orang Papua yang mendatangi tempatnya dan orang Muslim di Indonesia seharusnya menghargai hak beragama orang Kristen, meskipun mereka merupakan minoritas di Cilegon.Â
Di negara lain, boleh-boleh saja masyarakatnya menolak pembangunan tempat ibadah, karena "kita negara yang beragama X". Negara yang populasinya monoetnis cenderung akan menekankan pentingnya menjaga status monoetnis negara tersebut tetapi ini negara Indonesia, yang mengandung banyak orang-orang yang berbeda latar dan memprioritaskan persatuan diantaranya, meskipun terdapat mayoritas yang cukup menonjol di antara masyarakat Indonesia, dalam aspek penganut agama.
Bapak-bapak bangsa Indonesia, meskipun sejarah mencatatnya sebagai orang-orang yang tentu memiliki berbagai kekurangan, telah membuat ide yang ternyata sangat baik dan sangat unik pada saat mereka membuatnya. Pancasila merupakan simbol dan dasar negara yang sangat baik, di tahun-tahun berakhirnya perang dunia dan era kolonialisme, Pancasila bertujuan menyatukan Nusantara menjadi negara kesatuan. Hal ini dibantu prosesnya dengan sila-sila yang menekankan keadilan, kemakmuran dan toleransi antar agama, ras, dan budaya.Â
Tidak ada negara lain yang mengadopsi simbol negara dan semboyan seperti Pancasila, yang menempatkan toleransi antara perbedaan di pilar yang sangat tinggi. Andaikan saja kita sebagai rakyatnya ikut mematuhi semboyan negara dan dasar negara kita, tapi kenyataanya sepanjang sejarah dan hingga saat ini, perbedaan masih menyebabkan konflik dan pertentangan di antara masyarakat Indonesia.
Mengetahui negara Indonesia yang memprioritaskan kesatuan di antara perbedaan dan toleransi antar kepercayaan. Masyarakat Indonesia seharusnya tahu untuk menghargai hak-hak masyarakat berbeda dan tidak secara aktif menghambat masyarakat tersebut untuk melakukan apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Cilegon sangat baik dalam melakukan toleransi antar umat beragama sebenarnya, tidak ada aksi kekerasan atau oposisi yang sangat kuat untuk melarang agama Kristen di Cilegon. Tetapi mereka masih menghambat hak umat Kristen untuk membangun tempat peribadatan mereka sebagai tempat berdoa masyarakat tersebut. Seharusnya umat Islam di Cilegon memperbolehkannya karena meskipun memang orang Muslim Cilegon, mereka juga orang Indonesia, sama seperti oran
g Protestan Cilegon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H