Mohon tunggu...
Vincent Gaspersz
Vincent Gaspersz Mohon Tunggu... -

Vincent Gaspersz, adalah Profesor bidang teknik sistem dan manajemen industri. Menulis disertasi doktor di ITB tentang Keterkaitan Struktur Industri dengan Produktivitas di Indonesia, 1991 (Studi Pembangunan Ekonomi dan Sistem Industri Periode 1967-1988).

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Implementasi Pasal 33 UUD 1945: Pembelajaran dari Korea Selatan

20 Juni 2014   10:48 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:01 1390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

IMPLEMENTASI PASAL 33 UUD 1945: PEMBELAJARAN DARI KOREA SELATAN

Oleh: VINCENT GASPERSZ

Mengapa Indonesia harus diperbandingkan dengan Korea Selatan, yang tingkat kemajuannya telah jauh melampaui Indonesia? Karena kedua negara ini memulai pembangunan secara bersama sekitar tahun 1960-an. Kedua negara ini adalah negara yang jumlah penduduknya miskin ketika memulai pembangunan ekonomi dan industri (perbedaan pada Indonesia kaya akan sumber daya alam vs. Korea Selatan miskin akan sumber daya alam). Namunkedua negara ini berbeda seperti bumi dengan langit pada tahun 2014 ini.

Korea Selatan pada tahun 1960 merupakan negara miskin (pendapatan per kapita USD 79) dengan tanpa sumber daya alam yang memadai, namun melalui penerapan strategi industrialisasi berorientasi ekspor yang ditunjang oleh fokus pembangunan pada sumber daya manusia sehingga mampu meningkatkan produktivitas sumber daya manusia nasional Korea Selatan secara dramatic telah membawa Korea Selatan pada tahun 2012 telah berpendapatan per kapita USD 22.590 (naik sekitar 286 kali dalam 52 tahun). Sedangkan Indonesiayang memiliki sumber daya alam berlimpah pada tahun 2012 hanya berpendapatan per kapita USD 3.557 (Bank Dunia, 2014). Jika ditambah perbandingan dengan Malaysia, Indonesia juga tertinggal jauh.

Pada tahun 1960-an, Indonesia, Malaysia, dan Korea Selatan memulai pembangunan dengan status sama-sama menjadi negara miskin. Perbedaan pada Indonesia kaya sumber daya alam, Malaysia cukup sumber daya alam, dan Korea Selatan miskin sumber daya alam. Namun dalam pembangunan karena factor pertumbuhan produktivitas sumber daya manusia yang luar biasa telah membawa Korea Selatan menjadi negara berpendapatan tinggi, Malaysia menjadi Negara berpendapatan menengah atas, dan Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah bawah. Sebentar lagi (mungkin 1-2 tahun) Malaysia akan menjadi negara berpendapatan tinggi mengikuti Korea Selatan, sedangkan Indonesia terperangkap sebagai negara berpendapatan menengah (middle income trap). Temuan ini menunjukkan bahwa faktor yang membawa kesejahteraan masyarakat suatu negara tergantung pada peningkatan produktivitas sumber daya manusia, BUKAN kepemilikan sumber daya alam.

Bank Dunia mengklasifikasikan negara-negara di dunia sebagai berikut:


  • Negara berpendapatan rendah memiliki pendapatan per kapita US$975 atau kurang;
  • Negara berpendapatan menengah bawah memiliki pendapatan per kapita dari US$976 sampai US$3.855.
  • Negara berpendapatan menengah atas memiliki pendapatan per kapita dari US$3.856 sampai US$11.905.
  • Negara berpendapatan tinggi memiliki pendapatan per kapita lebih dari US$11.906.

Grafik pertumbuhan produktivitas nasional yang diukur berdasarkan GDP perkapita antara Korea Selatan, Malaysia, dan Indonesia ditunjukkan dalam Gambar 1.



Gambar 1. Pertumbuhan Produktivitas Nasional Korea Selatan, Malaysia, dan Indonesia Periode 1967-2012

Indonesia yang memiliki sumber daya alam berlimpah pada tahun 2012 hanya menghasilkan Produksi Nasional (Produk Nasional Bruto = GNP/Gross National Product) sebesar USD 844 Milyar, sedangkan Korea Selatan yang miskin sumber daya alam mampu menghasilkan Produksi Nasional (Produk Nasional Bruto = GNP) USD 1,133 Milyar (USD 1,13 Trilyun) atau sekitar 1,34 kali dari GNP Indonesia.

Jika menggunakan data BPS Indonesia bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia per Maret2013 adalah 11,37%, maka kita perlu berhati-hati menginterpretasikan angka ini, mengingat indikator batas garis kemiskinan yang rendah. Jika kita ingin konsisten, maka kita harus menggunakan angka Bank Dunia publikasi tahun 2014, yaitu: pendapatan per kapita Indonesia (2012) = USD 3.420. Persentase penduduk miskin yang berpenghasilan <= USD 2,5/hari = 60,4% (sekitar 149 juta penduduk masih miskin). Jika digunakan angka Bank Dunia dengan menaikkan garis kemiskinan sampai USD 10/hari maka masih ada 98,4% penduduk miskin (sekitar 243 juta penduduk miskin) di Indonesia.

Lalu bagaimana dengan Korea Selatan? Pendapatan per kapita Korea Selatan (2012) = USD 22.670. Persentase penduduk miskin yang berpenghasilan <= USD 2,5/hari = 0%, demikian pula persentase penduduk miskin berpendapatan USD10/hari adalah nol persen.

Melihat lebih jauh tentang pembangunan kesehatan di Korea Selatan, berdasarkan data Bank Dunia (2014), tingkat kematian bayi (di bawah lima tahun) di Korea Selatan adalah 5/1000 kelahiran, sedangkan di Indonesia adalah 32/1000 kelahiran. Angka kematian ibu melahirkan, di Korea Selatan: 16/100.000, sedangkan di Indonesia 220/100.000. Umur harapan hidup di Korea Selatan 81 tahun, sedangkan di Indonesia 71 tahun.

Bagaimana dengan pembangunan pendidikan di Korea Selatan vs. Indonesia? Data Bank Dunia (2014) menunjukkan persentase penduduk yang memperoleh pendidikan tinggi di Korea Selatan 17,9% sedangkan Indonesia hanya 1,17%.Persentase penduduk berpendidikan menengah di Korea Selatan 36,8% sedangkan di Indonesia hanya 11,1%.

Tentang tingkat tabungan penduduk di Korea Selatan vs. Indonesia adalah: persentase jumlah penduduk yang menabung di Korea Selatan adalah 46,9%; sedangkan di Indonesia hanya 15,3%.

Lebih jauh jika dikaji angka indeks Worldwide Governance Indicators Average (WGIA) di Korea Selatan sebesar +0,76 (positif) sedangkan di Indonesia -0,46 (minus).Bank Dunia menyusun WGIA berdasarkan enam indikator kunci yang menghasilkan angka indeks dari minus 2,5 (terburuk) sampai positif 2,5 (terbaik). Keenam indikator kunci itu adalah: (1) Demokrasi dan Akuntabilitas, (2) Kestabilan Politik dan Ketiadaan Kekerasan, (3) Efektivitas Pemerintahan, (4) Kualitas Peraturan, (5) Penegakan Hukum, dan (6) Pengendalian Korupsi.

Berdasarkan data Bank Dunia (2014) diketahui bahwa indeks WGIA dari Indonesia sebesar -0,46 (minus 0,46) adalah hampir sama dengan Negara-negara Filipina (-0,49), Mali (-0,49), Boznia & Herzegovina (-0,43), dan Tanzania (-0.36).

Negara-negara yang memiliki WGIA Index terburuk adalah: Somalia (-2,30), Afghanistan (-1,75), Sudan (-1,60), Zimbabwe (-1,47), dan Irak (-1,34).Sedangkan Negara-negara yang memiliki WGIA Index terbaik adalah: Denmark (+1,86), Finlandia (+1,85), New Zealand (+1,83), Sweden (+1,80), Switzerland (+1,71), Belanda (+1,71),Norwegia (+1,70), Australia (+1,63), Canada (+1,62), Singapore (+1,47), dan Jerman (+1,42).

Koperasi Pertanian (NACF) di Korea Selatan

Korea Selatan memulai pembangunan melaluimelakukan Land Reform secara besar-besaran, kemudian mendirikan koperasi pertanian (National Agricultural Cooperative Federation) pada 15 Agustus 1961. Jika kita mendengar kata koperasi di Korea Selatan, jangan membayangkan seperti koperasi di Indonesia yang juga selalu menghadapi masalah mis-management dan ketidakpercayaan dari masyarakat terhadap koperasi, karena koperasi masih diperlakukan sebagai usaha kecil menengah (UKM).

Jumlah koperasi di Korea Selatan pada Februari 2012 adalah 1.167 cabang utama beserta 3.306 unit koperasi. Jumlah Koperasi Regional (968 buah); Koperasi Komoditas Pertanian untuk buah-buahan (25 buah), sayur-sayuran (17 buah), hortikultura (3 buah); Koperasi Peternakan Regional (118 buah); Koperasi Susu (13 buah), Koperasi Babi (7 buah), Koperasi Unggas (2 buah), Koperasi Pemeliharaan Lebah (1 buah), Koperasi Kelinci dan Rusa (1 buah); dan Koperasi Komoditas Ginseng (12 buah).

Koperasi Pertanian (NACF) Korea Selatan memiliki lini bisnis: perbankan dan asuransi, pemasok dan pemasaran pertanian, pemasok dan pemasaran peternakan, jasa-jasa pelayanan, yang memiliki anggota pada tahun 2011 sebanyak 2,446,836 orang petani dan associate members sebanyak 15,262,611 orang.

Selanjutnya koperasi-koperasi di Korea Selatan jangan dibayangkan seperti Usaha Kecil Menengah (UKM) di Indonesia, karena omzet penjualan dari koperasi-koperasi itu melebihi konglomerat-konglomerat di Indonesia. Sebagai perbandingan pada tahun 2010 (sumber: Global300 Report) omzet dari NACF adalah USD 32.39 Milyar atau setara dengan +/- Rp. 382 Trilyun berada nomor 3 di dunia. NACF hanya kalah dari dua koperasi Jepang yaitu: Nomor 1 dunia Zen-Noh (National Federation of Agricultural Cooperative) dengan omzet 2010 sebesar USD 56.99 Milyar (+/-Rp. 672 Trilyun) dan Nomor 2 dunia: Zenkyoren dengan omzet 2010 sebesar USD 52.33 Milyar (+/-Rp. 617 Trilyun).

Bandingkan dengan omzet penjualan dari perusahaan konglomerat di Indonesia pada tahun 2010, yaitu: Astra International (Rp 130 Trilyun),Telkom (Rp 68 Trilyun), Bank Rakyat Indonesia (Rp 50 Trilyun), HM Sampoerna (Rp 43,5 Trilyun), Bank Mandiri(Rp 43 Trilyun), Bumi Resources (Rp 39 Trilyun), Indofood Sukses Makmur (Rp 38 Trilyun), Gudang Garam (Rp 37,5 Trilyun), United Tractors (Rp 37 Trilyun), dan Bank Central Asia (Rp 28 Trilyun).

Penjualan Samsung & LG Electronics pada 2010 adalah berturut-turut sekitar USD 134 Milyar (+/-Rp.1.581 Trilyun) dan USD 55 Milyar (+/-Rp. 649 Trilyun). Jika kita melihat cadangan devisa Indonesia per Februari 2014 yang hanya sekitar USD 103 Milyar (+/- Rp. 1.215 Trilyun) dan total ekspor migas dan non-migas Indonesia pada tahun 2010 yang hanya sekitar USD 158 Milyar (+/- Rp. 1.864 Trilyun), maka tampak bahwa total eksporIndonesia pada tahun 2010 lebih rendah daripada penjualan dua perusahaan raksasa Korea Selatan (Samsung & LG).

Daftar 20 koperasi top di dunia tahun 2010 versi Global300 Report (2012) ditunjukkan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Daftar 20 Koperasi Terbesar di Dunia, 2010 (Sumber: Global300 Report, 2012)

14032107561935169628
14032107561935169628


Perhatian pemerintah pada koperasi-koperasi di Korea Selatan sangat besar, karena koperasi-koperasi itu yang memberikan kontribusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan masyarakat Korea Selatan. Hubungan antara Presiden, Menteri Pertanian dan Perikanan, serta Koperasi Pertanian di Korea Selatan sangat jelas dan terstruktur mulai dari pusat perkotaan sampai ke desa-desa. Pemerintah Korea Selatan TIDAK MENGATUR koperasi-koperasi di Korea Selatan, manajemen dilakukan secara profesional dan digerakkan sebagai unit bisnis mandiri seperti ditunjukkan dalam Gambar 2. Jika sistem pemasaran pertanian di Indonesia masih mempertahankan sistem tradisional dengan rantai pemasaran yang panjang, yaitu: Petani (Produsen) – Pedagang Pengumpul (Tengkulak) – Pengirim (Tengkulak) – Pedagang Besar – Pedagang Eceran – Konsumen; maka di Korea Selatan melalui koperasi-koperasi pertanian telah memperpendek rantai pemasaran yaitu: Petani (Koperasi Petani Produsen) – Agriculture Proccesing Centers (Koperasi-koperasi pertanian) – Agriculture Marketing Complexes (Supermarket yang dimiliki Koperasi Pertanian) – Konsumen.

1403210818699494515
1403210818699494515

Gambar 2. Struktur Hubungan antara Presiden, Menteri Pertanian dan Perikanan, serta Koperasi Pertanian di Korea Selatan

Gerakan Masyarakat Baru Korea Selatan

Gerakan Masyarakat Baru (GMB) di Korea Selatan disebut Saemaul. Saemaul yang terdiri dari “Sae” dan “Maul” adalah kombinasi dari dua kata korea yang berarti: Sae (Baru atau Pembaruan) dan Maul (Komunitas), yang berarti Komunitas/Masyarakat Baru atau Pembaruan Komunitas/Masyarakat.Gerakan Masyarakat Baru di Korea Selatan diperkenalkan pada 22 April 1970 oleh Presiden Korea Selatan Park Chung Hee, dan masih berjalan sampai sekarang 2014. Pertama kali Gerakan Masyarakat Baru (GMB) di Korea Selatan ini dimaksudkan untuk memodernisasikan ekonomi pedesaan Korea Selatan berbasiskan pengaturan mandiri (self-governance) melalui koperasi-koperasi pedesaan (semacam Koperasi Unit Desa-KUD di Indonesia, kecuali manajemen yang berbeda sama sekali). Jika koperasi-koperasi di Indonesia dikelola secara parsial, maka koperasi-koperasi di Korea Selatan dikelola secara bisnis terintegrasi (integrated business) dalam kerangka sistem industri Agricultural Lean Supply Chain Management yang sangat efisien, produktif, dan berkualitas, sejak dari industri hulu-on farm-sampai industri hilir. Aktivitas seperti pembibitan, produksi pertanian, agro industry, sampai pemasaran hasil-hasil pertanian dilakukan sepenuhnya oleh Koperasi Pertanian (National Agricultural Cooperative Federation) secara bisnis terintegrasi.

GMB berusaha untuk memperbaiki kesenjangan standar hidup antara daerah perkotaan, yang cepat berkembang karena penerapan strategi industrialisasi berorientasi ekspor, dan desa-desa kecil, yang terus terperosok dalam kemiskinan. Kolaborasi melalui koperasi-koperasi pedesaan terus-menerus mendorong anggota masyarakat terutama di daerah pedesaan (termasuk di perkotaan) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan ekonomi dan industri Korea Selatan. Tahap awal dari GMB difokuskan pada peningkatan kondisi kehidupan dasar dan lingkungan melalui berbagai proyek-proyek yang berkonsentrasi pada pembangunan infrastruktur pedesaan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan itu.

GMB telah diadopsi oleh PBB sebagai salah satu model pembangunan pedesaan yang paling EFISIEN di dunia. Komisi Ekonomi untuk Afrika (Economic Commision for Africa = ECA) telah memutuskan untuk memilih GMB sebagai model dasar untuk Program Modernisasi Pertanian Berkelanjutan dan Transformasi Pedesaan (SMART = Sustainable Modernization of Agriculture and Rural Transformation) pada tahun 2008. Selain itu, GMB ini telah diekspor ke lebih dari 70 negara untuk berbagi pengalaman pembangunan pedesaan di seluruh dunia. Indonesia BELUM mau mengimpor GMB ini, karena meyakini bahwa Pasal 33 UUD 1945 adalah asli milik bangsa Indonesia, dan sedang berwacana terus melalui berbagai forum seminar, pelatihan, pertemuan, symposium, dll untuk menerapkannya, alias masih NATO (No Action Talk Only) BUKAN AFTA (Action First Talk After)!

GMB dibangun berdasarkan 5 (lima) tahap. Jika ingin mengetahui bagaimana mekanisme kerja GMB, silakan kontak penulis; karena ia memiliki keahlian yang berkaitan dengan manajemen dan sistem industri.

Kombinasi antara strategi industrialisasi berorientasi ekspor dan GMB yang merupakan implementasi Pasal 33 UUD 1945 akan membawa bangsa dan Negara Indonesia menuju “langit” kesejahteraan, TIDAK HANYA menetap di bumi. Sasaran tinggal landas Indonesia oleh mantan Presiden Soeharto adalah REPELITA VI, TETAPI pesawatnya meledak pada tahun 1998, dan sejak itu Indonesia kehilangan arah mau bagaimana dan ke arah mana pembangunan Indonesia masa depan. Jika implementasi pasal 33 UUD 1945 model Korea Selatan di atas diterapkan di Indonesia, apalagi ditambah KOMITMEN pemerintah untuk menerapkan Good Government Governance mengikuti standar Internasional ISO 9001 yang telah didesain oleh penulis (lihat Gambar 3), maka penulis yakin bahwa Indonesia akan mampu mengejar ketertinggalannya dari Korea Selatan dan Malaysia.

1403210868297592758
1403210868297592758


Gambar 3. Manajemen Pemerintahan Berstandar Internasional ISO 9001

KESIMPULAN

Strategi peningkatan dan pemerataan pendapatan masyarakat Korea Selatan dilakukan melalui koperasi-koperasi yang mengelola bisnis mereka dalam suatu manajemen ke-SISTEM-an industri yang kuat, kapabel, handal, produktif dan berkualitas. Agricultural Lean Supply Chain Management di Korea Selatan yang dilakukan melalui koperasi-koperasi pertanian mulai dari pedesaan sampai perkotaan telah mensejahterakan petani-petani dan tenaga kerja yang terlibat dalam sektor-sektor industri hulu sampai hilir.

Sesungguhnya sistem perkoperasian serta model pembangunan di Korea Selatan ini yang sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, sehingga meskipun Korea Selatan tidak memiliki UUD 1945 tetapi mereka jauh lebih maju dari kita di Indonesia yang hanya berwacana terus-menerus tentang Pasal 33 UUD 1945. Pembuat kebijakan pembangunan ekonomi dan industry serta pembangunan sumber daya manusia di Indonesia HARUS belajar kepada Korea Selatan, sebuah Negara yang sangat miskin pada tahun 1960-1970 TELAH bertransformasi menjadi Negara maju berproduktivitas dan berpendapatan tinggi di Asia. Apakah “Indonesia Macan Asia” yang selalu didengungkan itu HANYA slogan belaka atau macan ompong saja?

VINCENT GASPERSZ, adalah Profesor bidang teknik sistem dan manajemen industri. Lulus sebagai Doktor Teknik Sistem dan Manajemen Industri dari ITB, 1991 dengan IP = 4,0 (sempurna). Menulis disertasi doktor di ITB tentang Keterkaitan Struktur Industri dengan Produktivitas di Indonesia, 1991 (Studi Pembangunan Ekonomi dan Sistem Industri Periode 1967-1988).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun