APLIKASI AGRICULTURAL LEAN SIX SIGMA SUPPLY CHAIN MANAGEMENT DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA:
PEMBELAJARAN DARI KOREA SELATAN
Oleh: Vincent Gaspersz
Menurut APICS Dictionary (2013) Supply Chain adalah jaringan kerja (network) global yang digunakan untuk menyerahkanproduk (barang dan/atau jasa) mulai dari bahan baku sampai ke pelanggan akhir melalui suatu aliran informasi, distribusi fisik, dan kas/uang (cashflow).
Supply Chain Management adalah desain, perencanaan, eksekusi, pengendalian, dan pemantauan (monitoring) aktivitas-aktivitas rantai pasokan (supply chain) yang bertujuan menciptakan nilai bersih (net value), membangun infrastruktur yang kompetitif, mengefektifkan worldwide logistics, mensinkronkan penawaran (supply) dengan permintaan (demand), dan mengukur kinerja secara global.
Lean, Six Sigma, Supply Chain Management telah umum dikenal dalam bidang teknik sistem dan manajemen industri, di mana metodolgi pendekatan sistem ini dapat dipergunakan oleh mereka yang berkecimpung dalam bidang teknik sistem dan manajemen industri modern, untuk: (1) mencari suatu model pendekatan yang cocok dalam membangun sistem yang kapabel, handal, produktif, dan berkualitas, (2) mengukur kinerja manajemen sepanjang rantai pasokan (supply chain),dan (3) sebagai metodologi statistika lanjutan (advanced statistical methodology) untuk menurunkan variasi dan meningkatkan kapabilitas sistem sepanjang rantai pasokan (supply chain). Metodologi statistika lanjutan ini dapat dipergunakan secara bersama dengan alat-alat dalam riset operasional (operations research tools) seperti: Linear Programming, Transportation Model, Decision Tree Analysis, dll untuk mengoptimumkan sistem rantai pasokan (supply chain system) melalui pengendalian sekumpulan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja sistem rantai pasokan itu.Para insinyurdalam bidang teknik sistem industri dan manajemen modern (modern industrial and management systems engineering) selalu berfokus padapeningkatan produktivitas dan kualitas dari sistem industri. Mereka melihat "gambaran besar" dari apa yang dapat membuat masyarakat industri melakukanhal-hal terbaik dalam keberlanjutan industri, melalui menggunakan kombinasi yang tepat dari sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya modal, beserta struktur dan peralatan yang tersedia. Profesional di bidang ini menjembatani kesenjangan antara bidang manajemen dan bidang operasional, memotivasi orang dalam bekerja, termasuk menentukankualifikasi material dan peralatan, perangkat komputer, dll, yang harus digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas dari sistem.
Metodologi Six Sigma menjadi semakin populer dan mendunia setelah organisasi standardisasi internasional (International Organization for Standardization) mengadopsi metode ini ke dalam ISO 13053-1 pada tahun 2010. ISO 13053-1 disiapkan oleh Komite Teknik ISO/TC 69, yaitu Komite Penerapan Metode Statistika, Sub Komite SC 7, yaitu Sub Komite Penerapan Teknik Statistika terkait untuk implementasi Six Sigma. ISO 13053 terdiri dari dua bagian, di bawah Judul: Metode Kuantitatif dalam Peningkatan Proses – Six Sigma: Bagian 1—Metodologi DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, Control), dan Bagian 2—Alat-alat dan Teknik-teknik.
Lean Six Sigma Supply Chain Management adalah pendekatan sistematik untuk mengidentifikasi dan menghilangkan waste atau pemborosan (aktivitas-aktivitas tidak bernilai tambah) serta variasi-variasi sepanjang proses-proses supply chain (SIPOC),melalui peningkatan terus-menerus (continuous improvement), yang mengalirkan produk melalui menarik (pull) produk dari pelanggan akhir, untuk mengejar keunggulan dalam semua proses supply chain. Catatan: SIPOC = Supplier, Input, Process, Output, Customer.
Perkembangan pesat manajemen sistem dalam dunia industri, seperti Lean Six Sigma, telah membawa konsekuensi berkembang Lean Six Sigma Supply Chain Management seperti ditunjukkan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Tahap Perkembangan Lean Six Sigma Supply Chain Management
(Sumber: Futerer, 2009)
Misi utama Lean Supply Chain Management adalah mewujudkan penyerahan: produk (product) yang tepat, dalam kuantitas (quantity) yang tepat, dalam kualitas (quality) yang tepat, dalam pelayanan (service) yang tepat, dalam harga (price) yang tepat, dari sumber (source) yang tepat,pada tempat (place) yang tepat,dan pada waktu (time) yang tepat, agar memaksimumkan nilai yang diberikan kepada pelanggan (customer value). Misi ini sering disebut sebagai 8R, yaitu: Right Materials, Right Quantity, Right Time, Right Place, Right Source, Right Service, Right Price, and Right Quality.
Lean Six Sigma yang diterapkan dalam Agricultural Supply Chain Management disebut sebagai: Agricultural Lean Six Sigma Supply Chain Management. Salah satu studi penerapan Metodologi Six Sigma dalam Sistem Peternakan Sapi Perah telah diterapkan oleh Tylutki and Fox (2002), yang menjelaskan bahwa pada dasarnya peternakan sapi perah terdiri dari lima sistem manajemen terintegrasi, yaitu: (1) penanaman (cropping), (2) pemberian makanan (feeding), (3) penggantian (replacement), (4) pemerahan susu (milking), dan (5) pemupukan/nutrisi (manure/nutrient management system), seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.
Gambar 2. Lima Sistem Manajemen Terintegrasi dalam Peternakan Sapi Perah
(Sumber: Tylutky and Fox, 2002)
Banyak perusahaan kelas dunia telah menerapkan Lean Six Sigma Supply Chain Management terutama di Korea Selatan yang akan dijadikan sebagai bahan pembelajaran dalam tulisan ini.
Model Agricultural Lean Six Sigma Supply Chain Management di Korea Selatan
Lee, et al. (2013) telah melakukan studi implementasi Lean Six Sigma pada perusahaan-perusahaan Korea Selatan, dan memperoleh hasil sebagai berikut:
(1)80% dari organisasi di Korea Selatan yang disurvei telah menerapkan Lean Six Sigma dalam proses produksi, 60% dalam operasional secara keseluruhan, dan 40% telah menerapkan dalam level rantai pasokan (supply chain).
(2)83% dari organisasi di Korea Selatan yang disurvei menyatakan bahwa implementasi Lean Six Sigma bertujuan untuk meningkatkan keuntungan dan mengurangi biaya-biaya yang tidak perlu (waste). Sekitar 67% memperkenalkan Lean Six Sigma untuk meningkatkan kinerja operasional. Perusahaan-perusahaan yang menerapkan Lean Six Sigma untuk tujuan kompetisi global (33,3%), menjadi organisasi kelas dunia (16,7%), menciptakan image yang lebih baik untuk produk dan jasa (16,7%), dan meningkatkan kepuasan pelanggan (16,7%).
(3)Lima alasan utama dari perusahaan-perusahaan Korea Selatan tidak menerapkan Lean Six Sigma adalah: kekurangan pengetahuan untuk memulai (48,7%), kekurangan sumber daya manusia (30,8%), telah menerapkan metodologi peningkatan kinerja yang lain (28,2%), implikasi biaya (25,6%), dan kekurangan dukungan dari manajemen puncak (17,9%).
Manfaat dari penerapan Lean Six Sigma Supply Chain Management yang dilaporkan oleh berbagai perusahaan (Gaspersz, 2013), adalah: reduksi biaya total sekitar 20% - 50%; reduksi waktu tunggu sekitar 50% - 90%; reduksi cost of poor quality (COPQ) sekitar 60% atau lebih; reduksi inventori sekitar 50% atau lebih; reduksi penggunaan lantai pabrik dan gudang sekitar 30% - 70%; reduksi overall cycle time sekitar 60% atau lebih.
Pada dasarnya terdapat empat tahap evolusi supply chain management, sehingga setiap perusahaan dapat bergerak sepanjang tahap 1 sampai tahap 4, tergantung pada kesiapan sumber-sumber daya, kematangan organisasi, dan kepemimpinan manajemen. Empat tahap evolusi Supply Chain Management itu adalah:
•Tahap 1—Multiple dysfunction: fungsi-fungsi dalamperusahaan masih berfokus internal, sekedar melakukan transaksi, tanpa sasaran yang jelas, tidak memiliki keterkaitan dengan fungsi-fungsi lain dalam organisasi.
•Tahap 2—Semifunctional enterprise: manajemen perusahaan mulai memiliki inisiatif untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan kualitas dalam area fungsional.
•Tahap 3—Integrated enterprise: manajemen perusahaan mulai memecahkan dinding-dinding silo (silo walls) dan membawa area fungsional untuk bekerja sama dalam proses seperti: sales and operations planning (S&OP) yang berfokus pada pencapaian kinerja organisasi secara keseluruhan, bukan hanya kinerja fungsional individual.
•Tahap 4—Extended enterprise: manajemen perusahaan mengintegrasikan jaringan internal dengan jaringan eksternal mitra supply chain terpilih untuk meningkatkan efisiensi, kualitas produk (barang dan/atau jasa), dll.
Korea Selatan mampu menerapkan Integrated Supply Chain karena peranan dari Koperasi Pertanian (NACF = National Agricultural Cooperative Federation) yang didirikan pada 15 Agustus 1961, untuk mendukung pembangunan ekonomi dan industri di Korea Selatan.
Korea Selatan memulai pembangunan melaluimelakukan “Land Reform” secara besar-besaran, kemudian mendirikan koperasi pertanian pada tahun 1961. Koperasi Pertanian (NACF) Korea Selatan memiliki lini bisnis: perbankan dan asuransi, pemasok dan pemasaran pertanian, pemasok dan pemasaran peternakan, jasa-jasa pelayanan, yang memiliki anggota pada tahun 2011 sebanyak 2,446,836 orang petani dan associate members sebanyak 15,262,611 orang.Pada Februari 2012, Koperasi Pertanian (NACF) Korea Selatan memiliki 1.167 cabang utama, serta 3.306 unit koperasi anggota.
Perhatian pemerintah pada koperasi-koperasi di Korea Selatan sangat besar, karena koperasi-koperasi itu yang memberikan kontribusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan masyarakat Korea Selatan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa strategi peningkatan dan pemerataan pendapatan masyarakat Korea Selatan dilakukan melalui koperasi-koperasi yang mengelola bisnis mereka dalam suatu manajemen ke-SISTEM-an-industri: Lean Six Sigma Supply Chain Management.Jika sistem pemasaran pertanian di Indonesia masih mempertahankan sistem tradisional secara terpisah (parsial) dengan rantai pemasaran yang panjang, yaitu: Petani (Produsen) – Pedagang Pengumpul (Tengkulak) – Pengirim (Tengkulak) – Pedagang Besar – Pedagang Eceran – Konsumen; maka di Korea Selatan melalui koperasi-koperasi telah memperpendek rantai pemasaran untuk membentuk bisnis secara terintegrasi dalam sistem mengikuti Lean Six Sigma Supply Chain Management, yaitu: Petani (Koperasi Petani Produsen) – Agriculture Proccesing Centers (Koperasi-koperasi pertanian) – Agriculture Marketing Complexes (Supermarket yang dimiliki Koperasi Pertanian) – Konsumen. Agricultural Lean Six Sigma Supply Chain Management di Korea Selatan yang dilakukan melalui Koperasi-koperasi pertanian mulai dari pedesaan sampai perkotaan telah mensejahterakan petani-petani dan tenaga kerja yang terlibat dalam sektor-sektor industri hulu sampai hilir. Sesungguhnya sistem perkoperasian di Korea Selatan ini yang sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945.
Koperasi Pertanian (NACF) di Korea Selatan sangat mempedulikan lingkungan, di mana NACF membantu mengembangkan pertanian yang ramah lingkungan berbasiskan Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001 dengan mendukung kelompok-kelompok pertanian koperasi dalam memproduksi hasil pertanian yang ramah lingkungan, dengan mengembangkan teknologi pertanian dan dengan memberikan pelayanan pendidikan atau pelatihan kepada petani dan konsumen.NACF juga mendukung pertanian yang ramah lingkungan dengan memberikan bimbingan manajemen berbasis komputer kepada kelompok-kelompok pertanian koperasi. Bekerjasama dengan pelaksana pembangunan pedesaan seperti kepala wilayah (mulai dari desa sampai kota), NACF melaksanakan proyek perintis untuk sistem produksi ternak organik dan sarana pertanian yang ramah lingkungan. NACF juga menawarkan pendidikan manajemen teknologi dan informasi yang berkaitan dengan pertanian untuk membantu para petani dalam menjaga keamanan dan penerapan bahan-bahan kimia dan pupuk.
NACF telah menetapkan tanggal 10 November sebagai “Hari Tanah” dan telah melaksanakan kampanye nasional untuk revitalisasi tanah. Sebagai bagian dari kampanye tersebut, NACF melakukan pengujian mengenai kondisi tanah di seluruh negeri dan menyelenggarakan berbagai seminar mengenai masalah kondisi tanah tersebut. NACF bersama koperasi-koperasi anggotanya selalu memantau pembuangan limbah industri dan penyaluran air kotor yang melanggar hukum.
Apabila digambarkan secara skematis, maka keterlibatan koperasi pertanian (NACF) di Korea Selatan dalam Agricultural Lean Six Sigma Supply Chain Management akan tampak seperti dalam Gambar 3, sedangkan model aplikasi dalam bidang peternakan (penggemukan) sapi potong ditunjukkan dalam Gambar 4. Berbagai fasilitas dari Koperasi Pertanian (NACF) di Korea Selatan pada tahun 2011 ditunjukkan dalam Tabel 1.
Gambar 3. Model Peranan Koperasi Pertanian (NACF) dalam Agricultural (Lean Six Sigma) Supply Chain Management di Korea Selatan
Gambar 4. Model Peranan Koperasi Pertanian (NACF) dalam Agricultural (Lean Six Sigma) Supply Chain Management Bidang Peternakan (Penggemukan) Sapi Potong di Korea Selatan
Tabel 1. Kepemilikan Fasilitas dari Koperasi Pertanian (NACF) Korea Selatan, 2011
(Sumber: Koh Young-Kon, 2013)
Langkah-langkah Sistematik Implementasi Agricultural Lean Six Sigma Supply Chain Management
Langkah-langkah sistematik berikut dapat dijadikan panduan untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip Lean Six Sigma ke dalam Agricultural Supply Chain Management sehingga membentuk Agricultural Lean Six Sigma Supply Chain Management untuk menunjang pembangunan pertanian berkelanjutan di Indonesia.
•Memahami prinsip-prinsip Lean Six Sigmasebagai suatu perjalanan(journey) dalam proses pembangunan pertanian berkelanjutan bukan tujuan(destination), sehingga peningkatan kinerja terus-menerus menuju kapabilitas Six Sigma (zero defects = errors) dalam Agricultural Supply Chain dapat berlangsung dengan baik sepanjang proses Agricultural Supply Chain (SIPOC = Supplier-Input-Process-Output-Customer).
•Memperoleh komitmen dari manajemen puncak (Presiden pada Level Negara atau Presiden Direktur pada Level Korporasi), karena peningkatan terus-menerus menuju kapabilitas proses-proses Agricultural Supply Chain menuju Six Sigma (zero defects) membutuhkan komitmen dan dukungan terus-menerus.
•Membangun multi-discipline team untuk menangani program Agricultural Lean Six Sigma Supply Chainyang terintegrasi dengan proses-proses pembangunan pertanian berkelanjutan.Termasuk memahami dampak pada organisasi (di Korea Selatan pada level Koperasi Pertanian) dan kultur ketika mendesain dan menerapkan prinsip-prinsip Lean Six Sigma dalam Total Agricultural Supply Chain Processes. Analisis risiko juga perlu dilakukan sebelum mendesain dan menerapkan Agricultural Lean Six SigmaSupply Chain Management.
•Melakukan analisis terhadap Total Agricultural Supply Chain Processes secara keseluruhan, sepanjang rantai SIPOC (Supplier-Input-Process-Output-Customer), tidak hanya pada bagian-bagian tertentu saja atau secara parsial dalam pembangunan pertanian berkelanjutan.
•Memetakan proses-proses nilai tambah sepanjang Total Agricultural Supply Chain Processes, dan mengidentifikasi sumber-sumber variasi dan pemborosan (key variation and waste) sepanjang Total Agricultural Supply Chain Processes itu.
•Menghindari kanibalisasi proses, seperti hanya memfokuskan pada bagian-bagian tertentu saja, misalnya: hanya berfokus pada pembibitan, produksi, penanganan pasca panen, atau transportasi atau aspek lain secara parsial. Fokus perhatian dari Agricultural Lean Six Sigma Supply Chain seharusnya pada Total Agricultural Supply Chain Processes secara keseluruhan.
•Mempelajari dan memahami dampak dari hubungan sebab-akibat dalam Total Agricultural Supply Chain Processes itu. Sebagai misal, ongkos transportasi yang tinggi, dapat menjadi masalah atau hanya gejala saja. Demikian pula kekurangan inventori (stock) apakah merupakan masalah utama atau hanya gejala dari masalahdalam Total Agricultural Supply Chain Processes itu? Pendekatan problem solving yang mampu mengidentifikasi sampai pada akar penyebab dari masalah akan sangat membantu untuk menyelesaikan masalah dalam Total Agricultural Supply Chain Processesitu. Dengan kata lain kita harus menemukan akar penyebab, bukan sekedar gejala yang muncul ke permukaan sepanjang Total Agricultural Supply Chain Processes itu.
•Selalu menanyakan kepada pelanggan atau proses berikut tentang bagaimana baiknya Agricultural Supply Chain itu beroperasi, karena dalam Agricultural Lean Six Sigma Supply Chain memang diciptakan untuk berfokus pada pelanggan (mulai dari produsen tani sampai konsumen produk pertanian), karena sistem tarik (pull system) yang diterapkan tergantung atau dikendalikan oleh proses berikut.
•Bekerjasama dengan pemasok (suppliers) tidak hanya dalam proses transaksi tetapi dalam membangun sistem Agricultural Lean Six Sigma Supply Chain Management melaluimenerapkan prinsip-prinsip VMI (Vendor-managed inventory). Dalam konteks ini analisis atau evaluasi kinerja yang berkaitan dengan supplier performance akan menjadi titik kritis (critical point) dalam implementasi Agricultural Lean Six Sigma Supply Chain Management. Ukuran-ukuran kinerja kunci yang perludiperhatikan adalah berkaitan dengan total cycle time, costs and inventory (dalam nilai uang dan unit), dan inventory turn-over. Semua key performance indicators (KPIs) yang ditetapkan harus ditingkatkan terus-menerus mencapai target Six Sigma yang menghasilkan zero defects.
•Mengintegrasikan Agricultural Supply Chain yang telah bebas pemborosan (waste). Hal ini dapat dilakukan melalui pemetaaan Total Agricultural Supply Chain Processes, mengidentifikasi aktivitas-aktivitas yang tidak bernilai tambah, dampak dan hubungan sebab-akibat yang ada dalam proses, merasionalisasi proses, memperbaiki proses yang ada melalui streamline the process untuk menghindari kompleksitas yang tidak perlu, termasukmenghilangkan pemasok dan pemberi jasa yang tidak diperlukan (unnecessary suppliers and service providers).
•Menggunakan teknologi informasi sebagai bagian dari Total Agricultural Supply Chain Processes Improvement. Memahami di mana Enterprise-Resource-Planning—ERP standar dan software lainnya dapat berperan untuk mendukung Agricultural Lean Six Sigma Supply Chain Management itu.
•Membuat agar Agricultural Lean Six Sigma Supply Chain Management menjadi visible, dan harus mengakui bahwa blind spots dapat menjadi area potensial untuk pemborosan (potential areas of waste).
•Melibatkan change management dalam Agricultural Lean Six Sigma Supply Chain Management itu, agar perubahan dalam pembangunan pertanian berkelanjutan menuju keunggulan kinerja kelas dunia (zero defects dan kepuasan pelanggan 100%) dapat dikelola dengan baik.
Delapan langkah dalam proses peningkatan kinerja Agricultural Lean Six Sigma Supply Chain Management adalah:(1) Mendefinisikan Masalah dan Menentukan Tema Perbaikan Total AgriculturalSupply Chain Processes sepanjang rantai SIPOC (Supplier-Input-Process-Output-Customer), (2) Mencari Semua Penyebab atau Hambatan-hambatan yang ada, (3)Menganalisis Akar Penyebab Masalah atau Hambatan-hambatan itu, (4)Merencanakan Tindakan Perbaikan Secara Sistematik dalam Kerangka Sistem Industri Pertanian Berkelanjutan, (5)Melaksanakan Perbaikan, (6)Mempelajari Hasil-hasil Perbaikan, (7) Menstandardisasikan Solusi dan Praktek-praktek Terbaik, dan (8) Membuat Laporan Akhir (Pertanggungjawaban) dan Menentukan Rencana Perbaikan Kinerja Total AgriculturalSupply Chain Processes sepanjang rantai SIPOC (Supplier-Input-Process-Output-Customer) Secara Terus-Menerus.
Jika menggunakan Metodologi Six Sigma berdasarkan ISO 13053-1 (2010), maka ke-8 langkah peningkatan kinerja Agricultural Lean Six Sigma Supply Chain Management di atas dapat diorganisasikan ke dalam DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, Control), sebagai berikut:
DEFINE (D)—Mendefinisikan
Langkah 1. Mendefinisikan Masalah dan Menentukan Tema Perbaikan Kinerja Total AgriculturalSupply Chain Processes sepanjang rantai SIPOC (Supplier-Input-Process-Output-Customer),
MEASURE (M)—Mengukur
Langkah 2. Verifikasi Pengukuran dan Mencari Semua Penyebab atau Hambatan yang Mungkin
ANALYZE (A)—Menganalisis
Langkah 3.Menganalisis Akar Penyebab Masalah atau Hambatan-hambatan yang ada
Langkah 4. Merencanakan Tindakan Perbaikan Secara Sistematik dalam Kerangka Sistem Industri Pertanian Berkelanjutan,
IMPROVE (I)—Meningkatkan
Langkah 5.Melaksanakan Perbaikan
Langkah 6.Mempelajari Hasil-hasil Perbaikan
CONTROL (C )—Mengendalikan
Langkah 7.Menstandardisasikan Solusi dan Praktek-praktek Terbaik (Best Practices)
Langkah 8. Membuat Laporan Akhir (Pertanggungjawaban) dan Menentukan Rencana Perbaikan Kinerja Total AgriculturalSupply Chain Processes sepanjang rantai SIPOC (Supplier-Input-Process-Output-Customer) Secara Terus-Menerus.
Keberhasilan solusi masalah kinerja dalam proses-proses supply chain sekitar 80% ditentukan oleh Quality Leadership (Kepemimpinan Kualitas) dalam menerapkan Delapan Langkah di atas dan hanya 20% ditentukan oleh penggunaan alat-alat statistika (statistical tools). Di samping itu yang diperlukan dalam memahami implementasi metode statistika untuk solusi masalah kinerja dalam proses-proses rantai pasokan (supply chain processes) adalah 80% berkaitan dengan Statistical Thinking (memahami bagaimana perilaku proses statistikal yang ditimbulkan oleh variasi penyebab khusus dan variasi penyebab umum) dan hanya 20% berkaitan dengan aplikasi Statistical Tools (penerapan alat-alat statistika) yang sekarang ini analisisnya telah banyak menggunakan bantuan paket-paket software komputer, seperti: Minitab, SPSS, dll.
Kesimpulan dan Saran
Agricultural Lean Six Sigma Supply Chain Management adalah bukansekedar memperbaiki apa yang salah yang selama ini memang dikerjakan dalam praktek-praktek pembangunan pertanian secara TIDAK BENAR di Indonesia, tetapi berkaitan dengan desain dan implementasi prinsip-prinsip Lean Six Sigma ke dalam Agricultural Supply Chain Processes, dengan tujuan utama adalah menghilangkan pemborosan (waste) dan aktivitas-aktivitas tidak bernilai tambah serta meningkatkan kapabilitas proses pembangunan pertanian itu menuju target Six Sigma (zero defects/errors) melalui menurunkan variabilitas proses penciptaan nilai tambah pertanian kepada pelanggan (konsumen).Agricultural Lean Six Sigma Supply Chain Management dapat diinstitusionalisasikan melalui koperasi-koperasi pertanian seperti di Korea Selatan yang nota bene telah menerapkan Pasal 33 UUD 1945, meskipun Negara Korea Selatan tidak memiliki UUD 1945. Dalam hal ini pembangunan pertanian berkelanjutan di Indonesia dapat mengadopsi proses pembelajaran yang telah terbukti berhasil sejak kehadiran Koperasi Pertanian di Korea Selatan yang didirikan pada tahun 1961.
Peningkatan kinerja dari Agricultural Lean Six Sigma Supply Chain Management harus mengacu kepada reduksi total cycle time, inventori, dan ongkos-ongkos sepanjang Total Agricultural Supply Chain Processes yang bertujuan menciptakan inovasi nilai secara terus-menerus kepada pelanggan (mulai dari produsen tani sampai konsumen produk pertanian). Hal ini membutuhkan usaha peningkatan terus-menerus melalui metodologi Lean Six Sigma yang didukung oleh manajemen dan karyawan melalui penciptaan learning organization dan perubahan kultur yang mendukung pencapaian dari Agricultural Lean Six Sigma Supply Chain itu agar kinerjanya mencapai kapabilitas proses six sigma yang menghasilkan zero defects/errors dan bebas dari pemborosan (waste).
Pembangunan pertanian berkelanjutan di Indonesia seyogianya mengadopsi keberhasilan model pembelajaran implementasi Agricultural (Lean Six Sigma) Supply Chain Management di Korea Selatan yang memperoleh dukungan penuh dari pemerintah Korea Selatan, di mana penerapannya dilakukan melalui Koperasi Pertanian (NACF) Korea Selatan.
Keterkaitan antara Presiden, Menteri Pertanian dan Perikanan, beserta Presiden Direktur Koperasi Pertanian (NACF) di Korea Selatan ditunjukkan dalam Gambar 5.
Gambar 5. Struktur Keterkaitan Presiden, Menteri Pertanian dan Perikanan, dan Koperasi Pertanian (NACF) dalam Agricultural (Lean Six Sigma) Supply Chain Management
di Korea Selatan (Sumber: Sandiford and Rossmiller, 1996)
*) Vincent Gaspersz adalah profesor manajemen dan sistem serta lean six sigma master black belt.
Ia memperoleh 10 (sepuluh) sertifikat profesional internasional (international professional degree) dalam bidang produksi, rantai pasok (supply chain), kualitas, dan kepemimpinan, yaitu: (1) APICS (American Production and Inventory Control Society) Certified Fellow in Production and Inventory Management (CFPIM, 1998), (2) APICS Certified in Production and Inventory Management (CPIM, 1994-1996), (3) APICS Certified Supply Chain Professional (CSCP, 2007), (4) ASQ (American Society for Quality) Certified Manager of Quality and Organizational Excellence (CMQ/OE, 2006), (5) ASQ Certified Six Sigma Black Belt (CSSBB, 2006), (6) ASQ Certified Quality Engineer (CQE, 2006), (7) ASQ Certified Quality Auditor (CQA, 2006), (8) IQF (International Quality Federation) Six Sigma Master Black Belt (IQF SSMBB, 2005), (9) RAB-QSA (USA-based Registrar Accreditation Board (RAB) and Australia-based Quality Society of Australasia (QSA) Quality Management System Auditor (QMS Auditor, 2006), dan (10) Certified Situational Leadership Trainer (CSL), Australia (1991).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H