KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK DAN
PRODUKTIVITAS DI INDONESIA
Oleh: VINCENT GASPERSZ
Banyak pejabat dan ahli ekonomi Indonesia sering menyebutkan bahwa pendapatan perkapita Indonesia sekarang sekitar Rp. 36 juta/tahun atau Rp. 3 juta/bulan, atau berdasarkan laporan Bank Dunia (2014) bahwa pendapatan perkapita Indonesia USD$3.557 pada tahun 2012. Ungkapan ini seolah-olah menunjukkan bahwa Indonesia telah berhasil dalam pembangunan ekonomi. TETAPI jika pejabat dan ahli ekonomi mengungkapkan angka kemiskinan di Indonesia, maka yang digunakan adalah data BPS yang menggunakan batas garis kemiskinan yang rendah.
Mari kita bernalar secara logika sederhana. Jika pendapatan perkapita Indonesia USD$3.557 itu akan dijadikan sebagai indikator keberhasilan pembangunan ekonomi, BERARTI setiap hari semua orang Indonesia telah memperoleh pendapatan USD$3.557/tahun = USD$3.557 / 365 hari = USD$9,75/hari.
Nah jika kita KONSISTEN, maka kitapun HARUS berani mengungkapkan data kemiskinan Indonesia menggunakan data Bank Dunia (2014), yaitu: persentase penduduk miskin yang berpenghasilan <= USD$ 2,5/hari = 60,4% (sekitar 149 juta penduduk masih miskin). Jika digunakan angka Bank Dunia dengan menaikkan garis kemiskinan sampai USD$ 10/hari maka masih ada 98,4% penduduk miskin (sekitar 243 juta penduduk miskin) di Indonesia.
Mengapa kita harus “mengelabui” (termasuk menipu diri sendiri) dengan menggunakan data BPS Indonesia bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia per September2013 adalah 11,66%, PADAHAL angka ini berdasarkan indikator batas garis kemiskinan yang rendah, yaitu: sekitar USD$264 / tahun atau USD$22/bulan = USD$22/30 hari = USD$0,73/hari? Atau jika disetarakan dengan kurs USD$ 1 = Rp. 12.000, maka angka USD$ 0,73/hari ini setara dengan Rp. 8.760 per hari; atau setara dengan Rp. 262.800 per bulan. Catatan: BPS menggunakan batas garis kemiskinan untuk Indonesia sebesar Rp. 259.520 per bulan untuk menghasilkan angka persentase penduduk miskin per September 2013 sebanyak: 11,66%.
Pertanyaan penulis adalah: mengapa jika kita mengungkapkan angka pendapatan penduduk Indonesia kita menggunakan USD$3.557 per tahun, sedangkan apabila kita menyatakan persentase penduduk miskin maka kita menggunakan batas garis kemiskinan USD$264 per tahun? Kita tidak “berani mengungkapkan” berdasarkan angka Bank Dunia yang menggunakan kriteria penduduk miskin adalah USD$2,5 per hari atau USD$75 per bulan atau USD 900/tahun? Di sini inkonsistensi kita dalam penggunaan indikator pendapatan perkapita.
Penulis ketika belajar pascasarjana dalam bidang statistika terapan selalu diajarkan bahwa penggunaan angka rata-rata HARUS dipasangkan dengan angka standar deviasi, jika TIDAK maka angka rata-rata itu menjadi TIDAK BERMAKNA apa-apa! Untuk indikator pendapatan perkapita HARUS dipasangkan dengan angka distribusi pendapatan yang diukur menggunakan indeks (rasio) Gini. FAKTA menunjukkan bahwa distribusi pendapatan penduduk di Indonesia TELAH semakin melebar (timpang) selama satu dekade terakhir ini.
Indeks (Rasio) Gini seluruh provinsi di Indonesia ditunjukkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Indeks (Rasio) Gini Distribusi Pendapatan Antar-Provinsi di Indonesia, 2005-2013
Distribusi Ketimpangan Pendapatan Perkapita Antar-Kabupaten di Indonesia
Jika kita melihat ketimpangan yang SANGAT TINGGI dalam distribusi pendapatan perkapita Antar-Kabupaten di Indonesia (lihat Tabel 2), maka kita akan semakin YAKIN bahwa angka pendapatan perkapita USD$3.557 (laporan Bank Dunia 2104) BUKAN suatu PRESTASI dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Bayangkan bahwa pendapatan perkapita di Kabupaten yang paling rendah di Indonesia seperti: Kabupaten Seram Bagian Timur (Provinsi Maluku) yang HANYA Rp. 3.190.000/tahun, Kabupaten Halmahera Barat (Provinsi Maluku Utara) yang hanya Rp. 3.760.000/tahun, dan Kabupaten Sumba Barat Daya (Provinsi Nusa Tenggara Timur) yang hanya Rp. 3.958.059/tahun. Bagaimana mungkin kita bisa menyatakan bahwa pendapatan perkapita Indonesia adalah Rp. 36 juta/tahun? Indonesia bagian mana yang dimaksud dengan pernyataan ini? Demikian pula apakah kita bisa menjamin bahwa pendapatan perkapita yang tinggi di suatu kabupaten seperti: Kabupaten Bengkalis (Provinsi Riau) sekitar Rp. 206.860.000/tahun dan Kabupaten Teluk Bintuni (Provinsi Papua Barat) sekitar Rp. 277.930.000/tahun benar-benar TELAH dinikmati oleh penduduk di daerah itu? Apakah pendapatan perkapita yang tinggi ini BUKAN hanya hasil perhitungan semata karena ada kontribusi dari perusahaan-perusahaan nasional maupun multi-nasional yang menguasai sumber daya alam di wilayah itu? Pertanyaan KRITIS lainnya, apakah BENAR Pendapatan Perkapita dari penduduk di Kabupaten Bintuni (Provinsi Papua Barat) yang sekitar Rp. 277.930.000/tahun itu BENAR-BENAR telah lebih sejahtera daripada penduduk di Kota Yogyakarta (Provinsi DI Yogyakarta) yang “HANYA” berpendapatan perkapita sekitar Rp. 33.070.000 itu? Atau pendapatan perkapita di Kota Kediri yang tertinggi di Provinsi Jawa Timur yaitu sekitar: Rp. 241.920.000/kapita itu semata-mata HANYA karena hasil perhitungan total pendapatan karena ada perusahaan rokok raksasa PT. Gudang Garam di sana, yang kemudian dibagi dengan jumlah penduduk di daerah itu, termasuk bayi yang baru lahir, orang-orang tua jompo, pengangguran, dll?
Tabel 2. Distribusi Ketimpangan Pendapatan Perkapita Antar-Kabupaten di Indonesia, 2012
Keterkaitan Pendapatan Perkapita dengan Pembangunan Manusia Indonesia
Pembangunan Indonesia seyogianya berfokus pada pembangunan sumber daya manusia Indonesia seutuhnya, sehingga penggunaan indikator pendapatan perkapita semata menjadi TIDAK RELEVAN sebagai indikator keberhasilan pembangunan Indonesia. Berkaitan dengan hal-hal yang dipermasalahkan di atas, maka penggunaan Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menjadi relevan.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) disusun berdasarkan empat komponen dalam tiga bidang pembangunan utama, yaitu: (1) angka harapan hidup yang mewakili pembangunan bidang kesehatan; (2) angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah yang mengukur pencapaian pembangunan dalam bidang pendidikan, dan (3) kebutuhan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang diukur berdasarkan rata-rata pengeluaran perkapita sebagai pendekatan pendapatan penduduk yang mewakili pencapaian pembangunan ekonomi untuk hidup layak.
Hasil analisis penulis tentang keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi (termasuk pendapatan perkapita) dan indeks pembangunan manusia (IPM) menunjukkan korelasi yang lemah dan tidak signifikan (lihat Tabel 3) yaitu sebesar 0,123 (r = 0,123). Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia selama ini tidak berkaitan langsung dengan pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Pembuat kebijakan pembangunan di Indonesia HARUS memperhatikan perkembangan indeks pembangunan manusia (IPM) ini karena FAKTA menunjukkan bahwa kemajuan suatu negara ditentukan oleh produktivitas dan kualitas sumber daya manusia, BUKAN ditentukan oleh kepemilikan sumber daya alam.
Tabel 3. Pendapatan Perkapita, Pertumbuhan Ekonomi, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia 2012
Perbandingan Produktivitas Indonesia Terhadap Produktivitas Korea Selatan dan Produktivitas Malaysia
Fokus pembangunan sumber daya manusia secara besar-besaran sejak masa awal pembangunan dari Negara Korea Selatan dan Malaysia TELAH MEMBUKTIKAN bahwa kedua negara itu TELAH menjadi lebih unggul daripada Indonesia dalam hal peningkatan produktivitas nasional dan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Perbandingan perkembangan produktivitas nasional yang bersumber dari kontribusi produktivitas dan kualitas sumber daya manusia di Korea Selatan, Malaysia, dan Indonesia ditunjukkan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Perbandingan Perkembangan Produktivitas Nasional di Korea Selatan, Malaysia, dan Indonesia selama Masa Pembangunan 1960-2012
Dari Gambar 1, tampak bahwa sejak masa awal pembangunan tahun 1960 sampai tahun 2012, indeks produktivitas Indonesia SELALU lebih rendah daripada Korea Selatan dan Malaysia. Pada masa awal pembangunan tahun 1960, produktivitas Indonesia sekitar 69,62% dari produktivitas Korea Selatan, NAMUN pada tahun 2012 produktivitas Indonesia telah berada jauh di bawah Korea Selatan yaitu hanya 15,75% dibandingkan produktivitas Korea Selatan (Indeks Produktivitas Korea Selatan = 100%). Hal yang sama berlaku untuk perbandingan produktivitas Indonesia terhadap produktivitas Malaysia, di mana pada tahun 1960 produktivitas Indonesia sekitar 18,39% dari produktivitas Malaysia, serta pada tahun 2012 produktivitas Indonesia sekitar 34,10% dari produktivitas Malaysia.
Berdasarkan analisis gap produktivitas (productivity gap analysis) antara Korea Selatan, Malaysia, dan Indonesia, maka diperoleh hasil berikut:
·Produktivitas Korea Selatan lebih tinggi sekitar 6,35 kali (635%) dari produktivitas Indonesia.
·Produktivitas Malaysia lebih tinggi sekitar 2,93 kali (293%) dari produktivitas Indonesia.
·Produktivitas Korea Selatan lebih tinggi sekitar 2,17 kali (217%) dari produktivitas Malaysia.
Konsekuensi dari produktivitas Indonesia yang lebih rendah dari Malaysia di atas, maka telah terjadi opportunity loss sekitar Rp. 8.404,6 Trilyun dalam perolehan pendapatan nasional (Gross Domestic Product – GDP) Indonesia pada tahun 2013 seperti ditunjukkan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Opportunity Loss Perolehan Pendapatan Nasional (GDP) Indonesia Karena Produktivitas Indonesia Yang Lebih Rendah Dari Produktivitas Malaysia
Berdasarkan kajian empirik di atas, maka pesan yang ingin disampaikan dari tulisan ini adalah:
1.Agar berhati-hati menggunakan indikator pendapatan perkapita sebagai indikator kemajuan pembangunan Indonesia, karena terdapat ketimpangan pembagian pendapatan penduduk yang amat sangat tinggi.
2.Tidak ada keterkaitan (korelasi) antara kebijakan pembangunan ekonomi dengan kemajuan pembangunan sumber daya manusia di Indonesia selama masa pembangunan Indonesia.
3.Analisis menunjukkan bahwa kemajuan Korea Selatan dan Malaysia selama masa pembangunan 1960-2012 mengandalkan pada peningkatan produktivitas dan kualitas sumber daya manusia, BUKAN mengandalkan pada kepemilikan sumber daya alam.
VINCENT GASPERSZ, adalah Profesor bidang teknik sistem dan manajemen industri. Lulus sebagai Doktor Teknik Sistem dan Manajemen Industri dari ITB, 1991 dengan IP = 4,0 (sempurna). Menulis disertasi doktor di ITB tentang Keterkaitan Struktur Industri dengan Produktivitas di Indonesia, 1991 (Studi Pembangunan Ekonomi dan Sistem Industri Periode 1967-1988).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H