Seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dibunuh saat perjalanan pesawat menuju Amsterdam. Tertanggal 7 September 2004, pembunuhan yang dilakukan dengan racun Arsenik itu terus diperingati hingga kini. Meski kasus kopi sianida yang juga sama-sama racun sudah belasan kali disidang dan agak lebih populer, tapi apa yang terjadi pada 7 September itu tidak kalah penting.
Munir demikianlah namanya. Sebelum saya berusia kepala dua, nama itu hanya sempat saya dengar di dua kesempatan. Pertama, saat televisi ramai memberitakan kematiannya di tahun 2004. Kedua, saat mengikuti aksi Kamisan di Bandung serta Jakarta dan acara peringatan pelanggaran HAM seperti September Hitam.
Jauh setelah kematiannya, nama itu telah berubah menjadi simbol penegakkan HAM di Indonesia. Betapa tidak, sebelum kematiannya, Munir adalah pegiat HAM yang progresif memperjuangkan berbagai kasus HAM di masa lalu. Ia pun juga menjadi salah satu pendiri KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan).
Berkaitan dengan ide penegakkan HAM di Indonesia, janji yang sama pernah diucapkan saat pemilihan presiden (pilpres) 2014. Bagi calon nomor urut 2, janji ini tergolong senjata yang ampuh mengingat calon nomor urut 1 adalah kontra dari janji itu.
Tidak hanya itu, di sela debat capres dan cawapres di stasiun televisi, pertanyaan tentang HAM itu terbukti ampuh membuat kesal calon nomor urut 1 yang kesulitan menjawabnya.
Boleh dikata juga, janji itu barangkali menggerakkan seorang muda seperti saya untuk ikut dalam pemilu. Bukan jargon “Salam Dua Jari”, bukan juga meriahnya konser Slank di stadium Gelora Bung Karno, bukan juga baju putih sederhana yang sering dipakai saat blusukan.
Alasannya sederhana. Yang nomor 2 lebih baik dibanding nomor 1 karena tidak punya catatan pelanggaran HAM. Bahkan, mencantumkan agenda penegakkan HAM di masa lalu sebagai agenda prioritasnya yang tertuang dalam Nawacita yang sakral itu.
Alhasil, calon nomor urut 2 pun menang. Namun, tahun 2015, selang setahun setelah hari kemenangan itu, tak kunjung ada tanda-tanda yang signifikan. Hal itu berlanjut pula hingga 7 September 2016 kemarin, di saat usia pembunuhan Munir sudah mulai puber. Puber karena sudah 12 tahun mangkrak, tak kunjung terungkap.
Bahkan, Pollycarpus yang sempat ditangkap pada Maret 2005 lalu pun sudah keburu bebas bersyarat pada 2014 plus remisi berlimpah nan ajaib: 4 tahun, 6 bulan, dan 20 hari.
Salah satu hal menarik lain dalam perjalanan kasus Munir adalah saat terjadi penundaan pengungkapan hasil otopsi jenazah Munir. Dalam laporan Tempo berjudul “Kesaksian Intel Belanda dalam Kematian Munir”, disebutkan penundaan pengungkapan itu lantaran pembunuhannya diduga akan digunakan untuk kampanye hitam.
“Forensik ini bisa dipakai untuk kampanye hitam bagi Yudhoyono yang jenderal tentara?” ucap seorang intel. Bahkan, kutipan menarik itu pun berlanjut ke dugaan lain. "Itu rupanya yang diinginkan pembunuh Munir: Belanda mengumumkan ke dunia seorang aktivis antimiliter terbunuh,” ucap Rachland Nashidik.