“Kita masih punya ‘stok’ 60 orang yang akan dieksekusi mati,” ucap Prasetyo, Jaksa Agung dalam sebuah berita yang dimuat Kompas.compada Selasa, 20 Januari 2015.
Tidak terasa sudah berselang tiga jilid eksekusi mati. Atau jika memakai istilah jaksa agung, berarti tepat hari ini sudah tiga ‘stok ‘ manusia yang harus membayar kejahatan yang dibuat dengan nyawanya sendiri. Lebih tepatnya kejahatan obat terlarang yang disebut-sebut mengancam generasi muda. Dalam suasana gelap dan hujan berangin disertai gledek, kabarnya baru 4 dari 14 terpidana mati yang dieksekusi pada pukul 00.50 Jumat, 29 Juli 2015.
Ia bernama Merri Utami (MU), 1 dari 10 terpidana mati yang masih menunggu keputusan akhir yang menentukan nasibnya. MU merupakan terpidana mati kasus narkotik yang terbukti 1,1 kg heroin di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang. Putusan hakim di tahun 2002 silam memberi restu pada negara melalui regu tembak di Nusa Kambangan untuk merenggut nyawanya.
Sekilas, dalam semangat perang dan pemberantasan terhadap narkoba, apa yang terlintas di alam pikir kita, ia tidaklah berbeda dengan terpidana mati lainnya. Intinya segera timbul pikiran ala pre-judice kecelakaan antara mobil dan motor di jalan. Dalam pribadi itu, tanpa habis pikir tuduhan, hujatan, hingga hinaan barangkali segera dilemparkan.
Akan tetapi, seperti sebab musabab tenggelamnya kapal Titanic, informasi itu baru ujungnya gunung es yang kebetulan kelihatan di permukaan. Dalam LEMBAR FAKTA yang dikeluarkan Komnas Perempuan, MU yang berlatar belakang dari keluarga miskin merupakan mantan pekerja migran yang menjadi korban penipuan menjadi kurir narkoba.
MU sebelumnya bekerja sebagai pekerja migran di Taiwan selama 2 tahun. Walaupun telah menikah dan mempunyaI dua orang anak, di usia 25 tahun, ia pun nekad berpisah lantaran menjadi korban kekerasan rumah tangga. Di saat ia dipaksa suami menjadi tulang punggung keluarga, upah selama bekerja dikirimkan ke rumah. Dihabiskan oleh suaminya yang suka miras, judi, dan selingkuh.
Saat mengurus dokumen kerja kala ingin kembali bekerja sebagai buruh migran untuk menghidupi kedua anaknya, ia bertemu dengan Jerry (mengaku WNA asal Kanada yang memiliki usaha dagang). Selama masa pacaran tiga bulan, Jerry sering mengirim hadiah untuk orang tua MU bahkan berjanji untuk menikahinya. Tidak hanya itu, pada 16 Oktober 2001, MU pun sempat berlibur selama tiga hari di Nepal bersama Jerry.
Keanehan pun mulai muncul di saat Jerry hendak pamit lebih awal untuk mengurus bisnisnya di Jakarta pada 20 Oktober 2001. Namun, Jerry juga menitipkan MU sebuah tas tangan yang mengharuskannya menunggu selama lebih dari seminggu. Kabarnya, tas tangan yang dibawa Jerry sudah jelek sekaligus sebagai sampel bahkan ketika MU menanyakan mengapa berat, teman Jerry berdalih tas kulit bagus dan bahannya kuat (Keterangan CNN – MU diberitahu tas tidak berisi apa-apa).
Tepatnya, 31 Oktober 2001, MU yang tidak merasa menyembunyikan sesuatu ditangkap seketika. Ia ditangkap lantaran petugas menemukan narkoba jenis heroin di dinding tas melalui mesin X-ray. MU pun sempat menghubungi Jerry dan kedua temannya, tetapi ponsel mereka sudah tidak aktif dan belakangan mengetahui Jerry ternyata memiliki banyak nama samaran.
Menurut keterangan Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI), saat pemeriksaan di bandara, MU sempat mengalami kekerasan oleh petugas kepolisian. Mulai dipukul berkali-kali, dilecehkan secara seksual, dan hampir diperkosa. Selain cidera penglihatan, MU dipaksa mengakui bahwa heroin tersebut miliknya berikut dengan pengacara yang mendampinginya turut memaksanya mengaku bersalah.
Situasi juga bertambah buruk ketika pihak keluarga tidak mau menerima bahkan menganggapnya sudah mati. Meskipun demikian, anak perempuannya masih percaya bahwa ibunya tidak bersalah dan sesekali mengunjungi MU kala ia masih dipenjara selama 15 tahun. Setelah dijatuhi vonis, berbagai upaya banding, kasasi, peninjauan kembali, dan grasi tidak berbuah hasil tanpa alasan yang jelas.