Berbicara dalam konteks pendidikan dasar hingga menengah ke atas, kita tentu akan mudah merasakan bahwa hal ini tidaklah relevan. Barangkali di sekolah, siswa memang tidak sedang diajari atau mempraktikan kondisi ketika mereka disuru memproduksi barang seperti buruh-buruh di pabrik, tetapi hal yang yang ditawarkan untuk diikutsertakan dalam kegiatan produksi ini adalah "diri" mereka sendiri.
Dalam keadaan tanpa pilihan lain, desakan orang tua, ancaman sanksi, hukuman, dan kemarahan guru terutama bagi mereka yang "bandel" atau tidak mau diatur, setiap siswa menyerahkan dirinya dibentuk menjadi "diri" yang diinginkan oleh dunia sekitar dengan cara-cara pabrik membentuk barang atau produk yang akan di-"jual" kemudian. Dalam konteksnya di dunia pendidikan kita, tentu tidak mengherankan jika sekolah-sekolah berbangga diri, menaruh nama dan foto para siswa andalannya dalam baliho atau spanduk besar.Â
Ketimbang membanggakan keberhasilan seorang siswa untuk menjadi dan mengembangkan "diri"-nya sendiri, sekolah tentu lebih memilih menonjolkan mereka yang memiliki nilai "jual" tinggi seperti menjadi juara atau yang umumnya kita lihat seperti diterima di kampus luar negeri ternama atau diterima di kampus negeri. Seolah-olah produk (maksudnya siswa) sekian dari pabrik (maksudnya sekolah) sekian bermutu unggul dan disukai oleh pasar perguruan tinggi.
Manusia bahkan dalam usia belia yang menurut istilah Rahmat, sarat dengan keunikan sosiologis dan psikologis yang rumit dan autentik tidak dapat diabaikan oleh persaingan kepentingan pemerintah, guru, dan orang tua soal anggapan mana yang dapat dianggap berhasil dan tidak berhasil.Â
Memang kompetisi dan persaingan yang dihadirkan dalam sarana pengembangan diri pun juga tidak sepenuhnya salah, namun yang saya kira masih keliru bahwa kompetisi dan persaingan itu tidak dapat ditujukan untuk mencapai standar tunggal dunia sekitar yang mulai tercemar dengan kepentingan ekonomi belaka.Â
Dalam hal ini, konsepsi yang membatasi kelulusan hanyalah pengantar pada dunia kerja. Bahkan, selepas pendidikan menengah atas, saya bahkan kita pun merasakan betapa pemilihan jurusan di kuliah adalah penjara (tidak sebenarnya bebas memilih yang diminati) bagi "diri" yang nanti tidak lebih sekadar penjurusan pada bidang "perburuhan" yang dapat dikerjakan selepas lunturnya masa muda. Kerja, kerja, dan kerja inilah yang saya maksud menjadikan proses belajar panjang selama 12 tahun hingga kuliah nanti tidak lepasnya sekadar mempersiapkan kita menjadi "Calon Buruh".
Maksudnya mereka yang masa depannya tidak akan jauh-jauh dari sekadar menjadi manusia yang baik taat hukum dan agama, berkeluarga, dan memiliki penghasilan atas jerih payahnya di dunia industri usang yang terus bertahan hingga di era serba modern ini.
Akan tetapi, menyadari dunia yang akan dipijak oleh para lulusan sekolah-sekolah dasar hingga menengah adalah dunia yang bebas dan membuka diri untuk segala bentuk pengembangan manusia merupakan hal yang tidak dapat disangkal. Dunia tidak melulu berkaitan dengan masuk kerja, bertahan di tempat kerja, pulang lalu beristirahat, dan pada tanggal yang ditentukan mendapatkan gaji. Namun, seruan-seruan yang digaungkan pada 1 Mei 2018 kemarin merupakan salah satunya, yaitu membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik.
Namun, untuk mencapai hal itu, perlu ada sebuah perlawanan dari "diri" yang didasari atas sentuhan hari nurani dan kesadaran atas keutamaan moral yang kemudian dengan segala harapannya dapat mematahkan belenggu bersumber dari kepentingan dan kekuasaan yang bersembunyi dibalik invasi ideologi pendidikan yang dikatakan Rahmat tadi. Saya pikir inilah hal yang sekiranya akan membedakan sekolah dan perguruan tinggi dari ajang pembekalan "calon buruh" semata.
Bahwa dunia memang memerlukan aktivitas ekonomi dan pekerjaan untuk menghasilkan barang dan jasa tentu tidak dapat kita sangkal. Namun, aktivitas seperti itu tidak sepatutnya melampaui batas-batas sucinya lalu menginvasi arena kepentingan khalayak banyak.
Dengan tidak membiarkan pendidikan terjebak pada esensi yang mementingkan kelangsung korporasi semata, sekiranya pendidikan masih dapat menjadi harapan bagi manusia untuk memperoleh pengembangan diri agar di kemudian hari dapat menyelamatkan peradaban dan mewariskannya kepada generasi selanjutnya.