Hidup Korban!
Jangan Diam!
Jokowi, Hapuskan Impunitas!
Kalimat itu disambut dengan kepalan tangan yang diangkat ke atas. Terdengar tatkala Anda berada di pintu gerbang Monumen Nasional (Monas) yang berhadapan langsung dengan Istana Negara. Payung-payung hitam terangkat ke udara, sementara sekelompok orang lintas usia berdiri berbanjar di balik spanduk berisikan foto-foto para korban dan seruan kepada sang presiden.
Kamis, 19 Januari 2017 lalu menandakan tepat 10 tahun sudah, aksi yang bernama “Aksi Kamisan” atau “Aksi Payung Hitam” itu dilakukan. Sejak dilakukan pada Kamis, 18 Januari 2007 lalu, aksi ini menjadi salah satu tumpuan harapan para korban sederet pelanggaran HAM di Indonesia. Mulai dari tragedi ’65, tragedi Semanggi ’98, tragedi Trisakti, penghilangan paksa aktivis, tragedi Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, hingga pembunuhan Munir.
Meskipun dilakukan dengan “diam”, aksi itu menjadi salah satu cara melawan lupa dan melawan impunitas (Ketika pelanggar HAM bebas dari tuntutan hukuman). Ketika pemerintah cenderung lupa dan kerap tidak mau bertanggung jawab, aksi itu pun menjadi tumpuan bagi para korban pelanggaran HAM demi menuntut keadilan dan mengungkap kebenaran. Baik untuk dirinya, keluarganya, maupun keturunannya hingga generasi penerus yang akan datang kemudian.
Aksi yang genap di angka ke-477 kali itu juga rutin mengirimkan surat “cinta” pada sang presiden. Tatkala ratusan surat dikirimkan setiap minggunya hingga berjumlah 524 buah, seolah-olah presiden seperti masih ingin mengoleksi surat yang dibuat Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) itu.
Surat yang tertanggal 18 Januari 2017 lalu memberikan kesan tersendiri. Lantaran dulu saat kampanye 2014 lalu, pemerintahan yang kini tengah berkuasa menuangkan komitmen menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dalam Visi, Misi, dan Program Aksinya, yaitu:
(1) “Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai saat ini masih menjadi beban sosial bagi bangsa Indonesia seperti : Kerusuhan Mei, Trisakti-Semaggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talanng Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965” dan
(2) Kami berkomitmen menghapus semua bentuk impunitas di dalam sistem hukum nasional, termasuk di dalamnya merevisi UU Peradilan Militer yang pada masa lalu merupakan salah satu sumber pelanggaran HAM.”
Tepat pada Senin, 18 April 2016 lalu, Luhut Panjaitan sewaktu masih menjabat Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) menyelenggarakan simposium Peristiwa 1965 yang kerap diingat lebih dari sekadar penculikan jendral, tetapi pembantaian massal Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mereka yang di-PKI-kan.
"Kita ingin sebagai bangsa besar, menyelesaikan masalah kita," tegas Luhut dalam berita BBC Indonesia yang ditulis Heydar Affan. Walaupun terdengar meyakinkan, pernyataan itu disambung dengan keterangan bahwa Pemerintah Indonesia tidak akan melakukan permintaan maaf atas kekerasan yang terjadi pada Peristiwa 1965, tetapi hanya sebatas penyesalan mendalam.
Masih dalam tahun yang sama, pemerintah juga membuat terobosan baru. Rabu, 27 Juli 2016 lalu, presiden resmi mengumumkan pengangkatan Wiranto. Kesan bagi para penggiat HAM, nama itu masih memikul beban pelanggaran HAM dengan Peristiwa 27 Juli, kasus Semanggi, dan penghilangan aktivis prodemokrasi pada 1997/1998. Tidak ketinggalan, laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun mencantumkan nama itu atas keterlibatannya pada kasus yang mengikuti referendum Timor Leste pada 1999.
Selain itu, baru-baru ini Menko Polhukam yang baru itu juga tengah merencanakan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Disetujui pada Rabu, 4 Januari 2017 lalu, DKN diklaim mampu menengahi pelanggaran HAM melalui jalan musyawarah. Ide brillian ini tentu ditolak tegas oleh para korban pelanggaran HAM dan para penggiat HAM lantaran boro-boro mendekati jalur baik yuridis maupun non-yuridis.
Dibalik selubungnya, DKN memang akal-akalan pemerintah untuk membebaskan pelaku pelanggaran HAM dari jerat hukum dan ganti rugi terlebih menyelesaikannya hingga ke akar kebenarannya. Padahal, saat memperingati Hari HAM Sedunia pada Desember 2015, Presiden RI, Joko Widodo menyampaikan:
“Untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, jalan keluarnya adalah keberanian dari semua pihak untuk membuat terobosan. Sekali lagi, kita semua perlu punya keberanian untuk rekonsiliasi atau mencari terobosan penyelesaian melalui jalur yudisial dan non-yudisial,” dikutip dari berita yang dimuat Kompas pada 12 Desember 2015.
Bila benar penyelesaian HAM membutuhkan keberanian, tentu menilai dari langkah-langkah yang dibuat sampai hari ini, presiden jelas belum bernyali. Keamanan dan stabilitas roda pemerintahan lebih diutamakan dibanding mengambil langkah berani merealisasikan janjinya pada kampanye silam. Kini alasan pemerintah tidak jauh dari sedang fokus ke masalah pembangunan dan ekonomi fisik. Bahkan, ketimbang masalah HAM yang sudah hampir bau tanah, masalah hoax yang baru-baru ini merebak justru malah dikejar.
Detik-detik pemberian rekor MURI dapat dilihat disini.
Menariknya, rekor yang diberikan langsung oleh Jaya Suprana itu mengandung suatu paradoks penghargaan. Tatkala suatu penghargaan selayaknya dibanggakan, tetapi penghargaan ini justru layak diratapi. Diratapi lantaran Aksi Kamisan terlama sama artinya dengan adanya ketidakperdulian terlama dan barangkali penguluran waktu terlama pemerintah Indonesia terhadap komitmen penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
Tentu bercermin dari rekor MURI yang telah disebutkan sebelumnya, bukankah lebih baik jika aksi ini segera berakhir? Tentu Kapolda Metro Jaya patut senang ketika ia tidak perlu repot-repot menempatkan anak buahnya lagi di depan istana, berjaga, dan memagari ibu-ibu, bapak-bapak korban berikut mereka yang peduli terhadap persoalan HAM lagi.
Tentulah sedapat-dapatnya jangan sampai ada kamisan ke-20. Bila benar Indonesia adalah negara hukum, tentu berbagai rangkaian kata-kata yang melanturkan syair pembelaan, penegakkan, dan penjaminan HAM warga negaranya pada UU selekasnya dilaksanakan amanahnya. Namun, kembali lagi, persoalan ini tergantung pada penguasa negara yang jelas-jelas belum juga bernyali.
Momen 10th aksi kamisan ini menyisahkan sedikit waktu lagi sebelum tiba saatnya orang-orang tengah sibuk dengan janji-janji pemilu. Dalam pemilu tentu pasti ada kampanye. Tidak menutup kemungkinan juga, isu HAM akan dibawa lagi seperti dulu. Menjadi jargon dan komoditas politik semata.
Entah apa yang tengah dipikirkan Bapak Presiden. Masakan untuk keadilan yang telah diamanahkan UU negara kita masih akan/harus menunggu sampai tiba kamisan ke-20th? Jangan sampailah hal itu terjadi. Cukuplah dengan kamisan ke-10th ini.
Pelanggaran HAM bukanlah hal yang wajar-wajar saja bersemi dan berbuah layaknya pohon, melainkan seperti ilalang, harus segera dipisahkan dan dibakar bila ingin menjamin bertumbuhnya kemanusiaan demi kewarasan negara ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H