Mohon tunggu...
Vincent Fabian Thomas
Vincent Fabian Thomas Mohon Tunggu... Mahasiswa, Pers Mahasiswa -

Sarjana Teknik Industri Universitas Parahyangan Bandung - Jurnalis mahasiswa @ Media Parahyangan - Kunjungi : mediaparahyangan.com - Email : vincentfabianthomasdharma@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tiga Karakter Lulusan Sekolah Indonesia : Oligarki, Borjuis, dan Penabur

9 April 2015   14:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:20 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan di sekolah manapun selalu mengelu-elukan soal pembentukan karakter anak didiknya. Baik sekolah negeri maupun swasta, keduanya bernada sama soal pentingnya pendidikan karakter. Namun, sekolah-sekolah itu bisa jadi malah membentuk karakter yang salah.

Kita bisa berasumsi bahwa sekolah yang menghasilkan karakter yang demikian bisa jadi karena sekolah tidak perduli, pendidikan buruk, dan sebagainya. Hasil akhir yang sering kita lihat berupa tawuran, peniupuan, pencurian, dan sebagainya. Namun, lebih dari itu, sekolah walaupun bertitel unggul dan ketat peraturannya masih dapat menghasilkan karakter yang salah. Karakter yang salah itu berupa hadirnya kaum oligarki dan borjuis di masyarakat.

Oligarki yang dimaksud merujuk pada para pengusaha kaya raya yang saking besar modal dan kerajaan bisnisnya sanggup mempengaruhi hukum dan kebijakan politik. Di samping itu, borjuis merujuk pada kelas masyarakat bertaraf ekonomi menengah ke atas dan mulai/sudah mencicipi kemewahan. Perbedaan mendasar pada keduanya yaitu, kesadaran terhadap masalah sosial. Jika, borjuis umumnya acuh tak acuh sebab kebutuhan perutnya sudah terpenuhi, oligarki cenderung berusaha mempengaruhinya demi melegitimasi pelebaran kerajaan bisnisnya.

Di sisi lain, kedua kaum ini memiliki sisi positif sebab tergolong sering menyisihkan hasil kekayaannya untuk amal. Namun, amal itu sendiri bisa jadi ditujukan untuk mengurangi pajak yang harus dibayarkan (lihat Pasal 1 PP 93 Tahun 2010 tentang sumbangan dan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang perlakuan pajak penghasilan). Di tambah lagi, di saat pemberian amal berjalan dan usaha makin berkembang, masalah sosial belum juga terselesaikan malah bisa jadi bertambah.

Berkaitan dengan hal di atas, komitmen pendidikan sekolah bertitel unggul baik negeri maupun swasta kembali dipertanyakan. Mau menghasilkan lulusan yang seperti apa? Kini lulusan sekolah unggulan umumnya dibekali dengan kurikulum berbasis soal-soal ujian sulit hingga bertaraf olimpiade. Bahkan, masih merasa kurang, beberapa sekolah menggabungkan kurikulum Cambridge dengan nasional serta membuka kelas brilian (didefenisikan oleh sekolah sebagai berintelektual tinggi).

Program-program sekolah di atas patut diapresiasi sebab memberi sumbangsih terhadap pendidikan Indonesia. Namun, di saat yang sama patut diprihatinkan. Sebab, program-program itu semata-mata ditujukan guna menghasilkan lulusan yang dapat menembus perguruan tinggi negeri (PTN) dan luar negeri. Kaitan PTN dan sekolah di luar negeri, tentu tidak jauh dari persoalan mudah mencari kerja dan gaji tinggi. Masih syukur jika lulusannya berniat mengembangkan ilmu tersebut. Namun, di sinilah letak mata rantai yang menghubungkan lulusannya mengarah pada dua karakter tadi (oligarki dan borjuis). Hal ini juga yang merendahkan tujuan pendidikan semata-mata untuk mencari ilmu untuk urusan perut. Paulo Freire pun menyebutnya sebagai pendidikan bagi kaum tertindas. Akan tetapi, jika benar ada sekolah yang menghasilkan kaum oligarki, sekolah itu tentu lebih jahat dari sekolah yang menghasilkan penjudi, perampok, penipu, dan sebagainya sebab merekalah penjajah dan penindas negeri sendiri.

Masih dalam lingkup karakter, masih tersisa satu karakter lagi yaitu “penabur”. Karakter tersebut merujuk pada kualitas lulusan yang mau “menabur” bagi bangsanya. Menabur dalam arti tidak hanya menaburkan harta dan sumbangan bagi orang yang membutuhkan, tetapi mau memberi kontribusi untuk menyelesaikan masalah sosial. Pada kontribusi itu juga, terbukti sikap partisipasi yang berlawanan dengan apatisnya kelas borjuis karena kebutuhan perut sudah tercukupi. Di samping itu, lulusannya tidak pesimis lalu segera hijrah ke luar negeri guna bekerja dan sekolah sebab menilai negaranya tidak maju.

Ciri khas pendidikan sekolah tersebut justru tercermin dari kepedulian baik peserta didik maupun sekolah untuk mengerjakan ladang misi di negara ini. Penggunaan kata misi di sini mencerminkan bahwa ada misi atau cita-cita yang sedari dulu sedang diperjuangkan sejak Indonesia berdiri. Selayaknya pekerja di kebun, semakin rajin mereka menabur di ladang itu, maka hasil yang diperoleh semakin berlimpah. Hal itu berlaku bagi negara ini juga, jika pekerja (siswa) rajin menabur (berkontribusi dalam bidang ilmu manapun) maka ladang (negara) ini akan ikut subur juga. Oleh karena itu, semangat yang dikedepankan sekolah tidak boleh hanya entrepreneurship ‘kewirausahaan’ saja, tetapi sikap kritis. Kritis dalam arti melihat gap ‘celah’ dan berani mengambil tindakan terhadap gap itu mulai dari kritik, diskusi, hingga aksi nyata.

Selain itu, soal mewujudkan karakter yang terakhir ini tidaklah mustahil. Sebab, sejatinya hanya perlu menerapkan bentuk negasi dari bentuk praktik pendidikan yang telah dikritik sebelumnya. Di samping itu, sekolah tidak perlu muluk-muluk mempermasalahkan kurikulum terutama 2013 atau tahun jebot sekalipun. Penentunya berada pada bisa tidaknya sekolah menjawab pertanyaan ini, “Apakah yang dipelajari di sekolah relevan dan mampu menyelesaikan masalah sosial sesuai konteksnya di kehidupan nyata?” Apabila tidak, maaf saja jika pendidikan kembali hanya omong kosong dan bersiaplah menyambut kaum oligarki dan borjuis tadi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun