Mohon tunggu...
Vincent Fabian Thomas
Vincent Fabian Thomas Mohon Tunggu... Mahasiswa, Pers Mahasiswa -

Sarjana Teknik Industri Universitas Parahyangan Bandung - Jurnalis mahasiswa @ Media Parahyangan - Kunjungi : mediaparahyangan.com - Email : vincentfabianthomasdharma@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mau Evolusi Atau Revolusi Mental?

8 April 2015   18:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:22 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Revolusi atau evolusi, dua buah pilihan yang bertolak belakang yang tersedia bagi negara ini. Sekilas, penulis yakin bahwa pemimpin negara ini memilih revolusi, yaitu “revolusi mental”. Namun, setelah kabar bahwa “revolusi mental” itu didengungkan oleh seorang calon presiden sewaktu berkampanye seolah meredup. Redupan itu sendiri dilatarbelakangi langkah-langkah yang tentu saja kontradiktif dengan janji-janjinya semasa kampanye.

Orang yang dulu berkampanye itu ialah Jokowi yang sekarang sudah menjabat sebagai presiden. Awal pemerintahannya diawali dengan gebrakan-gebrakan sejumlah menterinya. Mulai dari Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, dan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri. Di antara orang-orang itu memang kita sangat akrab dengan pemboman kapal nelayan ilegal yang segera menjadi pusat perhatian masyarakat. Dari hal itu, seolah-olah yang katanya “revolusi mental” sudah berjalan.

Namun, berbeda lagi dengan keadaan selepas 100 hari kepemimpinan Jokowi-JK. Persoalan demi persoalan kontroversial mulai muncul ke permukaan. Sebut saja, kebijakan hukuman mati yang membuat sejumlah negara tetangga ngambek, pengangkatan Budi Gunawan sebagai kapolri yang berujung pada pemberhentian pimpinan KPK, serta sikap Jokowi yang seolah menjadi “sales” saat mengunjungi negara tetangga dengan menawarkan investasi.

Hal-hal itu justru menimbulkan permasalahan lain. Semula “revolusi mental” ditujukan untuk mengubah karakter bangsa ke arah orisinilnya (ramah, gotong royong, disiplin, budi pekerti). Dengan kata lain, revolusi itu juga yang dianggap dapat menjadi jawaban atas peliknya permasalahan KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme), bobroknya birokrasi, etos kerja yang lemah, dan sebagainya.

Bertolak dari itu, ada solusi lain jika ternyata “revolusi mental” hanya sebatas wacana, yaitu evolusi mental. Evolusi mental memang bertolak belakang yaitu berubahnya mental bangsa menyesuaikan kondisi yang ada. Contoh lain seperti halnya beruang grizzly cokelat yang terjebak di tempat dingin, mau tidak mau beruang itu pada akhirnya berevolusi menjadi beruang putih yang terbiasa dengan dingin.

Demikian juga dengan kondisi birokrasi yang tidak kunjung insaf juga. Haruskah bangsa Indonesia bervolusi menjadi manusia yang terbiasa dengan kondisi yang sebenarnya sedang dilawan “revolusi mental”? Lebih buruk lagi, saat evolusi itu berujung pada hilangnya kesadaran susila dan moral secara menyeluruh, akhirnya jadilah Indonesia sebagai bangsa barbar. Barbar dalam arti tidak ada lagi hukum, rakyat teralienasi (kondisi saat nilai yang dianut tidak jelas), dan semua bertindak semaunya (masing-masing menganggap benar perbuatannya). Dengan demikian yang namanya pelanggaran atau kejahatan sudah menjadi hal biasa sehingga tidak perlu lagi susah payah menegakkan hukum.

Namun, hal itu belumlah akhir dari perjuangan “revolusi mental”. Pilihan lain masih terbuka dengan kembali kepada revolusi Indonesia yang sebenarnya dicita-citakan semenjak zaman’45. Seperti yang dikatakan oleh Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran,” Tujuan Revolusi’45 ialah kemerdekaan politik yang juga adalah alat untuk suatu ide yang tertinggi, keadilan dan pelaksanaan dari ide-ide kemanusiaan yang paling luhur.” (2014;76). Hal itu diutarakannya mengingat kondisi pasca kemerdekaan yang jauh dari harapan. Bukan hanya stabilitas ekonomi yang jauh dari harapan, melainkan persatuan dan semangat yang timbul saat revolusi itu juga ikut sirna. Oleh karena itu, ia menyebut Indonesia mengalami revolusi yang tragis. Sangking tragisnya lebih tragis daripada Russia dan Perancis.

Apa yang tengah diperjuangkan Soe Hok Gie sewaktu hidupnya bisa dijadikan dasar merealisasikan “revolusi mental itu”. Sebab, ide-ide yang telah dikemukakan Jokowi sewaktu kampanye memang ada benarnya juga, tetapi pelaksanaan dan komitmennya yang kadang membingungkan. Sebut saja seperti yang dikutip dari Tempo pada berita tanggal Februari 2015 bahwa anggaran “revolusi mental” sebesar 149 milliar rupiah yang diberikan kepada menteri Koordinator Pembangunan Manusia Dan Kebudayaan. Namun, esensi perubahan karakter itu yang seharusnya diawali dari pembenahan birokrasi terlupakan. Dengan demikian, benarlah ungkapan ini jika upaya “revolusi mental” tajam ke bawah tumpul ke atas.

Selain itu, komitmennya untuk menciptakan birokrasi yang bersih belum juga terwujud. Kriminalisasi penyidik terkait kepemilikan senjata dan pemberhentian pimpinan KPK karena kasus sepele menjadi bukti hal itu. Seolah-olah saja jajaran para pemegang kekuasaan tidak mau diusik ketika ada pihak yang mau mengoreksi langkah-langkah yang jelas memang salah. Jika hal ini terus menerus terjadi tanpa terbendung maka kejadian evolusi mental tidak terelakkan lagi. Dari hal itu benarlah yang dikatakan oleh Soe Hok Gie bahwa kita telah dijajah bangsa sendiri. Seperti halnya pada zaman penjajahan, logika itu justru sangat masuk akal mengingat kita kelihatan tidak berdaya menghadapi para penjajah. Setiap orang yang melawan diadili dengan hukum ala penjajah serta dijebloskan ke penjara.

Dari hal itu pula kita bisa memperoleh sebuah jalan alternatif daripada menyerah kepada evolusi. Dulu, semangat pergerakan berserta dengan gerakkan perlawanan yang sifatnya gerilya tercatat beberapa kali mampu menekan pemerintah Belanda. Walaupun sejarah juga mencatat sejumlah perpecahan antara kerajaan karena diadu domba oleh penjajah, hal itu masih perlu diwaspadai. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya juga bahwa salah satu yang hilang dari Revolusi’45 adalah persatuan. Maka, jangan sampai para penguasa yang hari ini kelihatan seperti penjajah bangsa sendiri memperoleh celah untuk memecah belah perlawanan yang tengah berlangsung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun