Mohon tunggu...
Vincent Fabian Thomas
Vincent Fabian Thomas Mohon Tunggu... Mahasiswa, Pers Mahasiswa -

Sarjana Teknik Industri Universitas Parahyangan Bandung - Jurnalis mahasiswa @ Media Parahyangan - Kunjungi : mediaparahyangan.com - Email : vincentfabianthomasdharma@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mahasiswa, Ancaman bagi Para Koruptor

17 Januari 2015   19:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:56 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tepat tanggal 29 Desember 2014 lalu, keberadaan lembaga antikorupsi yang bernama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) berusia 11 tahun. Angka itu juga berarti sebelas tahun juga KPK telah mengusik keberadaan para koruptor dengan membongkar sejumlah kasus dan menindak tegas tokoh-tokoh yang terlibat. Sebut saja sejumlah prestasi yang telah ditorehkan KPK seperti penangkapan  tiga menteri akktif (Andi Malaranggeng, Jero Wacik, dan Suryadharma Ali), Ketua Makhamah Konstitusi (Akil Mochtar), dan lain-lain.

Namun, sosok pelajar yang duduk di bangku kuliah juga perlu ditakuti. Sebut saja betapa besarnya andil mahasiswa pada peristiwa 1998. Demo-demo yang dilakukan serentak di sejumlah daerah dan ribuan mahasiswa turun ke jalan yang berujung pada lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan. Walaupun generasi sudah berganti, tidak pernah ada kata terlambat bagi mahasiswa untuk kembali eksis dan unjuk gigi. Begitu juga dengan  hal pemberantasan korupsi, tidak hanya KPK saja yang bisa menjadi ancaman bagi para koruptor, tetapi mahasiswa juga.

Untuk mengambil bagian dalam pemberantasan korupsi, mahasiswa tentu saja tidak perlu memaksakan diri berubah menjadi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) apalagi banting stir ke Jurusan Hukum. Dengan kata lain, masih tersedia berbagai instrumen alternatif yang dapat digunakan. Sedikitnya terdapat tiga hal yang dapat dilakukan mahasiswa.

Pertama, mahasiswa dapat melakukan aksi damai. Lalola Easter selaku peneliti hukum dari ICW (Indonesia Corruption Watch) menjelaskan berupa aksi-aksi yang unik seperti pemutaran film, drama dan teater, dan tidak lupa aksi-aksi dukungan. Ia juga menjelalskan aksi-aksi dukungan itu misalnya seperti yang yang dilakukan  BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) UI (Universitas Indonesia) di Jakarta dengan datang ke kantor KPK memberikan dukungan moril untuk tetap melanjutkan  proses hukum.

Tidak jauh berbeda dengan hal di atas, Destri Tsurayya selaku Divisi Penanganan Kasus LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Bandung juga menambahkan bahwa mahasiswa dapat ikut serta dalam diskusi terutama yang bertemakan anti korupsi. Ia juga menjelaskan diskusi-diskusi kecil tersebut mampu memelekkan masyarakat awam. Melalui diskusi atau acara-acara kampus yang bertema serupa, kita secara tidak langsung menyiarkan sinyal antikorupsi. Dengan demikian aksi-aksi tersebut tidak melulu berupa demostrasi yang kadang berujung pada kekerasan, tetapi aksi-aksi yang demikian juga dapat mendorong upaya pemberantasan korupsi.

Kedua, mahasiswa dapat turut aktif mengkaji. Lalola Easter menjelaskan bahwa baik mahasiswa maupun universitas harus menerapkan fungsi pengkajian. Hal serupa juga dikatakan oleh Mgr. N.J.C. Geise, OFM selaku pendiri dan rektor pertama UNPAR dalam buku Juragan Visioner, “Seyogyanya studi mendalam terhadap masalah perubahan masyarakat menjadi salah satu ciri khas universitas Katolik.”

Penulis cukup yakin bahwa yang dimaksud oleh Geise tentang perubahan masyarakat itulah yang disebut-sebut sebagai pengkajian. Pengkajian terhadap apa? Tentu saja, pengkajian terhadap masalah-masalah sosial yang merebak di kalangan masyarakat. Korupsi pun juga termasuk masalah sosial sebab pejabat pemerintah yang sering diberitakan tersangkut kasus korupsi sesungguhnya juga adalah masyarakat. Mereka sama-sama juga masyarakat, tetapi mereka dipilih oleh masyarakat untuk mewakili dan mengemban tugas pemerintahan.

Selain itu, universitas yang wajib mengemban fungsi demikian tidak hanya universitas Katolik saja seperti dalam konteks Geise pada fungsi universitas Katolik. Akan  tetapi entah universitas swasta, entah  negeri, entah yang berlandaskan agama apapun juga harus menjalankan fungsi ini. Untuk bentuk pengkajian itu sendiri, Lalola kembali menjelaskan bahwa pengkajian yang dilakukan tidak perlu jauh-jauh dari kapasitas mahasiswa yang bersangkutan. Misalnya, jika ia adalah mahasiswa ilmu hukum, maka melakukan pengkajian secara hukum, jika ilmu politik, maka melakukan pengkajian politik seperti contoh relasi bisnis antara penguasa dan kaitan dengan pemberantasan korupsi, dan seterusnya.

Oleh karena itu, Lalola menambahkan baik dosen maupun mahasiswa memiliki beban moril yang sama. Menurutnya, jika inisiatif tidak datang dari atas maka mahasiswa sendirilah yang harus turun tangan memulainya walaupun harus menantang dosen yang bersangkutan untuk turut mengkaji permasalahan tersebut.

Ketiga, join the clicktivism movement. Clicktivism movement sendiri memiliki arti sebagai penggunaan sosial media untuk mengangkat serta mengampanyekan sebuah isu yang biasa dilakukan hanya dengan mengklik sejumlah halaman di media sosial. Salah satunya berupa petisi Online. Dengan “menandatangani” sebuah petisi, secara tidak langsung kita telah mendukung sebuah gerakkan atau kampanye dalam hal ini gerakkan anti korupsi.

Selain itu, tidak menutup kemungkinan aktivitas posting di media sosial. Entah dalam bentuk artikel yang di-posting via blog pribadi maupun forum, entah hanya komentar berupa kicauan atau status. Sederhananya, sebagai mahasiswa jangan tidak mau tahu tentang sebuah isu dan berusahalah untuk tetap melek walaupun hanya membaca portal berita ­online Catatan singkat, dengan maraknya penggunaan UU ITE, kicauan maupun status yang ditulis perlu kewaspadaan serta jika benar mau menulis, usahakan memiliki data dan argumen yang memadai.

Instrumen yang terakhir ini, siapapun orangnya dapat turut berpartisipasi. Jika pada kedua langkah awal sebelumnya terkesan ilmu sosial-sentri atau hanya mahasiswa dengan semangat aktivis, dengan banyaknya mahasiswa yang melek teknologi, langkah yang terakhir ini cukup menjanjikan. Oleh karena itu, tidak ada lagi alasan hanya karena jurusannya berhaluan ilmu alam, seseorang tidak dapat turut berpartisipasi dalam gerakkan antikorupsi.

Seperti yang dikatakan oleh Lalola, “Selemah-lemahnya iman, join the clicktivism movement!” Dengan kata lain walaupun tidak memiliki kapasitas seperti mahasiswa ilmu sosial, mahasiswa dari cabang ilmu lain pun masih dapat turut berpartisipasi, sekecil-kecilnya melalui clicktivism movement.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun