[caption caption="madewithpaper.fiftythree.com"][/caption]Pertumbuhan ekonomi secara pesat, masyarakat sejahtera dan jauh dari kemiskinan sering dijadikan sebagai indikator dalam mengukur tingkat kemajuan sebuah wilayah. Segala lapisan masyarakat berlomba-lomba menciptakan kesejahteraan bagi kehidupannya, hingga terkadang mereka berkontestasi untuk menjadi penguasa atas segala hal yang berada di muka bumi ini. Kenyataan yang ironis sungguh terjadi ketika banyak manusia yang lupa bahwa penggunaan ‘kesejahteraan’ sebagai indikator merupakan cermin dari ketamakan diri manusia yang mengaku bahwa mereka sempurna dan diciptakan serupa dengan-Nya. Atas nama kesejahteraan, manusia sering lupa bahwa dirinya tidak hidup sendiri. Kehidupan manusia juga ditopang oleh makhluk hidup lain yang berpijak di atas muka bumi ini. Pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang diperjuangkan justru menjadi salah satu faktor penyumbang kerusakan lingkungan. Padahal idealnya saat pertumbuhan ekonomi terjadi, lingkungan alam pun (seharusnya) tetap lestari.
Kerusakan lingkungan menjadi carut-marut tiada akhir. Ironisnya, hal ini merupakan salah satu efek dari perjuangan manusia untuk menumbuhkan tingkat ekonomi yang tinggi, dengan mengandalkan eksploitasi sumber daya alam tanpa mengupayakan nilai tambah sumber daya dan tidak dibarengi dengan investasi manusia yang ‘berdaya’. Kenyataan ini tentu menjadi suatu hal yang tragis, karena (lagi-lagi) manusia mengandalkan kesombongannya untuk mendapat keuntungan bagi dirinya sendiri. Hal ini pun kemudian memicu terjadinya tragedi kepemilikan bersama atau the tragedy of the commons.
Whitehead dalam Hardin (1968) mengungkapkan bahwa situasi yang melibatkan kekejaman dalam melakukan kegiatan, menjadi arti ‘tragedi’ yang sesungguhnya. Tragedi juga terkait erat dengan sumber daya alam yang ingin dikuasai oleh manusia, namun pada kenyataannya sumber daya tersebut adalah milik bersama yang digunakan untuk kepentingan bersama pula. Tragedi tidak bisa secara gamblang didefinisikan sebagai sesuatu yang menggambarkan ketidakbahagiaan. The Tragedy of The Commons merupakan sebuah pemikiran Garret Hardin yang menyatakan bahwa tragedi kepemilikan bersama merupakan gambaran dari masalah sosial yang berkaitan erat dengan masalah ekonomi dan menyangkut konflik antara kepentingan individu dengan sumber daya milik umum. Tragedi kepemilikan bersama atau The Tragedy of The Commons menjadi hal krusial yang penting untuk dibahas karena berhubungan langsung dengan kepentingan manusia, terutama kaitannya dengan masalah pertambahan jumlah populasi. Terjadinya tragedi kepemilikan bersama merupakan akibat dari pemikiran bahwa sumber daya alam adalah milik manusia, yang diciptakan Tuhan bagi manusia, sehingga siapa saja dapat memanfaatkannya. Prinsip inilah yang kemudian memicu setiap individu untuk berlomba-lomba memanfaatkan lingkungan. Barangsiapa yang tidak sigap dalam memanfaatkan lingkungan, maka pasti akan didahului orang lain yang juga akan memanfaatkannya.
Dunia yang kita pijak saat ini merupakan dunia yang terbatas. Maka dari itu, sudah selayaknya dunia dan sumber daya yang bersifat terbatas hanya digunakan oleh populasi yang terbatas pula. Kenyataannya, populasi terus bertambah seiring dengan berjalannya waktu, sedangkan alam yang bersifat terbatas semakin berkurang karena terus dimanfaatkan. Permasalahan populasi juga menjadi masalah yang krusial karena dari populasi-populasi inilah muncul penciptaan teknologi baru yang mengiringi peradaban baru. Penciptaan teknologi dan sumber daya manusia yang hanya memanfaatkan alam sebagai sumber kesejahteraannya menimbulkan dampak-dampak buruk bagi lingkungan. Adam Smith pun meyakini bahwa kualitas masing-masing individu dari populasi harus ditingkatkan karena menjadi suatu hal yang utopis ketika manusia berusaha membuat angka populasi berada pada titik nol. Namun, hal yang dapat diusahakan adalah bagaimana membuat individu dalam setiap populasi menjadi berkualitas sehingga dapat menyadari masalah yang ada.
Garret Hardin kemudian menjelaskan masalah yang akan muncul selanjutnya adalah freedom in a commons brings ruin to all. Istilah ini memiliki makna bahwa kebebasan menjadi hak setiap manusia yang harus dipergunakan secara bijaksana. Namun pada kenyataannya, individu-individu dalam populasi malah menjadikan hal tersebut sebagai ‘alat’ untuk menanamkan tongkat kekuasaan, sehingga segala yang ada di alam dapat mereka ambil sebanyak-banyaknya demi kebutuhan mereka. Hal ini erat korelasinya dengan eksploitasi alam yang merugikan banyak pihak. Contoh nyatanya terjadi di Indonesia. Demi nama kemajuan negara, segala lahan hijau digunduli dan diganti dengan bangunan besar, kawasan elit hingga lapangan golf. Realita ini tentu menjadi suatu hal yang tragis, karena tidak semua individu dalam negara ini dapat menikmati fasilitas tersebut. Ironisnya lagi, posisi alam di mata manusia hanya menjadi sebuah objek yang fisiknya terus ditelanjangi demi kepentingan individu-individu tertentu.
Masalah populasi yang menjadi salah satu topik utama yang dibahas Garret Hardin ternyata juga berkaitan erat dengan masalah polusi. Setiap individu dalam populasi masyarakat modern berlomba-lomba untuk memiliki produk-produk dari kemajuan teknologi yang digadang-gadang dapat membantu mempermudah kehidupan mereka. Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor, penggunaan bahan-bahan kimia hingga pemakaian alat pendingin ruangan yang semakin hari semakin menjadi kebutuhan primer manusia, tentu menimbulkan masalah baru. Polusi udara dan tingkat pencemaran yang tinggi menjadi sebuah pemandangan yang lumrah dalam kehidupan masyarakat masa kini. Padahal, polusi dan pencemaran lingkungan tentu akan berdampak serius bagi kelangsungan ekosistem.
Sebuah paradoks muncul ketika kita dihadapkan pada masalah populasi manusia di muka bumi ini yang semakin hari semakin tidak terkontrol. Penekanan terhadap populasi manusia dengan cara-cara tertentu, sudah pasti akan mengingkari rasa kemanusiaan kita sebagai manusia. Namun, dimanakah kemanusiaan kita jika melihat kondisi alam yang semakin hari semakin mengerikan karena ulah kita?
Â
Hardin, Garret. (1968). The Tragedy of the Commons. US: Environmental Fund.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H